Jagung dan strategi masa sulit

jagung
Dokpri

Beberapa hari belakangan, hujan deras mengguyur hampir seluruh Manggarai. Kadang-kadang sepanjang hari sampai malam. 

Kadang-kadang disertai badai, kabut, hingga banjir. Bergantian. Orang Manggarai menyebut hujan tanpa henti ini adalah musim dureng.

Dirumah saja, adalah pilihan yang pas di musim dureng seperti ini. Apalagi jika rede (tanam padi) dan pekerjaan lainnya beres.

Teman baik kala dureng adalah jagung. Karena kini musim jagung muda. 

Menyalakan api, lalu bakar jagung muda, minum kopi plus sopi, sungguh nikmat hidup di kampung, ketika dureng seperti ini.

Poin utama dari catatan kecil ini adalah jagung. Ya, jagung dan segala kenangannya.

Dulu ketika musim jagung tiba, rumah dan pondok-pondok di kebun, menjadi semacam gudang.

Orang-orang tua memang punya kebiasaan menyimpan jagung, untuk dimakan di kemudian hari.

Jagung yang akan disimpan itu diikat rapi. Ikatannya bermacam-macam: ponte, wese atau deleng. 

Setelah di-ponte, maka orang-orang tua menyimpannya di atas tungku api (rangkung api) dan langit-langit rumah (lobo). 

Jagung-jagung yang bergelantungan di rangkung api dan lobo, menjadi pemandangan khas di rumah-rumah warga kampung. 

Tujuannya agar jagung yang bergelantungan itu, tetap kering. Seperti jemuran alami.

Ada beberapa pilihan ketika memakan jagung kering tua atau latung kora itu. Ini terutama dan pertama-tama dalam menghadapi masa sulit atau paceklik.

Pilihan pertama dengan cara dimasak. Biji jagung yang sudah dipisahkan dari tongkolnya, dimasak bersama kacang panjang atau kacang-kacangan lainnya dan daun-daunan. 

Masakannya agak lama, hingga teksturnya lembut seperti bubur. Kami menamainya bombo lowuk

Selain mengenyangkan, bombo lowuk tentu melahirkan persaudaraan dan kekuatan baru. Terutama karena dimakan bersama anggota keluarga, kalau-kalau paceklik tiba. 

Persaudaraan tercipta dalam seperiuk bombo lowuk.

Pilihan kedua digoreng. Kami menamainya jagung goreng. Sebenarnya itu disangrai. 

Namun, keterbatasan kosakata membuatnya hanya disebut jagung goreng. 

Kami menyebut jagung yang disangrai itu dengan latung cero.

Latung cero hampir pasti ditemani daun kacang panjang mentah (saung tago). Atau kopi dan tuak. 

Kadang-kadang makan jagung dengan meminum tuak, disertai nyanyian-nyanyian pelipur lara atau tentang peri kehidupan, di tengah malam nan sunyi sepi.

Pilihan ketiga adalah ditumbuk dengan batu (penang) kali yang halus. Jagung yang ditumbuk tentu disangrai terlebih dahulu.

Jagung yang sudah ditumbuk itu, kemudian diayak dengan menggunakan daun (daun aren). Tepung yang halus dipisahkan dari tepung yang kasarnya. 

Hasil ayakan yang halus tadi, dinamai rebok. Sedikit dicampur gula merah (gola malang), untuk menambah rasa dan aroma yang sedap.

Rebok sering dijadikan bekal atau oleh-oleh, karena lebih awet.

Anak-anak yang merantau ke negeri seberang lautan atau anak-anak asrama, biasanya membawa oleh-oleh rebok dari rumah.

Dari rebok ini lahirlah kosakata baru. Namanya imus rebok (senyum rebok).

Kenapa imus rebok? Itu karena saat makan rebok, kita dilarang tertawa. Meski tingkat kelucuan sebuah cerita saat memakan rebok melebihi adegan Mister Bean, Warkop DKI atau Tom & Jerry, maka tertawa adalah “haram”.

Hukumnya adalah dilarang tertawa. Kalau Warkop DKI dengan jargonnya "tertawalah sebelum tertawa dilarang", maka dalam versi kami adalah: “tertawalah sebelum Anda memakan rebok.

Senyum atau imus rebok ini kerap disematkan, untuk menggambarkan senyuman paling manis dari anak-anak Manggarai di Pulau Flores.

Bila di daerah kami dikenal latung penang (jagung yang ditumbuk batu), maka di daerah lain di Pulau Flores, barangkali, dikenal jagung titi seperti di Flores Timur. 

Pilihan keempat, ditumbuk dan dicampur dengan beras untuk dimasak. Ini adalah sebuah pilihan, yang mengandaikan bahwa stok beras masih ada tapi menipis.

Kami menamainya "hang kabo". Disebut kabo karena dia dicampur beras.

Hampir pasti, takaran jagung lebih banyak dari beras. Nasi tapi jagung. Jagung tapi nasi.

Itulah jagung. Dari jagung orang-orang tua menanamkan banyak hal.

Pertama, strategi menghadapi masa paceklik. Ada persiapan sebelum tiba masa sulit.

Kedua, kekeluargaan dan rasa syukur. Bahwa hasil alam merupakan hasil kerja keras. Dan tentu atas berkat Morin Agu Ngaran (Tuhan dan Empunya).

Di tengah pandemi global virus corona atau coronavirus disease 2019 (covid-19) banyak orang yang dilanda panic buying. Banyak warga yang memborong makanan di mal-mal untuk persiapan selama masa lockdown atau social distancing, yang kemudian menjadi physical distancing dan #dirumahaja.

Hemat saya, kala itu, membeli makanan di mal-mal atau pasar modern, sama halnya dengan menambah daftar kekayaan orang kaya. Secara tidak sadar kita menambah pundi-pundi kekayaan mereka. 

Di satu sisi, masih banyak orang-orang kecil yang tidak "diperhatikan" tetapi justru menjadi orang yang rentan terdampak musibah semacam pandemi itu. Sebut saja petani, buruh, yang kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, dan tidak berdaya sama sekali.

Jagung, ubi, pisang, dan hasil-hasil kebun lainnya adalah stok makanan alami yang membikin kita kenyang dan "kembali ke rumah", kembali ke alam, kembali ke persaudaraan atau cinta kasih. []

#2025

Posting Komentar untuk "Jagung dan strategi masa sulit"