Pixabay
Surat cinta. Gaya pacaran zaman dulu. “Bandung dulu baru Jakarta. Senyum dulu baru dibaca.”
Saya langsung tersenyum. Senyum-senyum sendiri. Seperti tidak waras.
Musababnya menonton video pendek di reels. Judulnya “Gaya Pacaran Tahun 80-an sampai 90-an”.
Sambil merokok dan meneguk kopi, saya tersenyum. Begitu hendak tertawa, saya langsung tersedak.
Batuk-batuk memang. Deleng.
Apalagi melihat mereka yang di video itu senyum-senyum. Klasik yang nyentrik tapi asyik.
Si perempuan sedang menyapu. Prianya bawa surat. Diantar melalui seorang anak.
Dari kejauhan, keduanya beradu tatap. Beradu senyuman. Beradu ekspresi.
Si pria sambil menyisir rambut. Setelan kemeja lengan panjang, buka dada. Celana lebar di pergelangan kaki.
Celananya gombrang. Ditambal kain segitiga. Pokoknya debu sapu rata.
Tapi begitulah. Tiap zaman beda cerita. Beda tren. Beda segalanya.
Kalaupun, bila ditarik, hampir ada kesamaan. Tujuannya sama. Meloloskan misi. Misi cinta.
Gaya pacaran zaman dulu itu asyik dan unik. Pakai bahasa surat dan jembatan segala.
Saya masih dapat zaman itu. Waktu SMP atau SMA. Bahkan sering mengalaminya.
Mengirim surat cinta. Pakai surat. Jenis dan wangi surat pun bervariasi.
Kawan saya pernah menjadi “sukarelawan”. Tugasnya hanya menulis. Karena dia punya tulisan memang rapi.
Maka kerap diperbantukan. Sekadar menulis surat.
Tulisannya diukir memang. Biar memikat mata, mendecak kagum. Kalau-kalau tembus ke hati dan jantung si nona bersenyum gula aren, dan gigi bagai biji mentimun.
Saya pernah membaca surat kawan-kawan. Atau surat yang kebetulan nyantol di jalanan.
“Merpati putih berliurkan hitam, hendak mendarat di pelabuhan hatiku,” kata guru bahasa Indonesia saya, sewaktu SMA.
Kami pun tertawa. Senang. Tentu melahirkan inspirasi baru, untuk menulis kata-kata mutiara.
Ada yang lain lagi. “Mendung menanti hujan, surat menanti balasan”. Wuyuhhhhh.
Saya pernah membaca surat bapak saya. Sewaktu dia muda.
Dia simpan rapi di dalam peti. Suratnya sudah lusuh. Sebagian dimakan rayap. Tapi masih terbaca.
Ada juga fotonya. Celana gombrong atau gombroh. Baju lengan panjang kotak-kotak, buka dada, dan rambut kribo. Di saku celana ada sisir kecil.
Gaya rambut kribo itu, persis muka dan gaya rambut saya. Fotokopi.
Sewaktu masih mahasiswa dan jurnalis muda–yang tentu masih idealis, style rambut saya memang cuma dua: kribo atau plontos.
Soal surat-menyurat tadi, saya lantas membatin. Ternyata bapak saya dan orang-orang zaman lawas, memang jago menulis. Romantis pula.
Surat memang sebagai medium. Bila mengirim surat untuk si doi, maka huruf diukir betul.
Masuk lagi ke tahun 2000-an. Mediumnya pakai telepon atau SMS.
Ada jasa ponsel nokia senter di dalamnya. Punya game ular.
Teleponnya lama. SMS-nya panjang-panjang.
Pegang HP pun sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian teks hilang.
Maka tunggu sampai teksnya muncul baru dicerna pesannya.
Hari berganti, tahun berubah. Zaman semakin canggih. Kini ada ponsel pintar.
Dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) semakin maju. Ditambah penemuan aplikasi media sosial, untuk sekadar obrolan atau chatting.
Maka zaman now semakin dipermudah. Teknologi mengubah segalanya.
Tak perlu ukir kata-kata. Tak perlu baca banyak. Cukup pakai filter. Dan jadilah dunia tipu-tapu.
Tapi nahasnya, zaman ini, zaman aplikasi canggih, justru rawan terjadi perselingkuhan. Rawan STT alias selingkuh tipis-tipis.
Tapi begitu sudah. Zaman berubah dan kita pun berubah di dalamnya. Seperti idiom berbahasa Latin: Tempora mutantur et nos mutamur in illis.
Termasuk kita harus menerima, mau tidak mau, menerima segala kebijakan di dalam kehidupan bernegara, dan berlembaga atau masyarakat.
Bila menengok zaman lawas, ihwal surat-menyurat tadi, saya lalu berpikir. Bahwa zaman lawas, mengandaikan bahwa kitorang rajin membaca dan menulis.
Ya, minimal pandai baca tulis. Perbanyak bacaan atau referensi. Kalau tidak, kita mati kutu.
Itulah bagian dari literasi. Yang sekarang dengung kampanyenya, kencang di seantero negeri. []
#26 April 2025
Posting Komentar untuk "Surat cinta"