Tengok ke dalam di ruang museum

museum uncen
Pakaian topeng (jipae) di museum Uncen. - Dokpri

Beberapa tahun silam, Maret 2019, kami mengunjungi museum Uncen. Saya dan beberapa teman, kru Jubi, membawa anak-anak SMA.

Kunjungan itu merupakan rangkaian kegiatan pelatihan jurnalistik. Kami beri nama “Journalist Goes To School”. 

Kami praktik liputan, setelah mendapatkan materi dasar jurnalistik dari kaka-kaka jurnalis Jubi.

Anak-anak itu senang. Antusiasme tinggi. Terutama usai mewawancarai penjaga museum.

Selepas wawancara dan melihat 2.500 koleksi museum, kami pulang. 

Kawan-kawan, peserta pelatihan tadi, lantas tancap gas bikin berita. Tulisannya dimuat di Jubi.

Mereka bangga. Lantaran punya kesempatan mengunjungi museum. Kunjungan ke museum adalah momen langka bagi mereka.

Kawan saya pernah berujar, bicara tentang museum Uncen, tak lepas dari budayawan Papua. Namanya mendiang Arnold C. Ap. 

Dulu Ap mendokumentasikan budaya Papua. Dia memang kurator di museum Uncen. 

Dia bikin lagu-lagu bahasa daerah tiap suku. Grup musiknya bernama Mambesak

Mambesak tenar di masa 1980-an. Lagu-lagunya bahkan menjadi spirit anak-anak Papua.

Saya sering dengar lagunya. Syahdu. Bikin tenang. Bikin merinding. Terutama karena musik khasnya. Seperti penyejuk jiwa. 

Petikan ukulele, tifa dan lain-lain jadi pembakar semangat.

Saya hanya ingat satu lagu. Kalau tra salah, judulnya “Nyanyian Sunyi”. Liriknya enak.

“Surga yang terlantar dan penuh senyuman. Laut mutiara yang hitam terpendam, dst..”

Kira-kira begitu. Kala itu, tempat ini menjadi semacam istana. Istana Mambesak namanya. 

Namun, Arnold Ap, Mambesak itu, kelak tewas dibunuh tentara elite Indonesia tahun 1984.

Saya jadi teringat awal ke museum ini. Dari beranda gedung, kami menengok lebih dalam. 

Kami masuk ke ruang bagian dalam. Melihat patung-patung dan koleksi lainnya. Patung Dafonsoro Sepick yang unik berdiri tegak. 

Ada pula peralatan perang, alat musik, transportasi, aksesoris dan religi. Semuanya tertata dengan apik.

Ukiran-ukiran, lukisan kulit kayu, gerabah, perlengkapan perang, manik-manik, perahu, budaya, kain timor, dan benda-benda bersejarah lainnya, tersimpan rapi di sini. 


Sekitar 2.500 koleksi berada di Mueum Loka Budaya Universitas Cenderawasih (Uncen). Namun di etalase hanya terlihat 900 buah. 

Ratusan koleksi itu terkumpul dari sekitar 270 suku di Tanah Papua.

Museum ini berdampingan dengan auditorium Uncen. Tapi auditorium lebih tinggi. Lebih megah. Luas lagi. 

Sedangkan museum lebih rendah. Lebih lawas. Halamannya luas. 

Area ini biasa dijadikan tempat pentas seni, mimbar bebas, dan festival. Misalnya, festival noken Papua.

Tapi museum punya beberapa bunga di taman depannya. Saat bertandang ke sini, bunga-bunga menari ria. 

Saya duduk sebentar di beberapa anak tangga. Menyaksikan bunga-bunga itu, yang diterpa angin pagi.

Sekitar sepuluh meter saja dari area jalan raya. Jika Anda ke Sentani, Kabupaten Jayapura, mata boleh buang ke sisi kiri jalan. Di situ harta karun masa lalu Papua tersimpan.

Tapi siapa pun yang lewat di jalur ini, tak menyangka gedung sesederhana itu, seantik itu, adalah museum. 

mseum uncen
Burung cenderawasih yang diawetkan di museum Uncen. - Dokpri

Sejarah museum Uncen, memang awalnya hanya menyimpan ukiran-ukiran Asmat. Sekitar tahun 1961, peneliti Amerika bernama Michael Rockefeller dikabarkan hilang. 

Perahunya terbalik. Terbawa arus di Sungai Betsj, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan.

Lalu tahun 1974 Gubernur New York, Nelson Rockefeller menggagas pembangunan museum. Michael adalah anaknya. 

Kemudian dibangunlah museum, untuk mengenang anaknya yang hilang tadi. Ukiran-ukiran Asmat pun disimpan.

Tahun 1981 museum dibuka. Diserahkan ke Uncen di bawah Lembaga Antropolgi Uncen. Lalu digabung menjadi Pusat Penelitian Uncen usai Peraturan Pemerintah RI Nomor 5 Tahun 1980 Tentang Pokok-Pokok Organisasi Universitas/Institut Negeri ditetapkan. 

Museum menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) sesuai SK Rektor tertanggal 4 Juli 1990 nomor 1698/PT.23.H/C/199.

Museum Uncen dikenal luas oleh akademisi luar negeri. Bahkan menjadi destinasi favorit turis asing. 

Dia masuk dalam laman buku Lonely Planet. Lonely Planet merupakan referensi turis dunia, untuk Tanah Papua.

Menurut situs ini Papua punya banyak keindahan untuk dikunjungi. Di Raja Ampat, misalnya, ada Wayag dan Pianiemo. 

museum uncen
Kendi, alat tumbuk dan anyaman. - Dokpri

Juga Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Museum Loka Budaya, Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, Danau Habema di Papua Pegunungan, Pulau Mansinam di Manokwari, Pantai Base-G di Kota Jayapura, Pantai Segara Indah, Mumi Wimontok Mabel, Air Garam, Gua Wikuda, Pantai Anggopi, Pulau Asei, Mumi Werapak Elosak, Pantai Pasir Putih, Situs Megalitik Tutari, Tugu MacArthur, Taman Burung dan Taman Anggrek, Gua Kotila, Pantai Nabire, Mumi Alongg Huby dan Piramid.

Dari sejumlah tempat itu, dua untuk kategori museum. Museum Loka Budaya dan Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat. 

Di Kota Jayapura ada Museum Loka Budaya Papua di kawasan Expo-Waena, Distrik Heram, dan Museum Loka Budaya Uncen di Distrik Abepura. Namun, Museum Uncen lebih lengkap dari Museum Expo.

Di museum Uncen, ada sebuah tiang. Diameternya sekira pelukan orang dewasa.

Tiang tersebut diambil dari dalam Danau Sentani. Rupanya itu tiang rumah masyarakat sekitar danau itu, masa lalu.

Ya, begitu sudah. Papua terlalu kaya untuk dikagumi. Terlalu dalam untuk digali dan diteliti. Terlalu indah untuk dikenang. Pergilah, dan tengok lebih dalam di ruang-ruang museum. []

#2025

Posting Komentar untuk "Tengok ke dalam di ruang museum"