Pixabay
Hatiku lega ketika melihat Nira siuman. Aku lantas mengajaknya ngobrol.
“Mbot, nama asliku Pusara Nirwana Dayana. Aku anak bungsu dari enam bersaudara,” katanya pelan.
Aku semakin konsen pada tiap ucapannya. Tak boleh dilewatkan satu kata pun.
Ini ibarat ruang pengakuan. Dia mulai menyingkap tabir drama yang dibuatnya.
Sebab selama ini aku hanya mendengar cerita dari Kak Reta dan Sedis.
“Kami enam bersaudara. Dua perempuan dan empat laki-laki. Kakak perempuanku tinggal di Jakarta,” ujarnya lagi.
Begitu susahnya dia ke Kalimantan. Dia terpaksa menyamar jadi orang lain. Rambutnya dipotong pendek untuk mengelabui keluarga dan petugas bandara.
Hal itu dilakukan sebab keluarga sudah membuat semacam tim khusus, untuk mencegah niatnya ke Kalimantan.
Kabar tentang kaburnya sudah tersiar hingga bandara dan pelabuhan. Siapa pun yang menemuinya harus memulangkan dia kepada pihak keluarga.
“Tapi demi kamu aku rela memotong rambutku. Kamu yang membuatku lupa diri,” katanya lagi.
Aku diam saja. Kali ini aku lebih banyak mendengar daripada merespons tiap ucapannya.
Bagiku mendengar dengan setia adalah pintu masuk menuju kejujuran.
“Terus terang, Embot! Aku sudah punya empat anak. Semuanya laki-laki. Satu SMA, dua SMP, dan si bungsu masih SD,” katanya sambil melihat-lihat ke langit.
Aku melihat setitik air di sudut matanya. Tapi aku pura-pura mengalihkan penglihatan, agar dia tidak tersinggung.
"Aku belum cerai. Nama suamiku Rozky, pengusaha kaya yang memiliki perusahaan terbesar di kota. Bapaknya jadi kepala rumah sakit,” katanya lagi.
Aku terus mendengar dia. Sunyi sepi menyelimuti kami. Hanya suaranya yang menggema di tiap sudut hati.
“Aku punya dua rumah. Satu di desa dan satu di kota, yang saudaramu tinggali itu,” katanya mengenang.
Sedis sudah berhenti bekerja di rumahnya setelah Nira memutuskan pergi ke Kalimantan. Entahlah masalahnya. Aku belum mengkonfirmasi si Sedis.
Tapi Nira menduga alasannya adalah aku. Aku yang tak masuk akal.
Sedis tidak tega melihat sepupunya, berhubungan dengan bosnya, yang jelas-jelas perempuan empat anak yang kaya raya dan ditinggal suami.
“Aku sayang sama kamu, Embot. Bahkan aku rela menjadi istri kedua buat kamu,” katanya.
Nira tak memberi tahu kenapa dia tergila-gila padaku. Sulit memberikan alasan yang spesifik. Padahal aku tidak punya apa-apa.
Dia tahu aku ini miskin harta. Dia juga tahu semua tentang aku, sebab dia sering menelepon keluargaku di kampung.
Apakah ini yang dinamakan cinta itu buta? Entahlah.
“Sejak awal aku kenal kamu via telepon. Sejak saat itu, dalam otakku hanya kamu, kamu, dan kamu terus. Aku seperti seseorang yang kehilangan arah, dan hanya satu tujuanku yaitu kamu,” ungkapnya sambil menyeka air mata.
“Aku dua kali ke pengadilan di kotaku. Mau ceraikan si Rozky. Uangku habis hanya karena bolak-balik pengadilan. Aku mau menceraikan dia bukan karena kamu. Jauh sebelum mengenal kamu, aku sudah mengurus perceraian. Dia sudah beberapa kali berbohong. Dia sering memukulku apabila aku menegurnya, karena dia sering membawa perempuan lain di rumah. Aku tidak melarangnya untuk berselingkuh, asalkan jangan membawa perempuan itu ke rumah dan seranjang di kamar pribadi kami. Dia sering mengelak. Tapi terakhir aku memergokinya sedang asyik berhubungan badan dengan perempuan itu. Hati perempuan mana yang tahan kalau punya suaminya seperti itu?”
Aku mendengar suaranya bergetar. Itu bukan karena kerasukan.
Tapi dia betul-betul mengenang setiap detail pengalaman tragisnya. Matanya berkaca-kaca. Sedangkan aku terus menjadi pendengar setia.
“Dan aku minta izin ke Leni. Itu pun kalau dia mengizinkan aku jadi yang kedua. Walaupun dia menolaknya biarkan aku jadi adiknya," ucapnya lagi.
"Aku bangga sama kamu karena kamu begitu tulus. Tidak semua laki-laki seperti kamu, Embot. Aku bersyukur ternyata kamu dan Leni sudah sah jadi suami-istri. Kamu menutupnya karena tidak ingin melukai seseorang. Aku lahir tahun 1980 Embot," katanya dengan wajah yang digenangi air mata.
Lalu dia menjeda ucapannya. Tangannya menyentuh dada sambil terpejam.
"Bukanya sombong, Embot. Aku ini seorang kaya raya. Aku bisa membeli apa saja apa yang kamu mau," katanya.
Pixabay
Aku tersenyum dan dia menatapku. Kulihat kegembiraan di wajahnya. Dia sudah mengungkap semua pengalamannya.
Perempuan memang butuh didengarkan. Ketika aku konsen mendengarnya, dia meluapkan semua isi hatinya. Termasuk pengalaman buruk masa lalu dan harapannya.
Mulai saat ini aku tidak memanggilnya Nira. Ada perasaan haru bercampur minder terhadap kejujurannya.
Kejujuran itu susah dan tidak semua manusia jujur menceritakan pengalaman pahit dan aibnya. Tapi dia beda.
Tiga hari kemudian dia mengajakku ke Sulawesi setelah dua minggu lamanya tinggal bersamaku.
"Embot!! Besok kita pulang ke Sulawesi, ya. Aku mau ke pengadilan untuk segera melanjutkan urusan perceraian kami. Setelah itu kita akan hidup bersama selamanya. Kamu mau kan?"
"Kamu duluan pulang, ya. Aku khawatir keluargamu membunuhku," jawabku.
"Embot, aku akan menyembunyikan kamu di sana. Aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu. Jikalau keluargaku membunuhmu, mereka harus membunuh aku terlebih dahulu, karena aku yang mendatangi kamu, bukan kamu yang mencuri aku," jawabnya.
"Kita pulang besok. Kamu harus percaya padaku. Aku bertanggung jawab atas nyawamu," katanya lagi.
"Begini saja, kamu pulang besok dan aku akan mengantar ke Balikpapan, lalu aku kembali. Jika urusanmu di Sulawesi selesai aku menyusul," kataku memberi solusi.
Dia menyetujui usulanku. Sebelum pulang dia membeli beras, rokok, dan semua kebutuhan kami selama satu sampai dua bulan ke depan.
Dia bahkan bersikukuh membeli genset tetapi aku menolaknya.
Matahari pagi bersinar indah. Semakin naik ke ubun-ubun dan awan tipis mengitarinya di langit biru.
Tapi aku dan dia baru ke Samarinda saat matahari pukul enam sore kembali ke peraduannya.
Malam ini kami menginap di Samarinda sambil menunggu jadwal pesawat ke Pulau Celebes.
Aku mengiyakan ajakannya untuk melihat kota Samarinda malam ini.
Samarinda akan samar-samar terkenang. Dia kan menjadi prasasti di loh hati.
Malam ini dia membelikan banyak aksesoris untukku. Pakaian dan lain-lain.
Bahkan dia mengajakku untuk mengontrak rumah di Samarinda, sampai urusan perceraian selesai.
Tapi aku menolaknya. Aku harus pulang ke Kembang Janggut.
"Kalau begitu kamu harus pulang sekarang, Embot. Nanti aku menghubungimu jika sudah tiba di Sulawesi," katanya.
"Gak apa-apa. Aku harus pulang begitu kamu sudah di pesawat. Biar kita sama-sama berpisah di sini," jawabku.
"Ga usah, Embot. Biar kamu duluan saja ya," pintanya.
Aku mengalah dan pulang lebih dulu. Kami pun berpisah.
Pukul 11 malam rasa rindu muncul lagi. Bayangannya tak pernah pergi dari ingatanku.
Sampai-sampai tak sadar air mataku berderai di pipi.
"Embot, kenapa kamu telepon aku, emang kamu di mana?" Katanya saat kutelepon.
"Aku masih dalam perjalanan dan aku merindukanmu," jawabku.
"Ah, Embot jangan bercanda deh. Aku tidak percaya," katanya.
"Jangan bercanda ah," katanya lagi.
"Bercanda gimana. Aku serius loh," jawabku.
"Embot, kamu masih di kamar kecil kan!!! Atau aku dobrak pintu kamarnya," katanya lagi.
"Memang siapa di kamar kecil itu?" Jawabku.
Lalu dia menuju toilet bandara untuk membuktikan dimana aku sebenarnya. Dia hendak mendobrak pintu, tapi mendapati pintu masih terbuka.
"Lah, siapa yang dari tadi sama aku, Embot? Barusan kamu kan yang minta pamit ke aku izin ke kamar kecil?" Katanya lagi.
Aku kaget mendengar itu. Jangan-jangan dia kerasukan lagi.
"Ah, masa sih? Kan dari jam 2 siang aku pamitan dengan kamu. Kamu sendiri yang mengantarku ke mobil," jawabku.
Lalu dia menceritakan semua hal aneh yang saat itu dia rasakan.
"Aku bersumpah Embot. Kamu dari tadi tidak pernah kemana-mana. Kamu selalu berada di sampingku. Bahkan kita bercanda dan barusan makan gorengan bersama. Kantongnya pun masih ada di sini," jawabnya.
Aku kira dia mengalami de javu. Tapi aku bersyukur. Di satu sisi dia mengatakan seperti itu berarti aku selalu bersamanya.
"Kamu merasa takut, gak?" jawabku.
"Tidak, Embot karena aku yakin ada yang bersamaku barusan, dan itu adalah roh kamu yang akan selalu menjaga dan melindungiku," katanya.
Tak terasa aku sudah tiba di Kembang Janggut. Sepanjang perjalanan aku mengobrol dengannya via ponsel malam ini. Bersambung. []
#2024
Posting Komentar untuk "Monolog di ruang pengakuan (10/11) "