Politik dan nurani kita

politik pixabay
Pixabay

Politik itu barang apa kah? Saya sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan politik praktis. Apalagi saya tahu bahwa banyak aktor politik yang suka tipu-tipu, pancuri dan lupa diri.  

Saya juga tidak berpretensi untuk terlalu fanatik mendukung siapa-siapa dalam pemilu. Karena bagi saya, sama saja. Janji-janji palsu dan permainan kotor sarat dalam panggung politik.  

Rebut kursi, pengaruh dan dukungan, sedianya menjadi esensi dalam berpolitik.  

Bukan rahasia bahwa musim politik rawan konflik. Ujung-ujungnya jadi delik. Sampai-sampai ada yang jadi idola dan fenomenal.  Ada yang mendelik. 

Ada juga yang bergeming. Tapi tak sedikit jadi eksekutor. Ada narator atau sutradara.  

Di sudut-sudut kafe atau depot, di kota-kota besar, hampir pasti omongan tentang politik jadi santapan idola. Mulai dari rakyat biasa sampai bapa-bapa pejabat yang luar biasa dan biasa di luar.  

Sedangkan di kampung-kampung, kopi pun sampai jadi saksi bisu, bahwa politik itu kejam alias tanpa ampun. Politik membuat warga biasa terbelah, baku curiga dan baku hantam, malas tahu, dan lain-lain.  

Politik juga bercerita melalui ampasnya. Orang Manggarai biasa menyebutnya "toto kopi". Di mana dua atau tiga orang Manggarai berkumpul, barangkali di situ kopi dan toto kopi ada.  

Seakan kopi bisa membaca jejak politik para politisi–yang bejat sekalipun.  

Ada adagium "suara rakyat suara Tuhan". Tapi rakyatnya hanya di alam maya. Aurat dan syahwat rentan jadi taruhan. Di alam nyata? Sabar dulu.  

Bahkan agama juga jadi benteng manakala pion, kuda, perdana menteri dan ratu tak mempan.   

Lantas kita alergi dan menjauhi politik itu? Tidak! Dan tidak akan pernah bisa selama dunia masih ada.   

Kitong boleh cek harga barang-barang di pasar, turun-naik dan naik-turun, tukar guling jabatan di birokrasi, serta gonta-ganti aturan dan kebijakan, niscaya merupakan bagian dari produk-produk politik.  

Kita memang disarankan untuk tidak buta politik. Tetapi juga tidak malas tahu.  

Kita adalah penonton jika bukan pemain. Penonton yang punya pemikiran brilian dan komitmen untuk membangun, serta nurani yang bening.  

Sebagai penonton, kita juga wajib mengontrol dan memberikan masukan. Sebagai anjing penjaga begitu. Kalau saja kontol kita, eh kontrol kita, didengar, dievaluasi dan dilaksanakan, untuk kemaslahatan bersama.  

Saya pernah nonton debat kandidat pemilu 2024. Poin yang saya tonton adalah adanya saling mendengarkan. Para pembicara saling mendengarkan dan menyimak.   

Meski demikian, tidak dapat ditampik bahwa dalam debat politik itu, terjadi saling serang dan saling menjatuhkan argumen di antara pembicara.

Tapi itu tadi: saling mendengarkan. Dalam keseharian kita memang jarang menemukan ada pendengar setia. Mereka punya telinga tapi tidak mendengarkan. Apalagi mendengarkan bisikan nurani.   

Tak jarang terjadi saling potong argumen. Pembicara satu belum selesai, eh disambar oleh pembicara lain. Bahkan ironisnya moderator kerap memotong pembicaraan pembicara. 

Padahal moderator seharusnya menjadi pendengar, penengah, penuntun, dan pembuat kesimpulan.  

Tapi kalau bapa-bapa dorang yang duduk di singgasana main catur, kitorang yang rakyat jelata ini bisa apa? Palingan hanya berdiam diri dan berseru-seru:

"Semoga pemimpin dan politisi negeri kami tidak ingkar janji. Semoga bagai gembala yang baik bagi domba-dombanya. Jangan ada domba yang hilang karena dipersekusi. Atau dieksekusi dan diperkosa oleh aturan-aturan dan kekuatan liar nan egoistis dan ambisius."  

Setelah sedikit tenang dengan keriuhan omongan politik pemilu serentak 2024, sebentar lagi ada kontestasi politik pilkada. Apakah tensi politiknya seperti saat pemilihan presiden dan legislatif kali lalu?   

Ya, namanya politik. Tak luput dari adu tipu-tipu, uang, dan kubu. Di situ memang nyali dan nurani kita benar-benar diuji. []  

 #2024 

Timoteus Rosario Marten  

Posting Komentar untuk "Politik dan nurani kita"