Kemarin Nira menginformasikan bahwa dirinya tiba sore ini. Berarti butuh sembilan jam aku menunggu sejak pagi di bandara.
Namun, aku tak mengenal siapa pun di Balikpapan. Kota ini terlalu asing bagiku.
“Manga anak de kae daku wa hitu e, wa lupi bandara hitu ka'engd. Aku coba telpon ise wa hitu kudut ngo curu hau. Gereng wa hitu hau neka ngo bana e,” kata kawanku via ponsel.
Sejurus kemudian, dari balik lautan manusia, seorang pria mendekatiku.
“Kesa, ite ngasang hi Modes ko?”
”Betul. Apakah kamu keponakan dari Rofinus?”
"Iya, mari kita ke rumah.”
”Betul. Apakah kamu keponakan dari Rofinus?”
"Iya, mari kita ke rumah.”
Aku pun mengiyakan ajakannya. Kami mengobrol sepanjang perjalanan.
“Landing jam pisa tong pesawat, kesa?”
“Ae, toe baen ge, kesa. Nggo'o kaut tae diha meseng jam 4 star.”
“Eng pe, eme jam 4 star paling jam 6 atau jam 7 tong ga cai ce'e gi,” katanya.
“Toe baen tong ge kesa,” jawabku.
“Ae, toe baen ge, kesa. Nggo'o kaut tae diha meseng jam 4 star.”
“Eng pe, eme jam 4 star paling jam 6 atau jam 7 tong ga cai ce'e gi,” katanya.
“Toe baen tong ge kesa,” jawabku.
Aku merogoh kantong. Mengambil HP dan meneleponnya.
Tapi ponselnya nonaktif. Sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam.
Barangkali Nira membatalkan niatnya. Atau jangan-jangan dia mengerjaiku?
Tidak mungkin aku berlama-lama di Balikpapan. Lagian aku tidak membawa pakaian ganti.
Apakah aku harus segera pulang ke Kembang Janggut? Itu mustahil. Uangku sudah habis.
Atau aku menetap saja di Balikpapan? Mencari pekerja apa saja? Lalu kembali setelah mendapatkan uang?
“Embot, aku sudah mendarat di bandara Balikpapan. Kamu dimana sekarang?”
Tiba-tiba Nira menelepon pada pukul setengah delapan malam.
Semua bagai teka-teki. Denyut jantungku begitu cepat.
Setiap detakannya seolah berkata: elamat datang sayang!
“Marilah, kawan! Pesawat sudah mendarat,” kataku kepada kawan yang menjemputku.
Soal tampang, aku dengan kawan ini berbeda jauh. Bahkan jauh sekali.
Dia punya hidung mancung. Rambut cepak seperti tentara atau polisi. Aroma parfumnya merebak kemana-mana. Kasual tapi lebih keren.
Berbanding terbalik dengan aku yang urakan. Pakaian dipenuhi keringat seharian. Udara bandara dengan garang menyebar pesing. Kondisi ini membuatku semakin minder.
“Embot, kamu dimana? Aku menuju ke luar arrival room sekarang,” ujar Nira di tengah suara bising telepon seluler.
“Iya, sayang! Aku di sini. Kamu pakai baju warna apa?”
“Kemeja kotak-kotak. Gendong ransel.”
“Baiklah. Kalau kamu melihat pria terjelek di arrival room, itulah aku.”
“Kamu itu ya, masih saja merendah, Embot!”
“Serius, Nira. Aku serius!!”
“Iya, sayang! Aku di sini. Kamu pakai baju warna apa?”
“Kemeja kotak-kotak. Gendong ransel.”
“Baiklah. Kalau kamu melihat pria terjelek di arrival room, itulah aku.”
“Kamu itu ya, masih saja merendah, Embot!”
“Serius, Nira. Aku serius!!”
Aku melihat ke sekeliling, tapi tak kutemui rupanya. Keramaian bandara sepertinya membuatnya tak tampak.
Atau barangkali karena aku seperti sebutir pasir di pantai?
“Embot!”
Tiba-tiba Nira memanggilku. Dugaanku benar. Akulah yang terjelek di sini. Masak dia dengan mudah mengenalku di tengah keramaian penunpang di bandara?
Aku sempat melihat dia dari balik kerumunan. Tapi saat kulempar pandangan dan senyuman dia malah menoleh. Aku kira tebakanku salah.
Nira berkulit pucat. Mulus. Sedikit semok dan lebih tinggi dariku.
Lentik matanya yang aduhai membuat aku mengira dia turis Cina, Korea atau Taiwan.
Tiba-tiba dia memelukku. Diikuti cipika-cipiki. Ini sebagai salam pertemuan.
“Halo, nona. Aku Afri, temannya Modes,” kata kawanku memperkenalkan diri.
“Halo juga. Oh, terima kasih telah menjemputku,” jawab Nira datar.
“Namanya siapa, nona?" Tanya Afri.
“Tanya saja Modes,” jawabnya santai.
“Baiklah. Ayo, kita ke rumah! Besok baru ke Kembang Janggut,” kata Afri mengajak aku dan Nira.
“Embot!! Dari sini ke tempatmu masih jauh, ya? Atau ada gak mobil ke sana sekarang? Biar kita langsung jalan aja,” kata Nira.
“Ini sudah malam, Mbak. Besok baru ada mobil,” kata Afri.
“Iya, Nira. Kita bermalam di sini saja. Besok baru dilanjutkan ke Kembang Janggut,” kataku.
“Kota Bangun, Kota Bangun!!” teriak sopir taksi.
“Embot, tu ada mobil menuju Kota Bangun, dan aku kira kita tujuan ke sana kan?” Kata Nira.
“Iya, tapi mahal kalo sudah malam seperti ini,” jawabku.
“Emang berapa harganya? Yang penting ada mobil ke sana,” katanya.
“Lebih baik bermalam di sini saja,” kata Afri.
“Ga usah, Mas. Biar kita langsung berangkat saja. Lagian itu ada mobil kan?” jawab Nira.
“Ini sudah malam, Mbak. Besok baru ada mobil,” kata Afri.
“Iya, Nira. Kita bermalam di sini saja. Besok baru dilanjutkan ke Kembang Janggut,” kataku.
“Kota Bangun, Kota Bangun!!” teriak sopir taksi.
“Embot, tu ada mobil menuju Kota Bangun, dan aku kira kita tujuan ke sana kan?” Kata Nira.
“Iya, tapi mahal kalo sudah malam seperti ini,” jawabku.
“Emang berapa harganya? Yang penting ada mobil ke sana,” katanya.
“Lebih baik bermalam di sini saja,” kata Afri.
“Ga usah, Mas. Biar kita langsung berangkat saja. Lagian itu ada mobil kan?” jawab Nira.
Kami pun bergegas ke Kota Bangun. Tarif normal ke sana adalah 850 ribu rupiah. Tapi sopir menaikkan tarif menjadi 1,6 juta rupiah.
Aku pun menyetujuinya karena Nira terus memaksa. Aku memang tidak punya pilihan.
Perjalanan lima jam dari Balikpapan ke Kota Bangun sungguh melelahkan. Itu pun perjalanan siang hari. Entah malam ini.
Apakah sopir melaju bus selama lima jam atau malah lebih lama dari biasanya?
Aku tak tahu itu. Yang aku tahu hanya Nira. Kini dia milikku dan aku miliknya.
Aku tak lagi merasakan berapa lama perjalanan. Bagiku perjalanan akan lama dan melelahkan jika tanpa cinta yang berkobar-kobar.
Jarak ratusan kilo terlalu singkat untuk kami. Yang mengadakan perjalanan malam ini.
Sejauh jalan ditempuh, sejauh itu itu pula kisah kasih kami.
Aku tak melihat lagi orang-orang di luar sana. Hanya aku dan dia. Kami menaklukkan malam. Cintalah kekuatannya.
Tiba-tiba sang sopir mengajak kami berbagi cerita. Tapi kami tak hiraukan dia.
Kalaupun sesekali diladeni, kami menganggapnya iklan. Semacam jeda pariwara di televisi.
Kehadirannya hanya setitik api dalam bara asmara. Nira dan Modestus.
Aku mengecek jam pada layar HP. Oh my God, sekarang pukul empat dini hari.
Ini perjalanan tersingkat, setelah memulai perjalanan kami, bersama cinta yang menggelora, sejak pukul 9 malam dari Balikpapan.
“Kita cari penginapan di sini saja,” kata Nira.
"Baiklah, Nira.”
"Baiklah, Nira.”
Bagi kami perjalanan dua belas jam terlalu singkat untuk melepaskan rasa rindu yang telah lama dipendam.
Maka penginapan adalah tempat yang nyaman untuk melanjutkan kisah cinta yang terlewati.
Kembang Janggut, kami datang!
Kakanda Nira berseri-seri. Mulai sekarang ia memutuskan untuk tinggal bersamaku.
Mulai sekarang aku dan dia tinggal serumah sebagai suami istri. Di sini. Di tengah hutan perusahaan sawit.
Seminggu sudah Nira bersamaku..
Tiba-tiba dia mengaku sedang tidak fit. Maka dia menyarankan agar aku off saja hari ini.
Ini tidak biasa. Sebab seminggu ini dia melayani aku layaknya seorang istri yang baik.
Bahkan belasan teman kerjaku rela menjadi ibu baginya. Dia memasak makanan untuk kami. Membuat kopi. Mencuci piring dan bangun lebih pagi, untuk membuat sarapan bagi belasan buruh sawit di basecamp ini.
“Embot! Kali ini aku yang memintamu tidak masuk kerja,” katanya.
“OK sayang. Kalo itu memang maumu,” jawabku.
“Tapi kamu pucat sekali sayang! Kamu kenapa?”
“Aku tidak sakit, Embot. Perasaan tidak enak saja. Kayak ada yang memanggilku dari jauh,” jawabnya.
“Ya sudah. Biar aku jaga kamu,” jawabku.
“Gak usah, Embot. Aku baik-baik saja. Gini aja kamu bawa satu HP, dan satunya aku simpan. Nanti kalo ada apa-apa aku hubungi kamu OK.”
“Tapi HP-nya lowbat sayang,” jawabku.
Kebetulan daya baterai kedua HP kami lemah. Semalam tidak diisi.
“OK sayang. Kalo itu memang maumu,” jawabku.
“Tapi kamu pucat sekali sayang! Kamu kenapa?”
“Aku tidak sakit, Embot. Perasaan tidak enak saja. Kayak ada yang memanggilku dari jauh,” jawabnya.
“Ya sudah. Biar aku jaga kamu,” jawabku.
“Gak usah, Embot. Aku baik-baik saja. Gini aja kamu bawa satu HP, dan satunya aku simpan. Nanti kalo ada apa-apa aku hubungi kamu OK.”
“Tapi HP-nya lowbat sayang,” jawabku.
Kebetulan daya baterai kedua HP kami lemah. Semalam tidak diisi.
Biasanya Nira melarangku membawa HP ke tempat kerja. Tidak dengan hari ini. Bersambung. []
#2024
Posting Komentar untuk "Antara Kembang Janggut dan Balikpapan (8/11)"