Ilustrasi. - Dokpri
Hutannya lebat. Gelap. Gelapnya malam membuat kami harus membawa senter. Saya senter besar dan adik saya senter kecil.
Perjalanan kami cukup jauh. Terus menjauh meski saya menaksir tempat ini tidak terlalu luas.
Hanya semacam padang savana seukuran lapangan bola.
Kami jalan terus. Langit menampakkan kegelapan.
Di langit angsana bulan samar-samar. Ia malu-malu menampakkan senyuman.
Tiada kayu yang kami dapat. Kami pun pulang. Bukan membawa kayu api, tetapi membawa parang, senter, dan kekecewaan.
Musababnya adalah karena tiada kayu lagi di sini. Hanya padang membentang lapang.
Tiba-tiba pintu terkunci ketika kami tiba di suatu tempat. Astaga pintu kayu klasik mirip grendel sulit dibuka.
Saya terus berusaha melepaskan pengait pintu itu. Hasil akhirnya tidak ada hasil. Nihil.
Saya menduga di sini ada makhluk halus.
Siapa yang jago, keluarlah setan alas!!
Teriakan ini membuat saya terjaga. Bangun dan duduk.
Lalu saya sejenak menyerana. Tak lupa menyisipkan tanda salib di dahi.
Saya ingin melanjutkan tidur yang terjeda mimpi. Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari.
Mimpi kali ini, di suatu hari pada pertengahan Februari beberapa tahun silam itu, membuat saya tidur lagi.
Tidur ini membuat saya tak bisa bangun cepat lagi. Tidur jadi lebih lama, karena saya sudah mengubah posisi tidur. Dari utara ke timur.
Tidur dalam waktu yang lama hingga bangun pada pukul 8 pagi, tentu tak menjamin bahwa kualitas tidur saya baik.
Lagian, rezeki sudah dipatok ayam. Begitu menggambarkan penikmat bangun terlambat seperti itu.
Berbeda halnya ketika saya tidur saat raga lelah, meski hanya satu jam, bahkan tiga puluh menit. Itu tidur yang nyenyak sekali. Sono enak mimpi asyik.
Namun, sono enak mimpi asyik juga tidak baik untuk sebuah kompetisi. Maka bangunlah, nak!
Saya pun bangun dan melanjutkan pekerjaan tersisa. Menulis mimpi itu.
Kadang-kadang hidup perlu mimpi. Butuh imajinasi, angan-angan, citra, imaji, fantasi, dan khayal atau apapun namanya aktivitas di ruang kepala.
Saya, barangkali, sebagai "tukang mengkhayal" sampai tembus planet kesembilan. Akan tetapi, saya menulisnya agar bisa dinikmati.
Entah disebut apa namanya, saya tulis saja. Apakah cerita atau lagu batin?
Kemudian saya baca lagi setelah usai. Dan ah, betapa bodohnya hai kau anak muda. Bukankah itu sia-sia? Begitu kata suara sumbang yang terngiang-ngiang.
Tidak, tidak, kataku. Besok atau lusa siapa yang tahu?
Memang mengkhayal itu ibarat mimpi. Di dalamnya ada ide yang terus beraktivitas.
Dia mencipta, melahirkan syair pendek ini:
“Kembang mekar di antara duri. Itu duri-duri Papuana. Yang menampung air mata dari langit berkabut”.
Lain halnya dengan melamun yang pasif saja. Yang membikin liur meleleh liar di sudut bibir.
Oh, tidak! Tidak! Raga yang kekar kuat jangan mau dirayu lamunan.
Mengkhayallah sebanyak-banyaknya, tetapi kau harus sadar, bahwa kau sedang mengkhayal. Atau bermimpilah sampai ke negeri titik titik. Lantas bangun dan berlari.
Seperti selarik Laskar Pelangi-nya Nidji:
“Mimpi adalah kunci. Untuk kita menaklukkan dunia. Berlarilah tanpa lelah. Sampai engkau meraihnya”.
Saya kira, di bawah kolong langit ini, banyak orang yang biasa mengkhayal atau mimpi itu tadi. Soal bahwa hasilnya apa, entah sebuah karya, itu urusan lain.
Kadang-kadang hasil khayalan juga terbentur dengan realitas. Terutama bila ia menyerupai realitas dan norma-norma tertentu.
Maka dari itu, saya sudahi saja hasil khayalan dan mimpiku ini. Karena tak ayal, khayalan akan menjajahmu jika kau tak mau sadar.
Kau harus tahu bahwa kau sedang ingin tahu dari khayalan itu.
Bahwa itu adalah proses kreatif. Lalu apa bedanya mengkhayal, berimajinasi atau bermimpi?
Aeh, stop tanya-tanya sudah! Biarkan saya berkhayal, berimajinasi, bermimpi, atau apapun itu. Dream is freedom.
Isi kepalaku adalah isi kepalaku. Khayalku adalah ayalku. Sebelum ajal, berpantang mati. Eeh, omong apa ini?
Begini saja, seperti catatan di muka, saya menceritakan mimpi saya.
Bagaimana pun, tiada insan yang tak punya mimpi. Seperti tukilan filsuf Rene Descartes, cogito ergo sum. Dalam versi saya: saya bermimpi, maka saya ada.
I have a dream, seperti lagu band 1990-an, Westlife atau ungkapan tersohor pejuang kemanusiaan Amerika Serikat, Martin Luther King Jr. Saya mewujudkan mimpi, maka saya ada.
Lalu apa mimpimu anak muda? Apakah seperti bunga tidur tadi, saat tiada lagi kayu pada onggokan Raksasa Tidur, yang merupa bukit telanjang, lalu pasrah menadah air mata langit, hingga bermetamorfosis menjadi samudra air mata?
Ai mamamia, melantur saja ini tulisan. Lebih baik saya bernyanyi sudah.
Dari laptop saya terdengar lagunya Gombloh:
"Mengapa tanahku rawan kini. Bukit bukit telanjang berdiri. Pohon dan rumput enggan bersemi kembali. Burung-burung pun malu bernyanyi". []
#2024
Posting Komentar untuk "Mimpi dinihari"