Misa perdana imam baru Reverendus Pater Iwantinus Agung, SVD - Dokpri/Serafim |
RINTIK hujan masih berderai di atas langit Kampung Lentang, Selasa, 6 Oktober 2020. Tetesannya menjejakkan butiran embun pada daun-daun kopi dan padi yang belum bernas, sedangkan angin terus berembus. Menusuk ubun-ubun dan pori-pori. Uap pun menguar bersama napas yang keluar-masuk melalui hidung dan mulut. Dingin.
Orang-orang berpakaian putih dengan ikatan kepala atau songkok dan kain songke, satu per satu merapat dan memenuhi natas, serta sisi kiri-kanan jalan masuk Kampung Lentang. Ada yang bermotor, tetapi ada pula yang berjalan kaki. Senyum mengulum dari balik bibir mereka terpancar. Tak kurang juga dengung-dengung lagu-lagu dan syair adat.
Sore ini Lentang seperti lautan manusia dengan setelan pakaian adat. Ketika mereka memulai perjalanan, motor-motor meraung-raung hingga asapnya pergi bersama rintik-rintik hujan yang menghilang.
Iring-iringan motor sekira seratus meter pun menuruni kampung ini hingga tiba di perempatan Ketang.
Animo masyarakat tak bisa dibendung lagi. Dari arah selatan jalan, Golo Lando dan Golo Nderu, “pasukan” bermotor merapat. Manusia semakin menjejal tak terkendali.
“Kita siap-siap ikut penjemputan di Lagur,” kata Kakak saya, Bernadus Dadur.
Kami pun menuju Stasi Lagur di Golo Nawang melalui Wae Lelang dan Desa Bulan.
Lagur adalah sebuah stasi yang berbatasan dengan wilayah Cancar, ibu kota Kecamatan Ruteng, Manggarai, Flores.
Pada zaman kerajaan, kawasan ini termasuk dalam Kedaluan Lelak. Namun setelah Kecamatan Ruteng mekar, Lagur termasuk Kecamatan Ruteng, tetapi tetap masuk dalam Paroki Rejeng.
Karena pa’ang (beranda) Paroki Rejeng, Lagur merupakan tempat menjemput tamu-tamu penting Gereja sekelas uskup dan imam baru.
Oleh sebab itu, umat-umat menjejali daerah datar (bea) dengan panorama sawah berhektare-hektare laksana sarang laba-laba raksasa ini, untuk menjemput imam baru, RP Iwantinus, SVD. Jemputan diwarnai syair dan nyanyian.
Kira-kira sepelempar batu jaraknya, setelah masyarakat menunggu sekira seperempat jam, tampak pemuda berjubah putih turun dari pick up hitam.
Jubah putihnya berpadu dengan songkok yang terbuat dari anyaman daun pandan dengan motif warna-warni (matang). Kemudian ia melangkah menuju umat yang lebih dulu menunggu di bawah langit berkabut tebal.
Pemuda berjubah itu adalah RP Iwantinus Agung, SVD. Dia didampingi perwakilan Provinsialat SVD Ruteng, Reverendus Pater Adrianus Jenani, SVD, yang mengenakan setelan jas biru motif songke dan celana hitam di sisi kanannya, serta Bapak Silvester Jandur yang mengenakan jas hitam, kain songke, celana dan baju putih, serta ikat kepala dan selendang.
Langkah ketiganya di atas jembatan Wae Mese ini begitu cepat tapi terukur penuh irama.
Lalu diikuti rombongan yang jaraknya sekira dua langkah dari balik punggung mereka. Rombongan penjemput dan imam baru pun bertemu di jembatan ini.
“Kais keta nai dami [woko] benta tuang. Neho tending tuka mesegm neho joeng tuka koeg ai ite keor kelo we’e kete ngger sale Paroki Rejeng. (terj versi saya: Kami terharu sekali karena dikau sudah dipanggil pastor/pater. Kebanggan hati kami seumpama tendeng dan buah joeng karena Anda kembali ke Paroki Rejeng. Di sini pa’angn Paroki Rejeng, makanya kita selalu adakan penjemputan di sini. Maka imam baru bersama rombongan, kami akan terima di tempat ini dengan adat tuak karong salang (tuak simbol penunjuk jalan),” kata Kaka Aleksius Rasul memulai penyambutan.Seorang bapak, Nikolaus Tarung, yang mengenakan setelan jas songke, songkok dan tubirapa (rumbai di dagu) pun meraih mikrofon. Disusul nyanyian dan syair nan syahdu.
“O ndaeng a, o ndaeng ng ng ndaeng embong a. Oo..u.. o.. de ndaeng embong ga. Ndaeng embong y a…a ooo yembong kole beo ge.” (Wahai ndaeng, wahai ndaeng kami menyambut dengan pangkuan karena pulang kampung).
Kemudian dijawab serempak oleh rombongan:
“Ndaeng a, ea, ei e, i aeng a a. Ndaeng a, ea, ei e, i aeng a a. De nakay anak ga. Nakay anak ga o anak rinding wakar ge!!!” (Ndaeng, Ndaeng. Sambut gembiralah anakku anak yang memagari [melindungi] jiwaku).
Nikolaus melanjutkan syair tudak (doa) sambil memegang tuak yang tersedia di dalam kendi (robo):
“Yo, anak, ase/ake, Ngara, tuang weru Pater Iwan ata momang lami. Leles tana mese tite danong kut dolongn lite pake baju lewe. Lahos kole lako dite kudut itan pake baju bakok. One tanggal 3 ningkak lite jiri imam. Kais kole nai dami woko poli tabis. Bengkes tuka woko benta tuang. Ho’ok ami ema dom, ase/kae dom, ce’e pa’angn Paroki Rejeng. Ai landing le lahos lako dite, am mamur salang ite kole tanad. Itu tara nggo’on toe hemong agu mamur lami kukut ruku mbate tae pedeng tombo na’an adat. Teti lami tite kukut tuak karong salang. Pu’ung ce mai ho’on lami ranggat lami tite kut kole tanad ai ba panggal embong lami tite kut kole beod ai wero nendong kais nai…(Ya dengarlah, anak, adik/kakak, [keturunan dari] Ngara [nama leluhur Lentang], imam baru Pater Iwan yang kami kasihi. Dulu Anda berjalan jauh di padang luas hanya untuk mengejar cita-cita untuk memakai jubah. Dan sudah lama Anda berjalan sampai kini tampak mengenakan jubah putih. Pada tanggal 3 Anda menerima sakramen imamat. Hati kami berbangga karena [dikau] sudah tahbis. Hati gembira karena sudah dipanggil Pater. Inilah kami bapak-bapakmu, adik/kakak, di beranda Paroki Rejeng. Lantaran perjalananmu yang sangat lama, mungkin jalan sungguh gelap sewaktu pulang kampung. Itu makanya kami tidak lupa berpegang pada adat untuk menjemput. Kami mengangkat Anda sembari membawa simbol tuak penunjuk jalan. Mulai dari sini kami memangkumu yang pulang kampung dengan membawa mahkota, kami menggendongmu untuk pulang ke kampung halaman karena tersiar kabar sukacita, kami berbangga…
Yooo, ho’o tuak, pu’ung one Ema Pastor Paroki Rejeng, ase/kae, pa’angn olo ngaung musi Desa Lentang. Nggitu koles ase/kae dom. Tuak karong salang. Cala mangas tong watang lamba ronggo do’ong, ho’ok ami emad dom te we’ang agu te doro sangged ronggo do’ong. Toe reweng kanang lami kepok!
Yaaa, inilah tuak. Mulai dari Bapa Pastor Paroki Rejeng, adik/kakak, seluruh warga Desa Lentang. Begitu juga segenap adik/kakakmu. Inilah tuak penunjuk jalan. Barangkali ada kayu penghalang, inilah kami bapak-bapakmu untuk menebas dan menyingkirkan semua penghalang itu. Permohonan kami tidak hanya lewat kata-kata/suara tetapi dengan Kepok—kata kepok ini barangkali maksudnya sama dengan kata AMIN dalam doa).
Lalu tuak diserahkan kepada imam baru dan imam baru menjawab (wale):
“Yo, terima kasi latang tuak karong salang dite. Ai danong ite keng agu tilir kamping Morin: ‘Porong anor koe dia Lite salang lakon pelet koe lite salang lecen’. Senget sangged keng le Mori Dedek ai toe manga ronggo do’ong toe manga watang lamba. Terima kasih.
(Iya, terima kasih atas tuak penunjuk jalan dari Anda sekalian. Karena dulu kita memohon dan berkeluh kesah kepada Tuhan Pemilik Jalan: ‘Semoga Engkau menuntun jalannya melihat jalan untuk silih/dijauhkan [dari semua cobaan/tantangannya]’. Tuhan Pencipta sudah mendengar semua permohonan itu karena [sekarang] tidak ada rintangan dan penghalangnya. Terima kasih).
Ritual pa'u tuak karong salang (tuak simbol penunjuk jalan) ini merupakan ungkapan syukuran dan harapan atas kepulangan dan tahbisan imam baru dan permohonan agar tidak ada rintangan dan halangan menuju kampung halamannya, sehingga tiba dengan selamat dan kembali berkumpul dengan sanak famili.
Setelah ritual tersebut dibuat, umat mengarak-arakkan imam baru dengan iring-iringan motor, mobil, nyanyian, dan tarian. Perjalanan dari Lagur ke Lentang, kira-kira lebih dari 10 kilometer, di bawah gerimis dan udara yang menusuk sum-sum tulang, dilalui dengan gembira.
Umat beriringan di jalan berkelok, bak ular yang meliuk, naik-turun, dan mengantre sekitar satu kilo.
Mama-mama di tepi jalan, yang menyaksikan iring-iringan penjemputan imam baru, tampak menyeka air mata. Sambil menyahut-nyahut seperti sedang memanggil anak pater.
Di sini imam baru disambut pula dengan ritual. Dimulai dari tarian tiba meka (terima tamu), pemberian sirih pinang, dan ritual pa’u tuak curu (tuak simbol penjemputan). Lalu imam baru diarak menuju kampung halaman.
Iring-iringan gong dan gendang, nyanyian (ronda) dan tarian, hentakan kaki mewarnai perjalanan mendaki menuju Golo Lentang.
Tak terasa, perjalanan sekitar satu kilo dari perempatan Ketang pun menuju titik finis. Beranda kampung halaman.
Di sini ia diterima dengan ritual pula. Namanya pa’u tuak kapu (tuak simbol memangku sang anak), lalu diantar menuju rumah adat (mbaru tembong) dan diterima oleh tetua adat, tokoh-tokoh dan orang-orang tua di kampung Lentang, Kalo dan Pelus.
Prosesi berikutnya adalah ritual pa'u tuak karong loce (tuak simbol menunjukkan tikar untuk duduk) bagi sang anak pastor.
Di tengah prosesi adat penjemputan sang imam baru, penjabat Bupati Manggarai Zeth Sony Libing bersama rombongannya ke Gendang Lentang, Rabu, 7 Oktober 2020 disambut dengan ritual adat pula. Penjabat bupati Zeth bersama rombongan akan mengikuti misa syukur tahbisan imam baru Rabu pagi sampai siang ini.
Penjemputan imam baru - Dokpri/Serafim |
Misa syukur adalah rangkaian acara syukuran setelah penjemputan kemarin. Imam baru memimpin ekaristi (misa perdana). Perayaan ekaristi dan fragmen singkat tentang perjalanan panggilan sang anak pastor dpentaskan secara apik dan mengharu biru.
Anak-anak SDI Watu Weri membawakan fragmen yang memicu tawa dan rasa haru bagi penonton.
Lalu hari baru tiba. Awan masih menyelimuti kampung ini pada 8 Oktober 2020. Tarian caci dmulai pagi ini.. Caci ini adalah rangkaian ketiga setelah penjemputan dan misa syukur.
Pemain caci dipentaskan dengan mengundang (meka landing, woe, pe’ang mai) Gendang Jeong (Welak).
Caci kali ini merupakan kunjungan balasan dari Gendang (Kampung) Jeong setelah beberapa tahun silam Gendang Lentang diundang ke Jeong, untuk mementaskan caci pada momen yang sama, yakni caci syukur tahbisan imam baru.
Caci merupakan tarian tradisional orang Manggarai, sekaligus tarian perang, persahabatan dan syukuran.
Pada masa lalu caci biasa dipentaskan saat pesta syukuran akhir tahun (penti) dan pesta adat lainnya seperti wagal (semacam pembayaran mas kawin/belis).
Seiring masuknya kekristenan (Katolik) di Manggarai, Flores-NTT, caci juga dipentaskan saat syukuran tahbisan, baik imamat, maupun uskup. Proficiat untuk Pater Iwan! []
#2021
Timoteus Rosario Marten
Posting Komentar untuk "Tuang pertama dan mistisnya penyambutan (2)"