Unsplush
Sa pu kawan ada bacarita deng sa. De bilang betapa sakitnya menahan olok-olok saat pertemuan kawan, keluarga, dan laen-laen. Di laman maya atau media sosial dan pertemuan nyata. Tentang apa?
Pasalnya, ada kelompok-kelompok pertemanannya. Dia su bikin klasifikasi berdasarkan takaran olokan.
Dalam percakapan atau obrolan santai, kawin menjadi topik terhangat dari tiap tema. Nahas terjadi ketika dirinya menjadi sasaran empuk.
Lalu sa mulai keluar jurus menenangkan pikiran dan menerima banjir "kata-kata" dengan bijaksana.
Bahwasannya dalam obrolan santai sekelas pertemanan, hampir pasti ada olok-olok yang tenang-tenang mendayung. Bully dalam bahasa "now".
Saya lebih ramah mengggunakan kata olok-olok daripada "bully". Hemat saya, bully lebih negatif, bahkan terlalu sadis. Biar tidak terjadi misunderstanding atau misinterpretation.
Maka dari itu, tiap obrolan ringan perlu ditanggapi dengan santai, sambil meneguk kopi. Berat ini Milea, aku saja!
Selain itu, perlu dipahami, bahwa terdapat beragam tipe manusia. Tidak ada tipe yang persis sama dalam hal kepribadian, sifat, prioritas dan idealisme.
Lantas mengapa ada olokan seperti itu?
Bisa jadi karena mereka tahu dan mengenal kepribadianmu secara mendalam–kalau tidak mau disebut akrab. Barangkali terdorong oleh rasa peduli yang tinggi.
Lain hal jika menerima umpatan dengan menyebut semua nama binatang di hutan rimba. Itu lain cerita, dan perlu dimaknai sesuai nada dan konteksnya.
Tapi konteks kenapa tra kawin-kawin tadi, itu lebih karena beragam alasan. Saya berargumen dari sisi objek penderita.
Entahlah dari sisi penutur. Bagaimana pun, meminjam ungkapan, "dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu".
Banyak motif olokan dalam pertemanan. Orang yang supel tentu meresponsnya dengan bijak.
Pertama-tama harus dipahami bahwa tiap karakter itu berbeda. Dalam teori psikologi kepribadian, kalau tidak salah, ada yang disebut enneagram.
Enneagram berasal dari bahasa Yunani. Enea artinya sembilan, dan gram artinya tipe atau takaran.
Sembilan tipe itu adalah tipe 1 sampai tipe 9.
Penamaan tipe 1 sampai 9 bukan karena bobot atau peringkatnya, tapi soal netralitas. Karena memang ada sembilan.
Jika ada sepuluh mungkin disebut "dasagram". Hadeh!
Sembilan tipe ini saling berkaitan. Kadang-kadang punya kemiripan, kesamaan, kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kadang-kadang kitorang bingung dan keliru menamainya.
Misalnya, saya bilang; saya tipe 1, 2, 3, tapi fakta sebenarnya bukan tipe itu. Pun sebaliknya.
Kadang-kadang sayap tipe 1 adalah 3, atau 2 dengan 4 dan 6. Begitu seterusnya sampai kitong pusing sendiri.
Butuh waktu lama untuk mengetahui satu tipe dengan tipe yang lainnya. Tes-tes sedetik sekalipun. Bertahun-tahun bahkan lebih.
Itu pun kita tidak hanya mengenal satu hal dan kulit luar.
Saya pernah belajar ini barang. Agaknya terlalu sulit untuk berkesimpulan bahwa saya tipe ini dan itu.
Berbeda halnya dengan ciri-ciri kepribadian umum, yang kemudian kita kenal sanguinis, melankolis, plegmatis, dan kolerik, atau introver dan ekstrover.
Enneagram lebih mendalam dan "mbili-mbolot" (rumit). Butuh waktu yang lama untuk mengenal salah satu tipe menurut enneagram.
Dalam keluarga, misalnya. Seorang bapak atau mama, mengetahui kepribadian anaknya, karena memang sejak kecil bersama sanga anak.
Dia selalu bersama dalam fase pertumbuhan dan perkembangan si anak.
Dalam konteks menjadi "korban" olokan soal kawin tadi, anggap saja saya sedang mempelajari enneagram.
Poin saya adalah, topik itu tidak lebih dari bumbu obrolan. Mengutip iklan rokok: "nggak ada lo nggak rame".
Kawan saya alumnus magister psikologi dari salah satu universitas di Yogya bilang, tidak ada satu tipe kepribadian yang benar-benar full.
Orang yang introvert, apakah benar dia memang tidak mau bergaul dengan orang lain?
"Istilah yang tepat untuk tipe kepribadian yakni kecenderungan individu. Begitu juga dengan alat ukur kepribadian, tidak ada yang tingkat validitas dan reliabilitasnya 100 persen,” katanya kepada saya, suatu ketika.
Lebih dari itu, olok-olokan lumrah dalam persahabatan. Lebih pada canda tawa. Semacam bernasihat dengan olokan.
Kalau misalnya, diolok, dan saya tidak merespons, atau responsnya "no comment", dan "no joke", tentu obrolan tidak dilanjutkan.
Jadi, cara tiap tipe kepribadian berbeda dalam memberikan nasihat, motivasi, dan ajakan.
Saya punya bapa misalnya, dia kerap bercerita di ujung telpon. Dia mengaku pernah bertemu teman-teman saya. Perempuan dan laki-laki.
Patut berbangga jika keluarga bertemu kawan lama. Artinya, persahabatan itu abadi meski berpisah jauh oleh karena jarak dan cita-cinta, dan sesekali bertemu saat reuni dan upacara adat.
"Lalu bagaimana kabar mereka, baik-baik kah?"
"Mereka mengatakan bahwa kau su punya anak ada berapa?"
"Ahhhh, bapa sudah, sudah!!”
Lalu topik dialihkan agar tidak mengganggu obrolan tentang belis atau maskawin.
Lain lagi dengan saudara-saudara perempuan kalau bercanda. "Yang penting ipar su ada. Perkara belis belakangan. Toh itu urusan keluarga."
Guyonan keluarga, sudah pasti, sebagai bukti cinta kasih dan sayang.
Sekelompok pertemanan, yang akrab sejak kecil punya cara berbeda. Terlalu sadis jika dipandang dari sudut pertemanan, tapi terlalu urgen dari sudut persahabatan.
Misalnya begini: ah, kau su expired atau kedaluwarsa. Ha? Masa manusia diidentikkan dengan barang atau benda? Sio mama tara bisa!
Memang manusia adalah makhluk berbudi pekerti (homo sapiens), homo socius (makhluk sosial), atau "zoon logon echon" (makhluk berkata-kata) seperti dikemukakan oleh tete-tete dorang di zaman Yunani dulu.
Tidak lantas disebut "binatang" sungguhan, sebab manusia dikaruniai budi pekerti, perasaan, dan hati nurani, selain hasrat atau naluri.
Untuk hal yang satu ini--soal kawin tadi--kitorang juga harus merespons dengan akal sehat, nurani yang bersih, dan melihat dari berbagai sisi.
Dalam konteks relasi antarindividu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok yang begitu akrab, anggap saja olokan semacam tadi merupakan motivasi dan semangat.
Ibarat lomba lari, jika trada tukang sorak-sorai, atau suporter dalam sepak bola, maka gerakan menjadi lamban dan trada naluri gol. Ujung-ujungnya kalah.
Anggap saja kitorang jadi buli-buli untuk menampung sophia, eh air. Air "kata-kata" yang disimpan di dalam buli.
Dia diendapkan dan diminum. Atau sebagai nyiru untuk menampi jagung dan beras. Kalau tidak, bawa ke dalam doa.
Orang Manggarai bilang: "kudut kantis ati racang rak"--agar menjadi lapang dada atau berbesar hati.
Dan ingat, kawin bukan soal urusan satu atau dua hari lalu selesai. Juga bukan perkara tinggal, tidur, dan kawin, lalu selesai. Bukan perkara satu tahun dan setelah itu buang seperti di sinetron.
Ini perkara seumur hidup. Teman hidup, teman tidur, teman menciptakan generasi baru. Yang lebih penting adalah soal hubungan keluarga, adat-istiadat dan agama. []
#2025
Posting Komentar untuk "Cara bijak menerima olok-olok"