Kutitip kisahku di bawah pohon bidara

 

SEMINARI LABUAN BAJO
Anak-anak seminari gabungan SYP 2 - SMAK St. Ignasius Loyola Labuan Bajo - Facebook/Flory Gardino

Kisahku, antara rimbunan pohon bidara, sawo dan asam
Antara riuhan burung besi di atap-atap ruang kelas dan aula

Anak-anak ceria yang tubuh belianya terbungkus setelan putih kuning pun berlari, menengok sebentar saja rupanya, meski dahi berkerut karena fisika dan matematika 
Anak-anak harapan yang cita-citanya digantung di bawah rimbunan bidara di lapangan tengah 

Yang raga-raga tanpa ragu penuh harapannya kompak dengan bonsai, tuk bersembunyi dari bolos, ketika langkah kaki praeses, rektor dan kepala sekolah gaung terdengar di atas kerikil berdebu dan membawa pesan pada telinga

Kisahku, antara kompletorium dan pemeriksaan batin kala cacing-cacing terus berunjuk rasa dibaeringi tajamnya tikaman matahari, selepas berkutat dengan aneka pelajaran 

Antara lapangan hijau, basket, tenis, dan minggu pesiar, 
Antara baskom jumbo berisi daging-daging babi karena hari ini merayakan pesta famili 

Dan kisahku adalah ruang sunyi yang terus merenung
Di antara pagar tembok dan bidara-bidara, dan sawo yang membikin susah berak

Dan kata-kata tak menampung aneka kisahku, 
Dari diari lusuh bersampul koran bekas dari perpustakaan di pojok pun bersimpuh serah

Kutitip saja kisahku di bawah pohon bidara, asam dan sawo, 
Kelak kukisahkan pada anak cucu, bahkan ketika renta,
lalu menutup mata, 
lalu terus terkenang, 
tanpa sudah, 
terima kasih sudah

Coretan di atas mengalir begitu saja dari kepala tanpa racikan, ketika membaca catatan kawan-kawan, tuk mengucap selamat pada almamater SMAK Santu Ignasius Loyola Labuan Bajo, 31 Juli, di suatu masa. 

Apa itu puisi atau semacamnya? Entahlah. 

Tapi memang semacam nostalgia tuk menghadirkan kembali sekeping cerita dari masa lalu, dan tak ketinggalan mengucapkan selamat dan terima kasih pada almamater pada hari jadi atau ulang tahun pelindungnya.

"Apa perubahan baru tingkah laku adik-adik, Pater? Minimal ada ide baru untuk melakukan hal-hal kreatif begitu."

"Apa misalnya?"

"Ya, minimal ada yang berubah to."

Dia penasaran. Lalu bertanya lagi. Saya menjawab dengan santai:

"Saya dulu kan kalau bolos mau tidak ikut ibadah atau misa pagi sembunyi di lemari karena ukuran lemari sama dengan ukuran saya."

 Dia tertawa dan saya lanjut lagi sambil tersenyum. 

"Barangkali ada yang bersembunyi di koper atau ransel karena takut ketahuan pembina asrama to?"

Begitu jawaban saya dan kami tertawa terbahak-bahak mengenang kisah kecil di zaman, ketika cita-cita belum dinodai perkembangan zaman, saat bercakapan dengan seorang kawan yang kini menjadi guru/pengajar, pastor, dan pembina asrama seminari. 

Kadang-kadang aturan yang ketat ala seminari tak membuat otak kami dikerangkeng. 

Malah sebaliknya. Ada-ada saja ide kreatif. Semacam menciptakan hal-hal baru di saat terdesak. 

 Di kesempatan lain, tengah malam. Menuju pukul 12 malam. Saya dan dua beberapa kawan lapar. 

Timbul ide mencuri nasi di dapur asrama. Saatnya tiba setelah dapat ide. 

Taktik dan strategi diatur. Ada tim eksekusi. Ada pemantau situasi. 

Jalanan lorong asrama dua unit sunyi sepi. Semua pada tidur, dan entah doa malam. 

Sebuah teko berwarna hijau stand by di meja. Berdampingan dengan nasi untuk sarapan keesokan harinya telah tersedia di periuk seukuran drum. 

Teko, merujuk fungsi sebenarnya menyimpan air. Tapi kali ini beda. 

"Kita ambil nasi dan ikan. Taruh di cerek atau teko ini," kata kawan saya. Sebut saja namanya Ronaldus. 

"Bisa. Laksanakan." Jawab kawan lainnya, Lerros, dalang dan pemilik ide unik tadi. 

Tak disangka-sangka pastor formator tiba-tiba berdiri bengis di depan si Ronaldus. Dia kaget dan gugup.  

Sang pembina bertanya,

"Ronald, itu apa?"

"Ini air, Romo."

"Coba kau goyang!"

Tanpa berpikir panjang, Ronald menggoyangkan ujung cerek dan tahulah apa yang jatuh atau tumpah? Tidak ada. 

Artinya ikan dan nasi di dalam cerek aman. Eh, tapi skor 1:0 untuk kami. 

Ronald pun mendapat hadiah bogem mentah dan kami yang memantau terbahak-bahak. 

Kami senang tapi kami yang ditugaskan untuk memantau situasi sebenarnya tidak becus menjalankan tugas. Tak cocok menjadi detektif kaliber profesional. Cuma amatiran. 

Coba tonton film-film detektif di HBO. Kerjanya rapi. Profesional. Jejaknya tak terbaca. Adegannya tak tertebak. Paling tidak, menurut kacamata saya yang awam ini. 

Saat mengenang dan menulis hal-hal remeh tadi saya menonton sebuah channel youtube, yang kebetulan di-share ke beranda facebook oleh salah seorang pemilik akun. 

Saya lupa nama salurannya, tapi saya ingat detail ceritanya. Kisahnya tentang seorang bapak yang mau menghindari kemahalan ongkos ojek. 

Di tengah situasi ketiadaan ongkos, dia tidak kehabisan ide. Lalu membungkus anaknya dalam karton. Mau dibawa ke alamat yang dituju. 

Begitu juga dia. Ditaruh dalam kardus besar. Apesnya, dia ketahuan. Selesailah sudah. Begitulah. 

Kadang-kadang di saat terdesak kita mempunyai ide-ide kreatif. Pada saat yang sama juga "lawan baca" dan akhirnya gagal. 

Memang seharusnya jeli dan lihai seperti sebuah pertandingan catur, yang bidak-bidaknya dimainkan—adu strategi, taktik, kejelian dan kesabaran.  

Bidak-bidaknya adalah pasukan sebuah kerajaan. Ada raja, permaisuri, perdana menteri atau loper, kuda, benteng, dan pion-pion. 

Pion maju selangkah tapi tak bisa mundur. Sedangkan yang lainnya bisa. Entah satu langkah, dua langkah, tiga, dan seterusnya. Hendak mematikan lawan. 

Jika lawannya tangguh, otak matematisnya encer, maka dua otak encer berduel. Duel selevel. 

Permainan catur juga seperti duel politik; duel kepentingan. 

Iwan Fals sudah menyinggung tentang hal ini dalam secuil lirik lagunya Asyik Nggak Asyik: 

“Dunia politik dunia bintang, dunia hura-hura para binatang, asyik nggak asyik, dst.”

Pertandingan catur memang uji nyali; uji pikiran; uji kesabaran; uji kematangan emosi. Entah emotional quotient

Lagi-lagi tentang emosi, pernah suatu ketika di suatu masa. Lerros dan Remigius, dua kawan saya, memainkan catur. 

Remi kalah dan kami bersorak-sorai. Lerros menang dan dia tersenyum lebar. 

Seperti penonton bola, kami terus bersorak. Mendukung dia yang menang tentunya. 

Remigius tak tahan emosi. Melempar sandal pada penyorak si pemenang. Riuh. Berkelahi.  

Lalu catur diamankan. Semacam sanksi disiplin. Satu semester tak main catur. 

Kecewa tentunya. Tapi begitulah. Siapa yang salah patut dihukum setimpal. Biar adil. 

Kadang-kadang hukum di negara hukum tak adil juga—kalau tidak mau dibilang berpihak pada kelompok kepentingan tertentu. Entah suara mayoritas, misalnya. Atau pada mereka yang beruang dan punya pengaruh. 

Kembali ke soal ide-ide kreatif, keadilan dan hukum, ketelitian, etika, etos, kecerdasan emosional, perhitungan matematis dan profesionalitas, memang tak bisa dilindas zaman. Tak melulu zaman dulu. 

Mereka tetap kontekstual pada era digital seperti sekarang.

Seperti tadi, kebuntuan kadang-kadang melahirkan kreativitas, yang bersumber dari akal budi dan nurani yang jernih.  

Tidak salah juga mencontohi tabiat orang-orang kreatif, brilian, tenang, damai, dan terutama bermoral dan beretika, membumi dan tidak tanpa integritas—seperti jualan politik di zaman pilkada. 

Eh, apaan sih? Kok tulisan ini melantur? Ah sudahlah, anggap saja selingan. 

Tadinya artikel ini sejatinya mau ucap selamat untuk SMAK Santu Ignasius Loyola Labuan Bajo, 31 Juli. Ad Maiorem Dei Gloriam

Dua kisah tadi hanya sekadar refleksi. Dan diolah dari percakapan saya dan kawan-kawan seangkatan.

Dan saya tergelitik untuk merefleksikannya kembali. Mohon maaf bila terdapat kesamaan nama. 

Aeh, kau kah Timoteus, coba dengar ini, “Wahai pemuda Flobamor indah, cendana, varanus, sandlewood mendambakan baktimu.” []

 

#Juli, 2020

Timoteus Rosario Marten

Posting Komentar untuk "Kutitip kisahku di bawah pohon bidara"