![]() |
Para pemain caci dari Lentang di natas Suka Kiong, Kolang, 14 Oktober 2024. - Dokpri |
"Huuuu sampa raja wela a… !!"
“Huuu… !!!”
Suara itu serempak bergema. Disusul bunyi gong:
Tong! Tong!
Satu per satu warga melangkahkan kaki keluar rumah melalui pintu depan. Berurutan. Menaiki oto kol (truk kayu).
Orang-orang yang dianggap tua duluan. Menyusul anak-anak muda atau ata uwa.
Itu sesuai komando atau perintah tetua adat. Jangan ada yang melanggar.
Bila melanggar, maka akibatnya fatal. Bisa kecelakaan atau apapun jenisnya, yang dapat menurunkan rang atau gengsi atau martabat kampung.
Teriakan awal itu tadi namanya renggas. Semacam pekikan atau komando sebelum berperang.
Ya, berperang. Rupanya warga Gendang Lentang, Lamba dan Kalo ini hendak pergi berperang.
Ratusan warga ini mengenakan sarung songke, kemeja putih lengan panjang dan ikat kepala atau destar (sapu).
Hari ini mereka ke wilayah Kedaluan Kolang. Tepatnya di Kampung Suka Kiong. Mereka pergi me-landang (bertandang).
Mereka bertandang untuk bertanding. Satu lawan satu dalam arena caci.
Caci adalah permainan baku cambuk atau pecut. Duel satu level. Level pemberani.
Caci juga disebut tarian perang. Maka siang ini, 13 Oktober 2024, warga tiga gendang tadi pergi me-landang 'tuk berperang dalam arena caci.
Dibawa serta nggiling dan koret. Itu nanti sebagai tameng.
Namun, sebelum renggas, mereka duduk rapi. Melingkar.
Ada yang bersila. Mereka duduk di depan. Yang lainnya berdiri di belakang orang-orang tua yang bersila. Rumah full.
Dari sikapnya, mereka sedang khusyuk. Mengikuti ritual teti. Sesi demi sesi.
Seisi rumah gendang hening.
Seisi rumah gendang hening.
Sambil mendengar arahan tetua adat.
Tujuan ritual-ritual itu, misalnya, ritual teti, dan lain-lain, adalah memohon keselamatan, perlindungan, dan penyertaan naga beo (penjaga kampung atau kampung), dan leluhur.
Tujuan ritual-ritual itu, misalnya, ritual teti, dan lain-lain, adalah memohon keselamatan, perlindungan, dan penyertaan naga beo (penjaga kampung atau kampung), dan leluhur.
Sebab ini pergi berperang. Medannya di Kolang bersama kedaluan sekitarnya–Ndoso, Rego, dan Pacar.
Orang-orang Lentang, Lamba dan Kalo ini me-landang ke Kolang, sebagai bagian dari rangkaian upacara syukuran tahbisan imam baru, RP Yohanes de Britto Nanto, SVD.
Kampung Suka Kiong, adalah kampung asal dari orang tua Tuang Rio, Alfons Jekaut.
Bapak Alfons Jekaut adalah pensiunan guru. Mantan Kepala Sekolah SMPK Santu Stefanus Ketang dan SMP Negeri Ndiwar, Kecamatan Lelak.
Sejak tahun 1990-an, Pak Guru Alfons mengajar di SMPK Ketang. Kala itu, dia datang sebagai guru bujang.
Waktu pun mengantar beliau, hingga mempersunting gadis dari Lentang. Sofia Jebian namanya. Biasa disapa Kaka So atau Ibu So.
Buah cinta Guru Alfons dan Kaka So melahirkan bayi pertama yang imut, lucu dan putih. Namanya, Yohanes de Brito Nanto.
Tak disangka, tiga puluhan tahun kemudian, Yohanes atau disapa Rio itu, ditahbiskan menjadi imam dari kongregasi SVD.
Itulah kenapa syukuran tahbisan buah hati Alfons dan So ini, digelar di dua kampung. Di Lentang, Kedaluan Lelak dan Suka Kiong, Kedaluan Kolang.
Acaranya dibagi dua. Umat dari Gendang Lentang menggelar penjemputan dan misa sulung. Mereka bekerja sama dengan Paroki Rejeng-Ketang, dalam satu kepanitian.
Sedangkan Gendang Suka Kiong mementaskan tarian caci, misa syukur, ritual adat dan penjemputan.
Jadi, acaranya dihelat oleh dua Gendang.
Lentang pun diundang sebagai meka landang dalam pementasan tarian caci.
Landang ke Kolang, siang ini, menggunakan empat oto kol atau truk kayu. Ditambah motor-motor, oto carry (pick up), dan satu oto kol keluarga anak rona (keluarga pihak perempuan)
Sekira tujuh oto kol banyaknya. Tak terhitung mereka, yang menyusul di hari kedua, yang bermotor.
Perjalanan sekitar dua jam siang itu, Lentang–Suka, melewati Cancar–Golowelu. Jalannya berlubang dan berlumpur. Sempit.
Di kiri kanan rumah-rumah warga memagar jalan. Pepohonan dan semak-semak menyibak mata. Menyaksikan jalanan berlubang dan berlumpur itu.
Hingga ke Kampung Wela, Kecamatan Ruteng (masih Kedaluan Lelak), jalanan masih seperti begitu.
Kondisi ini bahkan dialami sejak bertahun-tahun yang lalu. Jalanan neraka.
Seakan-akan Kecamatan Ruteng, di kawasan Cancar sampai Kampung Wela (perbatasan dengan Kecamatan Kuwus, Manggarai Barat), bukan wilayah Kabupaten Manggarai.
Memang ada “tambal sulam” musiman. Musim politik misalnya. Tapi, yah, begitu sudah.
Perjalanan diiringi suara musik-musik pemecah gendang telinga. Disertai gemerincing nggorong dan tabuhan gong. Rombongan terlihat bergembira.
Sementara itu, warga di sepanjang jalanan turun ke jalan. Yang lainnya mematung di depan rumah.
Mereka menyaksikan rombongan oto kol, yang membikin riuh.
Saya melihat mereka, orang-orang itu, hampir pasti kompak berdecak kagum. Anak-anak melambaikan tangan.
Musababnya karena begitu banyak rombongan. Musik pica-pica di batu cadas.
Mulai dari rombongan empat oto kol, pick up, hingga mereka yang bermotor.
Biasanya meka landang hanya dua oto kol. Kali ini berbeda.
Biasanya meka landang hanya dua oto kol. Kali ini berbeda.
Meka landang sebanyak itu, membuat warga Gendang Suka super sibuk dan lelah.
Bunyi guntur menggelepar. Sambaran kilat menyilaukan mata. Sedangkan hujan turun tanpa ampun.
Langit tak kompromi. Siang ini, cuaca memang tak bersahabat.
Cuaca seperti itu membuat pementasan caci hari pertama, tengah hari, berhenti sejenak.
Para pemain caci tak bisa bertanding dalam suasana hujan. Selain tidak elok, tentu tidak seni dan tidak seru.
Lagian para penonton juga berteduh.
Gerakan lincah nan luwes penari caci, tampak lagi di natas.
Gerakan lincah nan luwes penari caci, tampak lagi di natas.
Sedangkan hujan menampar pelan, lalu tersisa derai-derai gerimis.
Kamera saya menangkap pelangi. Bersama matahari sore yang bersinar lembut di balik awan hitam.
Warga dari ndei (tenda/rumah penginapan), dan rumah-rumah, berbondong-berbondong ke natas. Caci semakin seru di “wae manen”.
Mama saya bercerita, baru kali ini Gendang Suka mementaskan caci dengan Lentang. Sejak tiga puluhan tahun lalu.
Kala itu tak kalah menantangnya. Serunya caci tiga hari.
Tapi kali ini konteksnya berbeda. Tiga puluhan tahun lalu itu, konteksnya adalah caci wagal.
Maka di kala landang tahun 2024 di Suka oleh orang Lentang, semacam membuka lembaran tahun 1985.
Sungguh ingatan itu membekas. Setidaknya menurut papa dan mama saya. Itus dan Ina.
Aturan caci di natas
Fajar mulai tampak di ufuk timur ketika warga gendang Lentang mulai renggas. Disusul pukulan gong.
Rupanya mereka bersiap-siap melangkah dari ndei. Berarak dan bernyanyi menuju natas, tuk memulai caci pagi ini, 14 Oktober 2024.
Semua serba pakaian putih. Ikat kepala.
Sedangkan lima pria lainnya memakai atribut permainan caci: panggal, sapu atau destar, tubi rapa, selendang, sapu tangan, kain sarung tenunan (towe todo), celana putih, ndeki, nggorong, dan lain-lainnya.
Saya baru ngeh kali ini. Bahwa dalam permainan caci, dua kubu tanding, memakai sarung berlawanan.
Satu bermotif songke–dengan warna dasar hitam, dan satu lainnya memakai towe Todo–dengan warna dasar merah.
Saya jadi teringat, bahwa pada zaman kerajaan di masa lalu, songke dan towe Todo, identik dengan dua kerajaan besar di Manggarai.
Dua kerajaan itu adalah Kerajaan Cibal. Wilayahnya di bagian utara. Sedangkan di bagian selatan adalah kerajaan Todo.
Sisa-sisa peninggalan Kerajaan Todo-Pongkor, masih tersisa hingga kini. Itu menjadi situs sejarah dan wisata.
Diantaranya rumah kerucut atau mbaru niang Todo dan meriam di natasnya, beserta wilayah sekitarnya, seperti Kampung Wae Rebo.
Sedangkan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Cibal, meski ada, tidak sepopuler warisan Todo. Di Todo menjadi situs sejarah-budaya dan wisata.
Kembali lagi ke permainan caci di Suka tadi. Pagi-pagi buta, ratusan warga Gendang Lentang berarak menuju natas.
Mengelilingi compang. Di bawah natas. Di depan rumah gendang Suka Kiong (dan Suka Banggang, Suka Nangka).
Sedari tadi warga Gendang Suka Kiong melakukan hal yang sama. Rupanya sebelum caci dimulai, dilakukan upacara seperti ini. Namanya ba leso.
Secara harfiah artinya “membawa matahari atau hari”. Ba (membawa) dan leso (matahari atau hari).
Caci memang dimulai saat matahari terbit, hingga matahari terbenam.
Diawali dengan renggas dari ndei dan ba leso. Lalu diakhiri dengan rege dan renggas menuju ndei (acara penutupan).
Pada masa lalu caci ibarat perang. Maka kelincahan diadu. Ilmu diadu. Rang atau martabat kampung dipertaruhkan. Maka caci adalah tarian perang.
Caci juga merupakan tarian khas budaya Manggarai. Pemain caci pun beradu:
Adu seni, adu lincah, adu lomes, adu sabar, adu konsentrasi, adu kekuatan, dan adu keberanian.
Caci diwariskan secara turun-temurun. Dipentaskan dalam berbagai acara, misalnya, ritual-ritual adat, dan syukuran tahbisan imam baru.
Ketua panitia dari Suka Kiong meraih mikrofon. Lantas menjelaskan hal-ihwal aturan permainan caci.
Dan memang itu idealnya, sejak zaman dahulu.
Bahwa ada peraturan dalam permainan caci. Meski tak tertulis, itu berlaku sejak turun-temurun.
Dia berkata bahwa dalam caci hanya berlaku dua ta’ang (tangkisan).
Pertama, posisi nggiling (tameng) di depan dan koret (kayu melengkung) di atas kepala.
Kedua, posisi nggiling di samping kiri dan koret di kanan. Atau sebaliknya bila orang kidal.
Selain dua ta’ang itu, tidak ada ta’ang gaya-gayaan. Tidak ada ta’ang ciptaan baru. Ta'ang gaya-gayaan itu bukan warisan nenek moyang.
Begitu juga saat memukul atau paki. Bila larik (ujung tali cambuk yang terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan) sudah mengenai lawan, itu sudah sah.
![]() |
Ritual caca selek setelah pulang landang dari Kolang, Selasa sore (15/10/2024) di gendang Lentang. - Dokpri |
Aturan lainnya, kaki dua petarung jangan berapatan. Ayunan cambuk tidak mengenai penonton. Dan penangkis tidak mendorong nggiling hingga mengenai pemukul.
Meski belum memulai paki, tapi jika pas mengayunkan larik mengenai lawan, maka itu sudah dianggap selesai. Sah.
Kemudian penangkis melakukan pemukulan balasan.
Aturan lainnya adalah, kedua petarung bukan kenalan. Bukan juga keluarga. Bukan pula teman.
Artinya, jika salah satu petarung adalah keluarga, teman/kenalan, maka dia harus mencari lawan sepadan lainnya.
Setelah peraturan caci dijelaskan, caci dimulai. Tabuhan gong dan gendang dimulai. Diawali paki reis.
Adu tangkis dan pukul. Bergilir. Begitu terus hingga sore.
Sementara di pinggir natas, grup ronda tak mau kalah.
Nyanyian mereka, pantun-pantun atau go’et bersahutan. Berlomba-lomba dengan penari caci di natas. Pokoknya seru.
Ayunan larik atau cemeti seperti guntur dan kilat. Hingga tibalah sore yang berkabut pada Selasa, 15 Oktober 2024.
Warga Gendang Lentang, Kalo dan Pelus, pun berbondong-bondong. Pulang kampung.
Terdengar nyanyian dan pukulan gong saat rege.
"O tad go panggal ga e, ga e e panggal tadu ranga. Tadu ranga, tadu ranga dite ga. O kolet go koret ga e, ga e, e koret rinding mose dite ge." Bersambung. []
#2024
1 komentar untuk "Kala melandang ke Kolang (4/6)"