Ritual tujuh dukun (9/11)

dukun
Pixabay

“Embot, kamu harus pulang!” kata Nira dengan nada bergetar dari balik telepon.

Setelah kutanya, suaranya terputus. Ada apa ya? 

Ada sesuatu yang tidak beres rupanya. Lalu kuputuskan segera pulang.

Nira sedang tidur ketika aku tiba pukul 12 siang di basecamp. Tapi semakin bertingkah aneh ketika aku membangunkannya. 

Dia berbicara sendiri. Tertawa tanpa sebab. Sedang mukanya pucat pasi.

Matanya masih setengah terbuka. Berteriak sejadi-jadinya.

“Siapa kamu?” Dia bertanya dengan suara aneh dan kasar.

"Lah, ini aku Embot, sayang."

Aku semakin bingung. Bagaimana aku menjawab pertanyaan keluarganya di seberang lautan?

"Bangunlah sayang! Ini buburnya sudah aku siapkan," kataku.

"Embot, ada yang memanggil aku dari sana," katanya sambil menunjuk ke tempat yang agak rendah darinya. 

Setelah itu dia pingsan. Aku kalang kabut. Kini giliranku berteriak di hutan ini.

Aku terus berteriak minta tolong, tapi tiada satu pun yang mendengarkanku.

Aku menyusuri sisi bukit. Siapa tahu ada orang-orang di sana. 

Tapi apes kudapat. Tidak ada satu orang pun aku temui.

Sedangkan dia belum siuman. Aku hendak menelepon teman-teman tapi tidak ada jawaban.

“Oh Tuhan, tolong hambamu. Tunjukkan aku jalan untuk menyelamatkan Nira. Aku bingung entah meminta bantuan kemana. Hanya Dikau satu-satunya andalanku. Aku hanya pasrah padamu.”

Puji Tuhan! Beberapa menit kemudian beberapa kawanku tergopoh-gopoh.
Napasnya ngos-ngosan.

Justru mereka yang menolong Nira lebih dulu. Sebab larinya bagai rusa di padang savana.

Mereka pun makin sibuk dan membantu dengan caranya masing-masing. 

Ada yang mencari minyak gosok. Yang lain lari ke hutan untuk mencari obat-obatan, dan menelepon ke kampung.

Sedangkan beberapa kawan lainnya ke Kampung Dayak dan Kampung Sungai Telihan. Kampung Telihan adalah tempat dimana Warung Mama Aldo berada.

Aku hanya berserah dan berharap pada Penyelenggaraan Ilahi. 

Beberapa detik kemudian HP si Nira berdering. 

"Mas Bondan ya?" Tanya si penelepon setengah berbisik.

Nira ternyata sudah menceritakan tentang diriku kepada beberapa keluarganya. Dia memperkenalkan aku dengan nama Bondan dan menyebutku pegawai salah satu bank negara.

Di daftar nama kontak tertulis nama Reta. Aku bergegas menjawab si Reta.

"Iya kakak. Aku Bondan," jawabku.
"Mas?? Kamu tidak apa-apa?" Dia bertanya.

"Aku tidak apa-apa kakak, tapi Nira sedang sakit dan pingsan. Apa dia biasa kesurupan atau kerasukan setan?" Kataku.

"Syukurlah, Mas. Kamu baik-baik," ujarnya.

"Memangnya kenapa kakak?" Aku bertanya.

"Mas, di sini sedang dibuat ritual. Ada tujuh dukun yang diundang," jawab Reta.

Aku marah mendengarnya. Ada rasa sesal juga.

"Mas!! Kamu tidak boleh panik. Kamu harus tenang. Lakukan saja apa yang bisa kamu lakukan untuk Nira di situ. Nanti aku ceritakan semua tentang apa yang terjadi di sini ok??" Jawab Kakak Reta sembari menenangkan aku.

Aku semakin marah. Jika aku di sana, aku pasti membunuh semua dukun itu. Mereka hanya budak setan. Hanya Tuhan yang berkuasa. Setan-setan tunduk pada Tuhan. 

Tiba-tiba Kak Reta berkata lagi.

"Mas, Nira kan ada bawa rosario sama patung dan salib! Sekarang kamu harus mengambil rosario itu dan kalungkan satu pada lehernya dan satu untuk kamu," kata Reta menyarankan.

Aku bergegas ke kamar untuk mencari dua rosario seperti saran Kak Reta.

"Mas, ambilkan segelas air putih, dan celupkan rosario itu ke dalam gelas sambil berdoa dengan tulus, bahwa kamu bisa sembuhkan Nira sekarang," pinta Kak Reta.

Aku mengikuti saja apa yang disarankan Kak Reta.

"Mas, kamu hebat. Nira sudah menceritakan semua tentang kamu," katanya.

Aku semakin serius mendengar cerita Kak Reta. Dia mengungkapkan semua tentang Nira.

Dia bercerita bahwa Nira memang punya empat orang anak. Mereka sudah lama berstatus pisah ranjang.

Rozki berperawakan kasar dan kejam. Dia sering memukul Nira. Hal itu membuat mereka pisah ranjang hingga Nira pun kesepian. 

Nira bolak-balik pengadilan sipil untuk mengurus perceraian. Tapi pengadilan tidak mungkin mengabulkan gugatan cerai. 

Karena salah satu sifat perkawinan Katolik adalah monogami dan tak terceraikan. 

Tribunal Gereja Katolik tidak mengizinkan pasangan suami-istri untuk oleh alasan apapun, kecuali maut.

Kedua orang tuanya bahkan menjodohkan Nira dengan pria lain. 

Namun, Rozki bersikukuh tetap bersama Nira dan tidak segan-segan memukul orang tua Nira bila menjodohkannya dengan pria lain. 

Aku tertegun mendengar cerita Kak Reta sampai nyaris melupakan suruhannya, untuk memercik muka Nira. 

Air yang sudah direndam rosario harus diperciki di mukanya dan meminumnya.

Nira langsung bangun ketika kuperciki mukanya. Dia berteriak sekencang-kencangnya. Suaranya berubah seperti suara laki-laki.

Dia meronta-ronta, dan berteriak sana-sani. Dia mencabut rosario dari lehernya. Melemparnya sampai jauh. Bulir-bulirnya berserakan.

Teman-temanku lari ketakutan. Sedang yang lainnya mendatangkan dukun dari kampung sebelah. 

Mulut si dukun komat-kamit. Membaca mantra. Dia menghadap si Nira.

Nira menatap si dukun dengan galaknya. Menggertakkan giginya. Bunyi giginya menakutkan.

"Siapa kalian?" Tanya Nira yang menyerupai suara pria.

Dukun kampung langsung terlempar sejauh satu meter. 

Nira pun semakin menjadi-jadi. Dia semakin ganas.

"Kubunuh kau Embot!!" Katanya garang.

Aku semakin ketakutan. Dukun kampung juga lari ketakutan.

"Aku tidak bisa melawannya, mereka terlalu banyak. Aku tidak mampu," kata si dukun.

Nira makin sangar. Giginya terus berbunyi.

"Nira, ayo kita pulang! Kamu tidak pantas berada di sini. Kita pulang sayang," kata Nira yang menyerupai suara laki-laki. 

"Siapa yang membawamu ke sini Nira? Aku mau bunuh dia sekarang," katanya lagi.

"Aku yang membawa dia. Kamu siapa?" Kataku dengan gemetar tapi penuh percaya diri.

"Kamu jangan dekati Nira," kata kawanku memperingatkan jangan sampai terjadi sesuatu padanya.

"Oh, kau yang membawanya ke sini? Siapa kau setan? Aku bunuh kau sekarang!!" Teriak Nira sambil menunjukkan jarinya ke arahku.

"Kamu siapa? Tunjukkan wujudmu yang asli, dan jangan mencoba mengganggu Nira. Kalau jago hadapi aku sekarang!" kataku.

Teman-temanku menggelengkan kepala. Mereka memuji keberanianku. 

"Nira, kau sudah dikuasai setan. Kalau kau Nira yang asli, biar kau membunuhku aku menerima itu. Tetapi itu setan, aku tidak mundur selangkah pun," kataku membisik si Nira.

Tapi dia menatapku sangat tajam. Matanya memerah. Mukanya pucat dan berkeringat. 

"Oh....kamu main keroyokan sekarang," katanya menyindirku.
"Ok,, aku akan panggilkan saudara-saudaraku. Kamu tunggu di sini," jawabku.

Ajaibnya, Nira langsung sadar. Kemudian duduk di sampingku ketika mendengar perkataan itu.

"Embot, kamu mau memukulku? Apa salahku, Embot," katanya.

Air mataku meleleh di pipi begitu mendengarnya. 

"Kenapa kamu menangis, Embot? Jangan bikin takut dong," katanya lagi.

Aku tak bisa bicara lagi. Seolah dibius setelah dia siuman. 

Tapi Nira melihat di sekelilingku dan sontak kaget melihat kawan-kawanku.

"Eh, kalian sudah pulang kerja ya? Kok aku tidak tahu dari tadi sih," katanya sembari menatap belasan kawanku.

Kawan-kawanku juga diam membisu. Mereka menatap Nira dengan gembira.

"Kiki, dari tadi kamu pulang ya?" Katanya kepada saudaraku yang sebenarnya bernama Titi.

"Sudah dari tadi kakak," jawab Titi.

"Sudah makan? Maaf aku tidak memasak buat kalian hari ini," kata Nira lagi.

dukun
Pixabay

Tiba-tiba dia bertingkah aneh seperti sebelumnya. Meronta-ronta dan mencari parang.

"Keluar kau setan!!" Aku membentak dan menamparnya ketika hendak mencekik leherku.

"Kalau mau membunuhku, tolong bawa Nira pulang. Atau aku bunuh dia biar kita sama-sama tidak mendapatkan dia," jawab Nira dengan suara bas.

"Kau dengar baik-baik, iblis. Aku tidak membawa Nira ke sini, aku hanya memberikan tumpangan. Aku mau menolong dia karena dia lari dari rumahnya. Dia menghindari kenyataan dan menjadikan aku pelampiasan dengan alasan mencintaiku," jawabku panjang-lebar.

"Oh, kamu sok jadi pahlawan ya," jawabnya.

"Iblis, tunjukkan dirimu sekarang atau kau kubunuh. Dalam hitungan ketiga kau harus keluar dari Nira atau kau kubunuh. Dengar itu," kataku dengan penuh emosi.

Nira pun kembali sadar. Dia berkata lagi.

"Embot, aku capek. Aku mau istirahat."

Setelah itu dia tidur dengan nyenyaknya. 
Telepon selulerku berdering.

"Mas, kamu hebat. Di sini ada tujuh orang dukun. Mereka duduk melingkar dan membuat ritual. Foto Nira sudah mereka ikat dengan kain kafan dan membakar lilin di sekelilingnya. Sepertinya mereka ingin membunuh Nira dan keluargamu,” kata Reta.

Aku diam saja. Dia terus berbicara seperti berceramah.

"Tapi mereka tidak mampu dan terlempar satu per satu. Kamu satu-satunya orang yang bisa melawan mereka dari jauh. Aku salut sama kamu, Mas!"

Kak Reta menyarankan agar aku tetap waspada dan terus berdoa, sebab para dukun terus mencobaiku. 

Apa yang dibuat para dukun dilakukan di ruang tertutup. 

Tapi Kak Reta mengintip pergerakan mereka dan melaporkan kepadaku. Kak Reta seolah intelijen pribadiku. Sekaligus malaikat yang mengingatkan aku di tengah situasi aneh ini.

"Jumlah mereka sedikit itu kakak. Bila perlu tambah satu kampung lagi," jawabku pada Kak Reta.

"Sudahlah, Mas. Mereka semakin jahat. Tetaplah berdoa," jawabnya.

Uhhhh, tiba-tiba Nira kemasukan roh jahat lagi. Kali ini dia tidak bergerak bebas, karena aku memegangnya erat-erat. 

Dia terus meronta dan merobekkan bajunya. Celananya melorot. 

Rofinus temanku tiba-tiba mendapat telepon dari kampung halaman. Seorang rohaniwan menelponnya.

Dia menyuruh Rofinus mendekatkan HP-nya ke telinga Nira. Aku juga disuruhnya menumpangkan tangan di atas kepala Nira. Lalu dia berdoa dari seberang.

Satu jam lamanya dia berdoa. Puji Tuhan Nira sadar lagi.

"Dukunnya tujuh orang tadi. Aku hampir tidak bisa melawan mereka."

"Betul, Bu. Aku juga baru diberitahu Reta kakaknya Nira. Mereka sedang buat ritual untuk membunuhku."

"Kamu kuat, nak. Apa kamu pendoa atau ikut organisasi doa?" 

"Tidak, Bu. Aku hanya yakin kuasa Tuhan yang bekerja."

"Baiklah. Kamu kuat nak. Mereka bahkan tidak bisa melawanmu."

Aku semakin percaya diri dan yakin bahwa Roh Kudus memang berkarya dalam pribadiku. Aku tetap dilindungi-Nya saat melawan setan. Dia di pihakku bersama malaikat Mikael.

Tidak lama kemudian Nira sadar. Lalu aku.memberi dia makan.

"Embot, ada apa denganku? Kenapa kalian mengelilingiku?" katanya.

Aku menjelaskan apa yang terjadi padanya. Dia pun memelukku dengan erat sambil berbisik, "Embot, kamu andalanku!" Bersambung. []

#2024

Posting Komentar untuk "Ritual tujuh dukun (9/11)"