Takupas

takupas internet
Pixabay

Takupas. Saya spontan bilang begitu. Keluar begitu saja dari mulut ketika marah atau saat berceloteh.

Takupas adalah terkupas. Terkelupas. Kira-kira begitu.

Ini dialek Papua. Terutama dalam percakapan harian. 

Di Papua kami biasa menyebut takupas bila marah. Atau saat berkelakar antarsesama kawan. Saat internet takupas, misalnya.

Saya juga menghadirkan kata takupas. Beralasan. Sederhana saja alasannya. Internet.

Loading-nya lambat atau lola. Bahkan trada sama sekali alias matot a.k.a mati total.

Sejak Selasa lalu, 23 April 2025, di sini, di tempat saya, loading internet minta ampun. Setengah mampus.

Dirayu pun dia tak mau bergeming. Biasanya hanya lola. Kini matot. 

Darah naik sampai ke ubun-ubun. Emosi jiwa raga.

Jumat, 25 April 2025, bahkan sejak siang, sampai saya menulis jurnal harian ini. Aktivitas dalam jaringan (daring) terputus. Jadi takupas juga.

Ternyata bukan hanya internet. Lampu listrik juga matot. Itu sejak siang di Ketang, Kecamatan Lelak.

Banyak warga yang mengeluh. Menyumpahi yang tidak jelas. 

Memang, di sini, jika mati lampu, internet juga mati. Keduanya mati bersama. 

Begitulah nasib hidup di desa. Infrastruktur serba terbatas. Termasuk internet dan lampu listrik itu tadi.

Hanya menikmati keterbatasan. Nikmat dalam ketiadaan atau keterbatasan.

Internet memang bukan kebutuhan primer, bagi warga desa terpencil. Hanya kebutuhan tambahan. Sekadar untuk bermedia sosial. 

Tidak demikian dengan warga di perkotaan. Internet adalah suatu kebutuhan. Bahkan jadi kebutuhan mendesak. 

Untuk bersosialisasi secara daring tentu butuh internet. Berjualan juga. Dan lain-lain.

Apalagi bagi jurnalis. Terutama yang bekerja pada platform online

Maka, mengumpulkan fakta atau peristiwa, menyortir, menulis dan menyebarkannya sesegera mungkin. Biar tra basi.

Sesegera mungkin memang dipublikasi, agar warga dunia, dengan segera mengetahuinya. Jadi, internet itu kebutuhan mendesak. 

Bagi jurnalis, tak peduli tinggal di kota atau desa. Internet menjadi kebutuhan mendesak.

Lampu itu juga kebutuhan mendesak. Untuk memasak misalnya. Atau menyalakan alat elektronik.

Memang, lampu dan internet itu kebutuhan mendesak di zaman ini. 

Data We Are Social yang dilansir dari Indonesia.go.id menyebutkan bahwa pengguna internet per tahun 2025 di dunia sekitar 5,56 miliar. Dari total penduduk dunia sebanyak 8,2 miliar. Di Indonesia sendiri pengguna internetnya sekitar 221 juta orang . Atau sekitar 79,5 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia.

Bayangkan! Jika internet mati. Saya tidak tahu kenapa internet mati bersamaan hari ini. 

Di sini ada dua tower. Milik perusahaan pemerintah dan swasta.

Jadi aman. Biasanya, kalau satu jaringan macet, ada pilihan lain. Dong dua memang baku saing.

Tapi siang ini, hingga sore, ceritanya lain. Mati bersama. Seperti janji nikah: sehidup semati.

Saya lalu jalan-jalan keliling. Tampak dari kejauhan, para pekerja bergelantungan. Mereka berseragam hitam, rompi oranye dan helm.

Rupanya mereka memperbaiki gardu tiang listrik, di perempatan Ketang.

Ternyata itu tadi penyebabnya. Ada perbaikan. Makanya lampu dan internet kompak mati.

Sebutan takupas saya tadi, jadi melempem. Tidak sekencang sedari awal. 

Sebab kasihan juga mereka, para pekerja itu. Dengan sabar dan bertaruh nyawa, mereka bergelantungan di tiang listrik. Dililit kabel pula.

Di samping itu, ada anak-istri, yang sedang menunggu di rumah. Mereka menanti sang bapak membawa senyuman dan nafkah.

Tapi begitulah. Tiap pekerjaan memang ada risiko. Pasti ada itu. Hanya saja, tiap pekerjaan berbeda kadarnya.

Saya, misalnya. Tentu juga dengan kawan-kawan lainnya, yang pekerjaannya bergantung pada lampu dan internet. 

Ya, itu tadi. Selain risiko nyawa, salah satu risikonya adalah internet dan lampu mati.

Tapi mau bilang apa? Kitong harus berbesar hati menerima tiap risiko. Meski internet takupas sekalipun.

Karena memang ini pilihan bebas. Dan itu tadi, semua pekerjaan punya risiko. Yang harus diterima. []

#25 April 2025

Posting Komentar untuk "Takupas"