Mengecap seteguk nira (4/11)

ibu dan anak
Ilustrasi ibu dan anak. - Pexels

Leni adalah anak dari omku. Masih satu darah. Tapi dalam tradisi kami dikenal perkawinan tungku.


Tungku adalah menyambung atau menyambungkan. Dalam arti menyambung tali kekeluargaan. Atau hubungan woe nelu.

Jenis perkawinan tungku, menjadikan aku dan Leni menjadi suami-istri.

Sebenarnya bukan tungku cu atau tungku dungka, tapi tungku neteng nara. Bapak si Leni adalah sepupu dari mamaku.

Tiap minggu, hampir pasti aku harus mengisikan si Leni pulsa. 

Ketika pacaran dulu, kedua orang kami bersepakat, aku dan Leni harus sampai pada tahap serius, yaitu, suami-istri.

Artinya, tinggal menunggu waktu yang pas, untuk mengadakan pemberkatan nikah di Gereja dan upacara adat.

Meski Leni adalah wina tungku, aku dan dia belum pernah bertemu. Hanya melalui sambungan telepon.

Tibalah suatu sore Nira menelepon si Leni. Persis setelah kami dikaruniai seorang buah hati.

Telepon bertiga atau konferensi. Jadi, aku, Leni, dan Nira berbicara melalui telepon.

"Halo," kata Leni di ujung telepon.

Aku dan Nira diam saja. Rupanya dia menunggu aku merespons duluan. Kemudian dia menyusul. Entah menyela atau melanjutkan obrolan.

"Iya, halo sayang," jawabku kepada Leni.

"Hae, ganti nomor ite ko?" Kata Leni lagi.
"Toe ye, nomor de teman ho'ot telepon ite," jawabku polos.

"Tombo agu hia pe iya. Hituy hia. Ai segitiga liha bo telepon ho'o. One mai Sulawesin," lanjutku.

"Halo!!" sapa Leni.
"Iya, Mbak," jawab Nira.

Leni belum pernah memanggil dengan sapaan manis atau sayang di HP selama ini meski kami sudah berhubungan cukup lama. Apalagi pujian.

Saat ini, meski telepon konferensi, aku diam saja dan membiarkan Leni mengobrol dengan Nira.

"Apa betul Mbak ini istrinya Mas yang aku telepon?" tanya Nira kepada Leni.
"Iya, Mbak. Aku istrinya Modes," jawab Leni.

"Oya, terus, sudah punya anak berapa?" Tanya Nira penasaran.
"Iya, baru satu anak sih. Emang Modes cerita apa ke Mbak? Jangan sampai dia berbohong," kata Leni lagi.

"Dia jujur kok. Dia memang mengatakan bahwa dia sudah punya anak satu," jawab Nira.

Aku mengetahui dari suaranya, Nira kecewa. Dia berharap bahwa selama ini Nira tak percaya bahwa aku sudah punya satu anak.

Nyatanya tidak. Leni justru dengan tegas mengatakan seperti yang aku katakan kepada Nira.

 "Kamu sudah kenal lama ya dengan suamiku?" Tanya Leni.
"Tidak, Mbak. Kita hanya berkenalan lewat HP. Suami Mbak tidak bersalah, kok," jawab Nira.

"Haha, aku tidak marah kok. Aku tidak cemburu. Lagian Modes adalah suamiku," kata Leni sambil tertawa.

Leni bekerja di kantor kecamatan. Tinggal di rumah yang kami bangun sebelum aku merantau.

Rumah kami hanya seukuran lapangan voli. Pas untuk keluarga baru seperti kami.

Hari ini anak kami di sekolah. Tapi Leni tidak kehabisan akal.

Dia memanggil anak dari saudaranya untuk tinggal bersama. Kebetulan rumah tidak jauh dari rumah kami. Umur anak ini empat tahun.

"Ini lho, anak kami, Mbak. Apa mau bicara dengan dia?" Kata Leni sambil memperdengarkan suara keponakannya, dan mengajak Nira menanyai anak ini.
"Gak usah, Mbak. Aku percaya kok. Lagian aku sudah mendengar suara anak kamu itu. Anak perempuan kan?" Kata Nira.

"Iya, Mbak. Anak perempuan yang nakal. Sama seperti bapaknya. Hahaha," kata Leni.
"Tapi suami Mbak tidak nakal kok. Dia baik. Kamu beruntung punya suami kayak dia," jawab Nira.

"Terima kasih pujiannya. Tapi sekali kubilang nakal, tetap saja nakal," kata Leni.
"Mungkin Mbak berpikir aku selingkuh dengan suami kamu? Gak kok. Kami hanya berteman dan kenal lewat telepon," jawab Nira.

Empat jam lamanya kami berteleponan. Aku bisa merasakan dua perempuan ini begitu kecewa. 

Leni kecewa karena berprasangka bahwa aku main serong. Leni menduga aku punya WIL. Wanita idaman lain. 

Sedangkan Nira berharap bahwa aku masih bujang. Akhirnya kuputuskan saja sambungan telepon.

"Maaf sayang. HP lowbat dan besok baru dilanjutkan," kataku kepada Leni.

Baru kali ini aku memanggil Leni dengan kata seromantis itu. Ini semata untuk meyakinkan si Nira.

Selama ini juga Leni hanya memanggilku Modes. Sesekali memanggilku Umbot atau Dovan.

Aku merasa bersalah dan mengasihani dua perempuan ini. Tadinya aku berharap agar Leni berbicara apa adanya. 

Ternyata harapanku sia-sia juga. Leni malah membuat Nira berpikir seribu kali.

Memang komunikasiku dengan Leni biasa-biasa saja. Hanya aku yang memanjakan dia.

Bagiku, sayang-sayangan via telpon hanya bullshit. Toh, dia istriku. Yang terpenting bagi kami adalah, uang bulanan tak pernah absen. Demi keutuhan rumah tangga dan biaya sekolah anak kami.

Berbeda dengan Nira yang selalu memanjakan aku meski baru beberapa hari berkenalan.

Aku berpikir kadang-kadang dunia sungguh terbalik. Aku yang seharusnya, lelaki yang memberikan perhatian kepada Nira. 

Tapi ini terbalik, Nira malah memanjakan aku dengan terus menghubungiku. Mengobral obrolan. Bahkan rela mengisikan pulsa. 

Apakah dia perempuan sosialita? Ibu-ibu kaya yang haus perhatian? 

Ah, sudahlah… 

Lima bulan sudah aku dan dia berkenalan. Utangku juga semakin menumpuk. 

Karena sejak mengenal Nira, aku sering bermalas-malasan dan absen dari lahan sawit.

Tujuh bulan sudah utangku belum lunas. Sampai-sampai tuan kios menyetopkan kasbon. Bayar utang atau melanjutkan kasbon.

Hari demi hari aku kelaparan. Karena “jalur kasbon” terputus. 

Sedangkan Leni dan anakku? Beruntung mereka bisa menjual cengkeh, kopi, dan babi piaraan kami.

Beternak babi adalah kewajiban bagi kami. Tak sreg kalau tak beternak babi.
Babi bisa dijual, untuk membeli sesuatu.

Babi juga bisa menjadi maskawin dan disembelih, untuk upacara adat di kampung halaman.

Sedangkan aku? Aku di sini kelaparan. Hanya makan umbut.

Umbut adalah pucuk sawit. Bisa diolah jadi makanan atau sayuran. 

Di daerah yang punya perkebunan sawit seperti Kalimantan, umbut sawit adalah makanan khas, yang bisa diolah dengan berbagai macam.

Siang dan malam aku hanya memakan umbut sawit. Umbut dan ikan dimakan bersama. 

Aku memang hobi memancing, sehingga ikan tangkapan menjadi lauk.
Memakan umbut sawit hanya bertahan tiga hari tiga malam. 

Tibalah saat malam di hari ketiga, perutku mules. Aku kena diare. 

Aku kira penyebabnya karena perutku tidak terbiasa dengan umbut sawit. Jadi, perutku beraksi.

Di tengah kondisi seperti ini, aku dan Nira tetap berkomunikasi dengan baik. Malahan makin akrab.

Aku juga jarang menelepon Leni. Begitu pun dia. 

Di situasi seperti ini, Nira yang mengingatkan aku, agar tidak melupakan Leni dan anakku.

Anehnya, Nira terus mengisikan aku pulsa, hingga beratus-ratus, tanpa memberi tahu terlebih dulu kepadaku. 

Pernah suatu waktu aku mengecek pulsa dan terbaca pesan "sisa pulsa Anda Rp 300 ribu".

Aku memang jarang menelepon Leni. Sehingga pulsaku menumpuk seperti itu. Ini berkat “perbuatan baik” si Nira.

Aku terus bertanya, siapa sebenarnya si Nira itu? Sadapan pohon enau? Apakah dia malaikat pelindung dan penolong kala aku dilanda sengsara? 

Dalam imanku, iman Kristiani, setiap pribadi punya santo-santa dan malaikat pelindung. Apakah Nira adalah jelmaan malaikat pelindungku?

Pertanyaan ini terlintas begitu saja. Sebab aku seperti melupakan segala beban dan utang, sejak mengenal Nira.

Meski tak makan sekalipun, aku merasa kenyang ketika dia menelponku.

Aku ingat betul sebelum mengenal dia, sering berdoa agar Tuhan memberikan jalan kepadaku, untuk bisa melunasi utang yang menumpuk. Aku kira Nira adalah jawabannya.

Nira membuatku terlelap dalam tidur panjang, dan dia hadir dalam mimpi yang belum pernah aku alami. 

Sampai kapan pun aku tetap mengingat mimpi itu. Bersambung... []

#2024

Posting Komentar untuk "Mengecap seteguk nira (4/11) "