![]() |
Pixabay |
Napas mengerutkan dahinya saban tahun ketika memasuki bulan Desember. Ia menguras isi kepala, menguras tenaga, lalu mencari cara yang pas sesuai kemampuan ragawi.
Hal itu demi menyambut sebuah hari yang mistis, religius dan historis: Natal.
Bersama raga yang rapuh siang dan malam dalam sepekan ia bertanya-tanya pada Yang Ada. Tentang peri kehidupan yang fana. Tentang sebuah “jalan keluar”.
Ia bertanya bukan tentang rupiah, apalagi tentang materi terberi.
Tapi itu tadi: segala macam upaya untuk keluar dari keterkungkungan.
Hingga tibalah suatu sore yang mendung. Di pinggiran kota tua, ia termenung. Bersama matahari sore yang diadang kabut.
Melalui celah jendela rumah tua percikan senja memasuki ruang kalbu dan menyapanya.
Apa gerangan? Ia tidak mengerang. Ataupun berang tentang pertarungan dunia yang sarat dendam, asumsi, hedonis, materialis dan dengki tanpa musabab yang rasional.
Tidak! Tidak! Ini tentang upayanya bagaimana bertahan dalam segala macam situasi—baik dan buruk, terhina dan dihina, tawa dan muram, duka dan suka.
Heninglah di sekitar kota tua. Hening yang tercipta dari pikiran dan jiwa yang menggelora.
Bukan keheningan alamiah. Tapi yang tercipta.
Napas termenung dalam keheningan. Mendengar bisikan nurani, suara alam, suara realitas, suara angin dan daun, suara riakan gelombang, suara debu tanah yang beterbangan. Kontemplasi. Tepekur.
Ia lalu melantunkan ujud doa pada Sang Khalik. Bukan ibadat atau brevir.
Tapi semacam “berbicara dalam ruang sunyi” bersama cahaya Yang Kudus.
Rupanya ia sedang mempersiapkan jiwa dan raga. Menghadapi peristiwa sejarah: kelahiran baru.
Kelahiran itu, oleh umat Kristiani sebut kelahiran Juru Selamat.
Juru selamat? Juru selamat dari dosa asal katanya.
Dosa siapa? Dan bagaimana menyelamatkannya?
Natal adalah kelahiran. Natus. Puer Natus Est—Putra telah lahir dalam dunia.
Dalam segala macamnya pada yang fana, yang nanti sengsara, wafat dan bangkit.
Melalui Natal, konon jiwa-jiwa juang yang terkadang rapuh lebih menggelora, dan riang gembira. Itu pada momen tahunan seperti ini.
Lantas Napas kembali mempersiapkan segala kemampuan dan kelemahannya, kelebihan dan kekurangannya menyambut Natal dan Tahun Baru itu—selama empat pekan. Adventus namanya.
Semasa Adventus, ia dan kita dalam penantian akan terang, yang datang menghalau kegelapan, kekalutan dan kegamangan. Bagai peronda malam yang merindu fajar.
Peristiwa historis yang awet sepanjang masa ini bukan sekadar rutinitas. Bukan sekadar maklumat kelahiran dalam ibadat meriah, riang gembira.
Bukan sekadar madah “Semua Bunga Ikut Bernyanyi”. Bukan sekadar “yang baru” yang akan membalut tubuh lemah--baju baru.
Bukan itu sayang! Tapi lahir—kelahiran kembali akan habitus baik-baik.
Mengubur habitus lama yang tidak berkenaan dengan kebaikan.
Napas memang tipe oknum yang tak taat ibadat dan doktrin kaku. Tidak asali. Tapi religiositasnya?
Ah, biarkan Tuhan yang tahu. Dia mahatahu tentang kebajikan insan-insan dan si perenung yang tidak malang.
Datanglah waktu yang tak tentu. Sebuah keajaiban datang padanya. Menyentuh ke kedalaman relung hati.
Ia menyadari bahwa agama yang tertulis pada Kartu Tanda Penduduk bukan sekadar pelekat atau penanda identitas, yang jadi penyelamat saat dirazia petugas sensus.
Itu lebih pada tanggung jawab terhadap ada-Nya, pribadinya dan pribadi Yang Lain--yang diyakini dan diimaninya itu. Ya, itu.
Dalam arti lain, Napas bukan sekadar nama diri atau nomina.
Tidak juga sekadar sebuah oksigen yang dihirup melalui rongga dada, hidung dan tenggorokan untuk mempertahankan keberadaannya.
Kecuali itu, napas juga adalah kependekan dari natal dan paskah--yang melihat gereja saat dua perayaan ini meriah.
Saban tahun memang penganut napas memenuhi gereja. Seakan bagai orag asing di dalam rumah.
Tapi kehadirannya terjelma dari kerinduan mahapanjang akan pertemuan dan perjumpaan dengan Yang Agung.
Laksana tiga orang bijak dari negeri timur. Yang dituntun kejora dan mempersembahkan emas, mur dan dupa.
Dia yang menghamba--yang terhina di kandang binatang--dipuja dan puji.
Maka momen Natal adalah sebuah pembaktian diri atas silih dosa setahun berlalu.
Sebab Dia Yang Ada datang kepada yang tiada untuk menjadikannya ada--demikian St. Luis Marie Grignion de Montfort.
Napas adalah kelahiran, kematian dan kebangkitan.
Tiga peristiwa ini setidaknya menjadi pegangan refleksinya di tiap stasi-stasi kehidupan. Paling dekat adalah momen Natal dan Tahun Baru.
Saya adalah napas. Dan Napas adalah napas juga. Mungkin juga mereka yang sedang membaca Napas.
Tapi yang terpenting bukan itu. Hati yang damai, pikiran yang teduh, kebajikan dan penuh sukacita adalah prioritas.
Pasrah pada Penyelenggaraan Ilahi juga sebagaimana diteladani Maria: Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.
Lalu?
Napas bersenandung:
Jauh di dusun yang kecil di situ rumahku. Palungan-Nya. (*)
Port Numbay, Desember 2017
Posting Komentar untuk "Catatan kecil tentang napas "