![]() |
Ilustrasi. - Pexels |
Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Rambut juga tak mau kalah. Pori-pori makin terbuka. Dan keringat mengucur deras di sekujur tubuh. Padahal angin terus menerpa raga.
Di sini tak ada yang lain. Cuma aku seorang diri. Tapi di luar camp suara-suara terus bersahutan.
Kakiku gemetar. Apakah aku tunduk pada rasa takut?
Oh, tidak. Tidak.
Aku berusaha menengok sekeliling meskipun kaki gemetar dan keringat dingin berlomba dengan angin.
Tapi langkah kakiku seperti bergema. Semakin aku melangkah, gema hentakannya semakin mendekat.
Lantas aku melihat area dapur. Makanan berhamburan. Piring-piring dan periuk berserakan.
Ulah siapa ya?
Aku tidak sedang menonton film, kan? Iya, aku juga tak mengimajinasikan dunia gaib. Ini kenyataan, kawan. Fakta lain di luar nalar.
Pertanyaan demi pertanyaan tak mampu dijawab nalar. Aku pun bergegas istirahat.
Kutengok pada layar ponsel. Waktu menunjukkan pukul 12 malam.
Mempertanyakan hal-hal di luar otak memang melelahkan. Maka tidur atau ketiduran adalah jawabannya.
“Tuhan, syukur atas berkat hari ini, dan ampuni segala dosaku. Biarkan aku tidur dengan nyenyak dan bangun besok pagi dengan semangat baru, agar dapat memuji-Mu melalui karya."
Tidurku memulihkan tenaga, hingga mengantarku pada pagi yang berseri-seri.
“Halo Niraku yang aduhai, manis, baik hati dan tidak sombong!”
Aku membuka obrolan dengannya. Dibumbui segala jurus rayuan maut.
Rayuanku meluluhlantakkan hati Nira, yang jauh di seberang sana. Paling tidak, itu feeling-ku.
Aku bisa membayangkan senyumannya. Dan auranya melebihi matahari pagi yang menampakkan senyum dari punggung bukit.
“Halo juga, Embot! Kamu semangat sekali hari ini, ya?”
Ini membuat senyumku makin melebar. Riang gembira seperti sedang menyanyikan “Maju Tak Gentar”.
“Bagaimana aku tidak bersemangat, Nir, utangku sudah kamu lunasi. Aku seperti terlepas dari ikatan belenggu yang begitu erat. Kaulah penyelamatku.”
“Hah, apa? Bayar utang? Aku tidak pernah melunasi utangmu, Embot! Kamu jangan bercanda deh,” katanya diiringi puja-puji.
“Kan kemarin Nira transfer uang?”
“Bukan aku yang bayar, sayang! Kamu sendiri yang melunasinya. Aku hanya mengirim buat kamu. Soal bayar utang, itu urusanmu.”
“Iya, Nir. Tapi itu kan berkat bantuan kamu.”
“Ya, sudah. Kamu sudah makan, Embot?”
“Belum! Semalam aku tidak makan gara-gara menunggu telepon, hingga ketiduran.”
“Uhhhh, kamu mulai gombal, Mbot.”
Hari demi hari dilalui. Tiba-tiba ponsel bergetar. Oh, ada pesan multimedia di inbox. Dia mengirimkan fotonya melalui General Packet Radio Service atau GPRS.
Aku jadi minder. Foto yang dikirimnya membuatku sungkan.
Aku tidak percaya semua ini. Aku tak tahu apa ini editan, efek kamera, atau semacamnya.
Bagiku, dia bagai bidadari. Dialah putri kayangan yang sering diceritakan nenek, sewaktu meninabobokan kami cucu-cucunya, tempo dulu.
Aku dan dia jadi seperti langit dan bumi.
Bagaimana kalau kami berjalan berduaan? Oh Tuhan, apa kata dunia?
Semangatku pun kendur. Aku membatalkan niat untuk mengirim foto melalui GPRS.
Komunikasiku dengan dia selama ini tidak masalah. Bahkan semakin hari semakin intim.
Tidak demikian dengan Leni. Aku jarang menelepon si Leni.
Delapan bulan sudah…
Suatu waktu, aku dikirimi SMS. Menyusul miscall.
Ah, masa bodoh. Tidak ada gunanya meladeni nomor asing.
Tapi aku juga penasaran. Sebab sudah lama tak mendapat telepon dari Nira.
“Nana, emo lite telepon nomor hio ga. Tolong e!”
Ini siapa, ya? Kalau Nir, masak dia bisa berbahasa daerahku? Atau siapa yang memberitahu dia? Atau apakah itu pacar, suami, atau keluarganya? Jangan-jangan ini Leni?
Aku penasaran. Lalu aku menelpon si pemilik nomor itu.
Tapi…
Suaranya terputus. Persetan ah. Mungkin salah sambung.
Lalu aku kembali bekerja.
Beberapa menit kemudian muncul SMS.
“Nana, emo hubung lite nomor hot 482 musi main ga. Karena ata manga ronan. Momang laku ite.”
Pada bagian bawah layar ponsel itu ada tertulis lagi:
“Nara daku, momang laku ite. Neka koe hemong hi Leni.”
Ini siapa ya? Orang telepon tidak diangkat. Apa maunya sih?
Aku pun menghubungi si Leni. Bertukar kabar dan tanya-jawab.
“Leni, itu nomor punya siapa?”
“Aku tidak tahu.”
Lalu sambungan telepon putus. Dan SMS muncul lagi, dari nomor yang sama.
“Nana, nomor hitut telepon dite bos daku. Jadi, tolong emo lite angkat telpon diha ga.”
Saking penasaran aku membalasnya.
“Neka rabo ceing ite? Nia mai beo, agu nia kaeng dite?”
Dia membalasnya.
“Nana, ite toem perlu bae ceing aku. Tapi hitu kaut tae daku, aku weta dite. Eme imbi lite tae daku.”
Aku semakin penasaran.
“Ceing weta daku hitu, neka koe pande penasaran.”
Setelah itu dia tidak membalasnya. Dan aku pun semakin penasaran.
Nira menelepon saat malam. Saat aku dan belasan kawanku bersantai.
Ini kesempatan buat Nira, untuk menyelidiki aku.
“Uihhhh, Nana. Rejeki de hau e ae,” kata seorang kawan disambut gelak tawa kawan-kawan lainnya, setelah melihat foto Nira dan mendengar suaranya.
Hari ini muncul pesan lagi. Nomor anonim rupanya.
“Halo, nana. Hi Modes ite ko?”
“Iyo enu, tu’ung. Neka rabo agu ceing bo ho’o ga?”
“Nana, ngasang daku hi Sedis. Weta dite one mai Ndoso.”
“Trus, nia main nomor daku lite ge?”
“One mai beon nana. One mai hi Leni.”
Jawabnya disusul SMS baru.
“Nana, aku manga rei agu ite. Dan tolong wale jujur. Nomor hot selalu telepon dite. Nana bos daku hia.”
Aku langsung lemas mendengarnya.
“Bos dite? Co’o maksudn ta enu? Agu apa kaut campit tara baen lite?”
Sedis pun berterus terang.
“Tapi nana. Tolong neka toi rahasia ho'o eme telepon agu hia e.”
Terus terang aku kecewa. Aku sangat kecewa karena Nira yang bermanja-manjaan, yang penderma, dan yang aku panggil sayang ternyata majikan sepupuku.
Nira terlanjur mencintaiku meski belum bertemu. Begitu juga aku. Aku terjebak dalam rayuan dan kasih sayang semu.
Namun, di sisi lain aku takut kehilangan sosoknya.
Aku juga kecewa sama Sedis. Kenapa ada Sedis dalam hubungan kami? Kenapa Sedis baru memberi tahu ketika hubungan kami terlanjur nyaman?
Oh, Tuhan…
Nira, ternyata diam-diam mengambil nomor ponselku dari Sedis saat dia menelpon Leni.
Saat itu, aku, Leni, dan Sedis sedang mengobrol dalam percakapan konferensi. Nira ternyata menguping.
Sontak Sedis kaget dan mempersilakan aku dan Leni mengobrol, sedangkan Sedis melanjutkan pekerjaannya, karena dipergoki sang majikan bernama Nira alias Pusara Nirwana.
Ceritanya lumayan alot. Ketika Sedis ke toilet, diam-diam Nira mengambil nomorku dari ponsel si Sedis.
“Eh, Bu. Kok di sini ya?” kata Sedis begitu memergoki Nira.
“Ini siapa, Sedis? Kok obrolannya asyik dan mesra sekali, pacar kamu, ya?” Tanya Nira.
“Bukan, Bu. Itu saudaraku. Yang cowok berada di Kalimantan dan perempuan di Flores,” jawab Sedis.
Lalu Sedis menjelaskan status hubunganku dengan Leni. Tapi, Nira terlanjur basah.
Lalu Sedis mematikan telepon itu.
“Biarkanlah dulu mereka bicara, Dis. Jangan dimatikan. Atau pulsamu habis? Aku gantikan pulsamu. Kasihani mereka. Lagi asyik pacaran. Mesra lagi.”
“Tidak, Bu. Lowbat HP-ku," jawab Sedis sambil meninggalkan bosnya dan mengisi daya baterai ponsel.
Sejak saat itulah, Nira, si majikan Sedis itu, melancarkan aksinya. Dia mulai merancang strategi. Alih-alih salah sambung dan mengaku mahasiswa jurusan psikologi.
Keesokan harinya dia menelepon aku. Dan mencari pria bernama Hans, seperti katanya dulu kepadaku.
Sedis bahkan makin kaget ketika Nira mengajaknya berlibur ke Kalimantan. Tambah kaget lagi Sedis ketika majikannya itu mengetahui nomorku, dan mengajak dia menemuiku.
“Kok ibu tahu nomornya Modes?” Tanya Sedis.
Sedis menolak ajakan si bos, dengan alasan terlalu jauh jika ke Kalimantan.
“Lah, kan aku yang tanggung tiket, Dis. Kamu hanya menemani aku,” kata Nira.
“Tidak usah, Bu. Aku di sini saja.”
Karena penasaran, Sedis menanyakan lokasi di Kalimantan yang bakal dikunjungi.
Nira pun mengatakan bahwa mereka akan menemuiku di Kalimantan. Nira lalu menceritakan hubunganku dengan dia.
Cerita Sedis kepadaku memang mengecewakan. Tapi apa boleh buat. Nira semakin nekat menemuiku di Kalimantan.
Namun, Sedis bercerita bahwa bosnya itu belum berstatus cerai. Dia adalah gadis kelahiran 1980-an dan lebih tua setahun dari usiaku. Dia menikah di usia yang sangat muda dan kini punya empat orang anak.
Dia memutuskan untuk datang sendiri ke tempatku di Kalimantan.
“Embot, minggu depan aku ke Balikpapan, ya. Kamu harus menemuiku,” katanya di ujung telepon.
Aku diam saja tapi dia terus menanyaiku.
“Jawab dong, Embot. Mau kan menemuiku?”
Di sisi lain aku senang. Sangat senang malah. Tapi caranya gimana ya? Tempatku jauh dari Balikpapan.
Aku harus menempuhnya tiga kali transit dengan jarak tempuh puluhan kilo. Dari Kembang Janggut dan Kota Bangun dengan menyeberangi Sungai Mahakam. Dari Kota Bangun ke Samarinda, baru Balikpapan.
Butuh biaya 750 ribu ke Kota Bangun untuk menyewa perahu. Sedangkan dari Kota Bangun ke Samarinda butuh biaya 150 ribu dengan naik taksi bebas cargo. Dan dari Samarinda ke Balikpapan butuh 25 ribu untuk membayar bus.
“Waduhhhh Nira!! Bukannya aku tidak mau ketemu kamu, tapi dari tempatku saat ini ke Balikpapan sangat jauh dan butuh biaya banyak. Belum terhitung belanja selama perjalanan. Aku tidak punya uang dan tidak mungkin aku bisa menemui kamu,” jawabku.
“Ya, sudah. Berapa semua biaya menuju Balikpapan dari tempat kamu? Aku akan transfer nanti. Asalkan kamu mau menemuiku,” jawabnya enteng.
“Waduhhhh, gimana ya, Nira?”
Aku sebenarnya mau bertemu dengan dia. Tapi aku malu dengan kondisiku saat ini. Aku tidak selevel dengan dia. Dia bohai nan kaya raya. Sedangkan aku bukan siapa-siapa.
“Okelah, Nira. Nanti aku ke sana ya?”
“Janji, ya?”
“Iya aku janji. Tapi kenapa harus ke Balikpapan?”
“Maksudnya ke tempat kamu, sayang.”
Aku takut dia semakin nekat. Aku tidak mau dia ke tempatku. Boleh saja kami bertemu di Balikpapan, asal jangan di tempatku.
“Waduh, jangan deh kalo ke sini. Aku tidak mau kamu ke sini.”
“Kenapa, Embot? Tidak suka sama aku ya?”
“Bukan begitu sayang. Di sini hutan rimba. Percaya saja aku. Kamu belum tahu tempat ini seperti apa.”
“Kan ada kamu, Embot!”
Nira terus memaksa dan aku pun mengiyakannya.
Pada hari yang dijanjikan, Nira mengirimkan uang transpor sebanyak dua juta lima ratus ribu, agar kami bisa bertemu di Balikpapan. Bersambung. []
#2024
Posting Komentar untuk "Pesan multimedia (7/11) "