![]() |
Pixabay |
Pria itu membolak-balik catatan hariannya yang sudah usang. Halaman demi halaman dicarinya.
Mulutnya komat-kamit. Seolah-olah benda misterius yang dicarinya itu, sesuatu yang berharga.
Atau menyangkut kronik-kronik kehidupannya.
“Aku ingin menjadi bintang.”
Ia setengah berbisik. Suara seperti desiran angin senja itu baru kudengar dari lelaki dengan suara garang dan keras ini.
Buku lusuh itu didapatnya. Ada coretan asli yang masih tertata rapi. Kalimatnya sesuai standar gramatika.
Ada pula yang urakan. Tulisan ekspresif.
Ia menyimpannya dalam peti kayu. Peti jati seukuran kotak suara pemilu.
Aku pun penasaran dengan lelaki yang suka berpuisi ini. Bukan penasaran karena hal lain.
Tetapi aku penasaran dengan isi catatan yang membuat emosinya mendadak berubah siang itu.
Ia memang suka berpuisi dan menikmati musik. Kadang berkelakar sembari mendengarkan musik klasik atah hiphop.
Meski demikian, puisinya tak pernah dipublikasikan. Tak pernah masuk nominasi dalam ajang lomba puisi dan cerita pendek nasional.
Ia juga periang. Tapi misteriusnya minta ampun. Jangan tanya soal cinta kepadanya.
Ia tahu banyak soal teori. Setidaknya, sepengatahuanku.
Maka jangan mencoba berdebat dengan dia. Kadang menang sendiri.
Dia memang punya segalanya. Tapi ia tak punya tempat untuk menumpahkan semua itu.
Namanya Nana. Lengkapnya Nana Atapala
“Kawan, aku ingin menjadi bin………” ucapnya berseri-seri.
“Iya, kau mau jadi bintang yang jatuh!” celaku.
Ia setengah latah membicarakan mimpinya. Mimpi itu sudah ada sejak balita.
Selama ini mimpi itu terkubur dalam diam. Belasan tahun tak pernah diceritakannya.
Kepada kedua orangtuanya sekalipun, ia tak menceritakannya.
Apalagi kepada guru, yang menanyakannya di kelas pertama masuk sekolah. Dia hanya bilang, ingin menjadi petani.
Nana memang sosok misterius. Sulit dimengerti. Bahkan sulit dimengerti wanita, seperti lagu band tahun dua ribuan.
Suatu ketika, Aku mencoba menyelanya. Siapa tahu ia tergoda menceritakan mimpi itu.
Aku menggunakan pendekatan persuasif. Metode komunikasi antarhati dilakukan. Sekadar mengorek isi kepalanya.
Paling tidak, kami berteman sejak lama. Siapa tahu dengan ceplos dia membagikan pengalaman dan mimpinya itu.
Tapi apes. Ia tak menggubrisku..
Ah.., pagi yang mendung. Langit Abepura tak berpihak pada kami. Sementara orang berpadatan di Lingkaran Abepura.
Abepura adalah sebuah distrik kecil. Tapi banyak sekolah dan universitas.
Dikelilingi perbukitan dan lembah mungil beserta kolam kangkungnya.
Di sini terdapat universitas terbesar dan tertua. Bahkan tempat belajar filsafat dan teologi.
Abepura juga rumah bagi aneka etnis atau suku.
Di sini memang tempatnya jika mempelajari antropologi dan pluralisme.
Di sini kisah kami dilakonkan. Tentang hidup dan cinta.
“Kami ingin bebas. Kami ingin bebas!!!”
Sesekali terdengar teriakan dari arah Lingkaran. Bila dianalisis lebih jauh, kami menduga ini adalah teriakan para pendemo.
Kami diam saja. Mencoba menyimak aspirasi tadi. Kalau-kalau ada solusi. Minimal pikiran.
Memang belakangan Abepura langganan demo. Ada-ada saja masalahnya. Sebagian besar soal ketidakadilan dan kesejahteraan.
Minimal itu yang kami baca dari siaran pers, pamflet, spanduk, dan selebaran yang disebarkan di jalanan dan tempat umum lainnya.
“Sudahlah. Lanjutkan saja obrolan kita!”
Nana kembali menyapa. Ajakannya menggelitik. Kami bercerita tentang masa depan.
“Ah, stop tipu-tipu! Aku tak mau dengar bualanmu. Cuma mimpi siang bolong.”
Muka Nana memerah. Telinganya bergoyang. Rambut ikalnya mendadak berdiri.
Mendengar kataku, ia diam. Meski ia sakit hati jika tak dianggap.
Namun dengan itu, aku ingin ia berterus terang. Biar semuanya tersingkap.
Ia mencoba bijak meski tak menerima kataku. Dum Spiro Spero. Selama saya bernapas saya berharap. Atau doa kami di nadimu seperti lagu Iwan Fals.
Dua kata mutiara itu terus terngiang di telinganya.
Paradoks dengan nilai pelajaran bahasa Latinnya tempo dulu. Lelaki ini tak pernah menembus angka enam.
Detak jarum jam tak terasa. Siang segera datang.
Tapi kami masih berkutat dengan obrolan santai. Perihal banyak hal. Hingga mengerucut soal menjadi bintang.
Tiba-tiba telepon selulerku berbunyi. Ada apa gerangan?
Suara Mendra diujung telepon seluler seperti suara perempuan. Baru terlintas suaranya.
Ternyata dia mengerjai kami. Ah, kaskado dia.
Sejak lulusan sekolah menengah atas, beliau tak pernah berkabar.
Aku belajar ilmu antropologi pada fakultas ilmu-ilmu sosial universitas Cenderawasih.
“Aku sudah menjadi pengacara hebat e. Aku juga bisnis properti,” katanya dengan dialek khas.
Aku memberi salam solidaritas. Masih teringat kala masih menjadi petualang intelektual muda.
Tiba-tiba Nana merebut handphone yang sedari tadi aku tempelkan di daun telinga. Keduanya bernostalgia ria.
Pacar idamannya sewaktu SMA, kini menjadi dokter ahli bedah. Ia bekerja di rumah sakit kelas internasional di ibu kota.
Sementara Nana hanya berkutat dengan buku hariannya. Ilmu sastra yang dipelajarinya selama empat tahun pada fakultas Sastra Inggris, tersimpan rapi di kepala.
Saban hari, ia menulis entah apa. Baru kali ini aku melihatnya mengeluarkan air mata. Matanya sembab.
Ternyata bintang yang diimpikannya itu nihil. Disapu matahari siang bolong.
Tumpukan ceritanya hendak dibukukan. Tapi penerbit mayor, bahkan penerbit minor terus menolaknya.
Aku menemukan secarik kertas lusuh di akhir jurnalnya. Kira-kira klip puisi sastrawan Aceh, Ali Hasjmi (1914–1998). "Aku lalai di pagi hari. Beta lengah di masa muda. Miskin ilmu, miskin harta”. []
Posting Komentar untuk "Siang bolong"