Semenjak kau pergi (11/11)

pernikahan
Pixabay

Satu bulan kemudian… 

Aku dan kawan-kawan berpisah. Kami meninggalkan Kalimantan.

Pulau sawit dan banyak kali besar, yang memberikan aneka warna hidup, dengan berat hati kami tinggalkan.

Tapi kami kan mempunyai cerita berbeda dari sini. Yang kami bawa pulang sebagai pengalaman. 

Sebenarnya berat meninggalkan kebaikan orang-orang yang mencintai kami. Yang menjadi keluarga dengan caranya masing-masing. 

Apalagi Mama Aldo. Dia menangis sejadi-jadinya begitu kami, satu per satu berpamitan. 

Mama Aldo kehilangan anak-anak baik. Mama Aldo ditinggalkan “pelanggan kasbon” di warungnya.

Begitu juga Pak Martin. Yang sebenarnya tak rela melepaskan kami. Yang tak tega melambaikan tangan pada kami, yang pergi untuk tak kembali.

Tapi kepergian kami bukan tanpa alasan. Bukan karena takut dililit utang. Atau tidak menyukai pekerjaan di hutan sawit, yang dipimpin Pak Martin.

Tapi semata pulang. Ya, pulang adalah maha kerinduan. 

Sejak kepergian Nira, basecamp kami sering kemalingan. Itulah salah satu alasan, yang membuat kami terpencar.

Ada-ada saja tingkah laku tamu tak diundang ke basecamp

Kadang-kadang beras di karung bercampur kerikil. Kadang-kadang juga berhamburan di lantai tanah.

Suatu malam aku marah besar. Lalu aku menanyakan rumah pak lurah kepada Mama Aldo. 

Setelah diberitahu Mama Aldo aku menuju rumah Pak RT. 

Dengan refleks aku melemparkan batu seukuran genggam ke arah rumah itu. Ini spontan saking tak bisa membendung emosi.

Musababnya aku melihat pencuri lari ke sana. 

Pemilik rumah pun kaget dan ramai-ramai mendatangi kami. Dua kawanku lari ketakutan. 

Aku menenangkan mereka agar tidak panik. Sebab aku yang bertanggung jawab atas peristiwa tengah malam ini.

Mama Aldo datang membela kami begitu kami terlibat adu mulut dengan warga. 

Tiba-tiba dia menghadap satu pemuda. Menghalaunya saat hendak memukulku. 

Rupanya pemuda ini kesal karena kami berteriak "ada maling" malam ini.

"Berani kamu pukul anakku berarti kamu berurusan dengan aku!!" teriak Mama Aldo.

Mereka ketakutan. Serentak diam seribu bahasa. 

Lalu terjadilah proses negosiasi. Hingga tercipta perdamaian dan komitmen bersama.

Para tetua adat dan warga pun meminta maaf atas kejadian itu. Mereka berjanji sesegera mungkin mencari pelaku pencurian.

Meski demikian, kami akhirnya memutuskan hijrah ke tempat lain. Kami balik kanan. 

Saat kami mencari jalan masing-masing, Titi masih mengutang sejuta lebih. Tapi Nira melunasinya.

Sejak saat ini kami berpencar, merantau ke tempat yang lebih jauh. Ada pula yang memilih pulang kampung.

Rikardus menjadi tukang ojek di kampung halaman, Ronaldus ke Sulawesi bersama istrinya, sedangkan Titi tetap di daratan Kalimantan setelah menikahi gadis Dayak.

Aku sempat ke Melak tetapi sebulan kemudian menyeberang ke Sulawesi bersama Savrianus dan Inosensius.

Tak disangka, Nira sudah menungguku di sebuah hotel. Dia menyarankan agar aku menemuinya di hotel itu. 

Tapi....

Aku menolak tawarannya. Aku takut Nira berubah pikiran, lantas menjebakku dan membunuh atau meracuniku.

Namun alasan itu tak ku beritahu kepadanya. Aku hanya bilang butuh istirahat, sehingga minggu berikutnya baru bisa bertemu.

Dua puluh hari aku tinggal di Sulawesi. Aku menata kembali harapan-harapan yang terbuang. 

Aku menyusun kembali komitmen untuk merantau lebih jauh. Atau terbuai dalam pelukan mesra di rahim Bumi Celebes.

Rumah Kakak Nandus adalah tempat aku beristirahat sekembalinya dari Kalimantan.

Di sini, pertama-tama yang harus aku temui selain Nira dan Kakak Nandus adalah Sedis. 

Aku berusaha mencari Sedis untuk meminta maaf. Dan mendengar cerita sebenarnya tentang si Nira itu.

Sedis dengan jujur menceritakan semuanya. Tak satu kata pun meleset dari mulutnya. 

Persis seperti yang diceritakan Nira sendiri kepadaku. Dan saat Sedis menceritakan kepadaku via SMS tempo dulu.

Aku juga menceritakan semua tentang Nira kepada Nandus. 

Nira memang sering menelepon mereka, tapi baru kali ini Kakak Nandus mendengar kronologi yang detail tentangnya dariku.

Suatu hari yang tak kuduga, angin sepoi meniup ke seluruh pori-pori. Nira datang lagi. 

Aku hanya kaget kenapa Nira menemuiku di rumah Kak Nandus. Dunia ini memang terlalu kecil untuk manusia yang bertualang.

Usai menyambut si Nira, Kak Nandus ke rumah keluarga. 

Kak Nandus rupanya memahami bahwa aku dan Nira butuh ruang sunyi untuk berdua. Butuh ruang sepi untuk saling mendengar suara hati selepas kepergiannya.

Dan rumah Kak Nandus kini jadi saksi bisu.

pernikahan
Pixabay

Di sini kami saling berbagi cerita dan berkomitmen, untuk menentukan pilihan bebas.

“Hubungan kita bagaimana selanjutnya, sayang? Aku sudah sah bercerai dengan Rozky,” katanya memberi godaan.

Aku diam saja. Perasaan malu, bersalah, dan ragu, seolah bercampur-aduk. Aku terbius. 

Aku malu sebab dia ringan tangan. Bahkan keluargaku kerap diberikan bantuan seperti waktu membantuku.

Di sisi lain, aku tak mau hubungan kami tanpa restu keluarga.

“Embot, jawab dong! Apa pendapatmu?”

“Aku jawab sejujurnya, Nira. Tapi aku punya pertanyaan.”

“Apa itu, Embot?”

Aku seakan membuat ceramah kepadanya. Setidaknya menjadi alasan, untuk tidak bersama selamanya.

Namun, semua alasan itu semata tak kulontarkan. Aku hanya membatin.

Pertama, apakah keluargamu sudah mengizinkan hubungan kita, lalu melamar dan menikahimu? 

Ataukah sekadar backstreet, semata kau jadikan aku sebagai persinggahan? 

Kedua, apakah keluargamu nanti menerimaku jika kita bersama-sama ke rumahmu?

Ketiga, tentu kita tidak bisa menikah secara agama. Menurut ajaran Gereja Katolik, suami atau istri tidak bisa menikah lagi sebelum salah satunya meninggal. 

Suamimu belum meninggal dan Nira tidak mungkin kawin lagi. 

Aku tidak bisa menikahimu sebelum kau berstatus janda. 

Keempat, aku tidak mau kalau kau kelak jadi tulang punggungku. Aku tidak punya apa-apa dan kau orang kaya. 

Aku bukan tipe lelaki mokondo, dan aku pekerja buruh dengan otot kawat tulang baja.

Kelima, aku tidak mau jika hubungan kita menggantung begitu saja..

Keenam, aku punya Leni dan buah hatiku. Dan inilah alasan terpenting. 

Mereka adalah alasan aku merantau. Mereka adalah separuh jiwa dan ragaku.

Tidak mungkin aku mengawini Nira selagi aku punya Leni. 

Dalam ajaran imanku, perkawinan adalah bersifat monogami dan tak terceraikan.

“Woi, jawab dong!!”

Tepukan tangannya di pundakku, mengagetkanku dari perenungan mahapanjang.

“Iya, apakah kamu sudah menceritakan semua tentang aku kepada keluargamu dengan jujur? Aku mendengar informasi bahwa kamu memberi tahu keluargamu bahwa aku adalah Bondan dan bekerja di sebuah bank negara,” kataku mengonfirmasi.

Dia diam seribu bahasa dan aku melanjutkan penjelasanku.

Kalau di pihakku, keluarga sebenarnya tidak masalah. Ya, apa boleh buat. Anggap saja ini nasibku.

Tapi bagaimana keluargamu? Jika kamu betul-betul mencintaiku, sekarang ini juga seharusnya kau pertemukan aku dengan keluargamu. 

Dia menangis sejadi-jadinya mendengar penjelasanku. Situasi jadi tegang karena Nira hanya menangis. 

"Embot, bunuh aku sekarang juga. Aku tidak mau hidup lagi. Bunuh aku, Embot!!!"

Dia terus berteriak. Merengek dan bersandar di pundakku. 

Seketika mulai saat ini hubungan kami tidak jelas. Seperti di persimpangan. Dia tidak memberi jawaban pasti dan hubungan kami berakhir di sini.

Keluargaku menangis mendengar hubungan kami. Namun, mereka tidak mengerti kenapa semua itu terjadi. 

Enam pertanyaan terus membatin dan aku tak berdaya.

Nira tak memberi jawaban pasti. Tapi di sisi lain dia terus berusaha menemui dan membujukku untuk tinggal bersama. 

Dia bahkan mengiming-imingi aku dengan motor, rumah mewah dan sejumlah uang. Semua itu sebagai tanda terima kasihnya kepadaku.

“Kamu sudah menolongku; kau sudah menyelamatkan aku dari mati. Tolong terimalah ini sebagai kenangan akan daku,” katanya.

Aku tetap pada komitmen bahwa enam pertanyaan tadi harus dijawab. Dan itu yang membuatku merasa berdosa. 

Tuhan Mahatahu, Tuhan Maha Pendengar....

Tiba-tiba seseorang mengajakku ke Papua. Astaga kapal seukuran lapangan bola kaki membawaku ke negeri matahari terbit. Lebih jauh dari sebelumnya ke utara.

Selang beberapa hari Nira menyusulku ke Papua. 

Dia terus mengejarku. Namun, dia akhirnya kembali saat tak mengetahui keberadaanku.

Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dia lagi. Aku terus berdoa semoga Tuhan melindunginya meski kami mustahil bisa bersama. Selesai. []

#2024


***

Cerita ini hanya fiktif.  Mohon maaf bila ada kesamaan nama karakter dan lokasi, dan lain-lain  

Posting Komentar untuk "Semenjak kau pergi (11/11)"