Pixabay
Aku masih bermain dengan Pilemon, Arnold dan Titus sore ini ketika langit menggantung kabut. Pikiranku campur-aduk. Seakan-seakan kabut mendatangkan hujan di hatiku.
Sedari tadi Titus memperhatikan roman mukaku yang biasa-biasa saja. Selepas itu mereka memberondong dengan pertanyaan.
“Kita baru saja lulus masa ko tra mengambil bagian dalam kesenangan ini?”
Pertanyaan menggelitik sekaligus menggoda. Namun, Abeth datang membawa sejumput kabar, yang kelak mengubah jalan hidupku.
“Ko baca baik-baik dan daftarkan saja bila memungkinkan!”
Aku membaca brosur yang disodorkannya. Kalimat demi kalimat. Kuperhatikan dengan saksama, jangan sampai terjadi misinformasi.
Astaga!! Hatiku dag dig dug. Energi positif menggerakkan jantungku.
Paling tidak, detak jantung lebih cepat dari sebelumnya, saat membaca brosur beasiswa ini.
Hari beranjak petang. Anak-anak ayam pulang ke sarangnya. Dari balik pohon dadap dan randu suara burung kokak melengking. Bergantian sebanyak tiga kali.
Aku pun tak ketinggalan dan segera memberi kabar kepada bapa dan mama, yang sedang duduk di perapian, sembari melumatkan makanan babi.
“Darimana saja kau?”
“Pulang bermain Bapa!”
“Mentang-mentang sudah tamat bermain seharian saja.”
“Saya kan butuh-teman bermain.”
Bapak menghilang dari hadapanku, begitu aku menjawab dengan tegas. Dia tak mengetahui pikiranku bergejolak lantaran memikirkan hari esok yang masih misteri.
Aku bergegas ke pendopo. Lantas melanjutkan pembacaan brosur.
Tiba-tiba mentari dipeluk malam. Aku memanggil Bapa, Mama dan Natalia adikku, untuk berdiskusi tentang pendidikan dan kehidupan sosial politik di desa kami.
“Mama, saya mendapat informasi beasiswa.”
“Uang dari mana? Kau harus bantu Bapak mencari makanan babi, menggembalakan sapi dan mencari kayu bakar.”
Natalia seolah-olah tak terlibat dalam diskusi ini, sedangkan Bapak diam seribu bahasa.
Dari dahinya aku menangkap kerutan yang menyimpan pertanyaan retoris. Serta jawaban yang mudah dibaca, ketika berhadapan dengan persoalan serius seperti ini.
Aku memaklumi. Bahwa kondisi keluarga tak memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Guru-guru dan kawan-kawan menginginkan aku belajar di universitas bergengsi, di Kota Yogyakarta.
Nenek pernah mengatakan kepadaku untuk menimba ilmu sampai ke negeri Cina. Jalan berliku menuju Roma dilalui dengan "la'it pa'it detak nggéra". Sampai "dempul wuku tela toni".
Nenek juga memasukkan dalam kepalaku catatan sejarah dan tradisi tutur kampung kami, yang perlahan-lahan digerus hiburan televisi, internet dan percampuran budaya global.
Sejak duduk berdua dengan nenek suatu sore yang ceria, dan meresapi kisah klasiknya tentang perikehidupan dan perjalanan nenek moyang kami, sontak aku menyukai ilmu sejarah, arkeologi dan ilmu budaya.
Pilihan melanjutkan studi kemudian jatuh pada Yogya. Opsi ini didukung sejumlah informasi dari Om Kosmas.
Dia getol menasihatiku dan membagikan suka dukanya membiayai Si Radus anaknya, yang tahun lalu menyelesaikan studi di sana.
Namun, mimpi itu aku simpan rapi di dalam lubuk hati. Terpatri di tiap langkah kaki.
***
Tiba-tiba aku terbangun dari lamunanku. Empat tahun lalu, kisah itu, hadir kembali ketika namaku dipanggil panitia wisuda.
Lamunan panjang tadi terlintas saja lantaran menunggu antrean panggilan ke muka. Angka yang ditunggu-tunggu pun akhirnya dibaca.
Suara panitia jelas terdengar meski gaungnya hingga ke dinding-dinding aula. Namaku tersebut pada nomor urut kelima, dari empat ribuan orang.
Tapi, itu tak membuatku berbusung dada.
“Proficiat, anak,” kata Mama di ujung telepon, di antara ribuan manusia yang bertoga.
Ia bahkan kaget bahwa hari ini aku diwisuda. Selama ini mereka hanya mengetahui aku bekerja sebagai buruh bangunan di kota ini.
“Hari ini mama yang seharusnya memakai toga ini, bukan aku!” jawabku sambil menyeka air mata.
“Kamu kenapa, sob?” Tanya Aurelius, temanku yang duduk di samping.
Aku diam seperti patung saja, karena suara mama jarang terdengar. Tapi tiba-tiba nongol juga.
Hari ini bapa dan mama tak menyaksikan hari bahagiaku. Padahal sudah empat tahun tak bertemu.
Pahit getirnya hidup di kampus memang tak pernah aku ceritakan.
Aku tak pernah mengabari mereka bahwa aku kuliah. Aku hanya bercerita sebagai kuli bangunan.
Ingin sekali mereka datang hari ini. Meski sebatas memelukku erat-erat. Tapi, kandas di saku.
Tiket pulang pergi Labuan Bajo-Yogyakarta seperti bolak-balik empat kali ke Singapura. Apalagi ini musim krisis.
Persis kondisi seperti itulah yang membuatku tak pernah berkabar. Bahkan tak makan sekalipun, tak pernah aku kabari.
Pulang dan pergi kuliah berjalan kaki pun, tak pernah terpikirkan untuk kuceritakan.
“Neka rabo, Nana. Aki toe ngance ikut wisuda dite.”
“Ce’e kin du’ang dite ende. Dite morin toga ho’o,” kataku menahan isak.
Aurelius, Agnes, Regina dan Gloria teman-temanku, terlihat ceria dengan orangtua dan keluarganya. Aku?
“Mama!!!”
Aku berteriak dalam hati. Aku ingat mama. Tapi mama tak ada di sini saat ini.
“Akhirnya wisuda juga!!”
Tiga temanku kompak berteriak. Tapi reaksiku hanya seutas senyum. Berbarengan dengan lu’u mata.
Semalam aku menginap di rumah Inang Kristina. Aku mau menginformasikan, bahwa hari ini aku diwisuda.
“Kenapa baru kasih tahu hari ini?”
Begitu jawabnya ketika aku berpamitan pagi ini.
“Aku tak punya uang. Bahkan untuk membayar ongkos taksi. Seribu rupiah pun tak ada.”
Dompet kosong, saku bolong.
“Inang, tolong dampingi Aku nanti!”
“Sepertinya hari ini aku sibuk!”
“Baiklah, tidak apa-apa”
Selama empat tahun, aktivitasku adalah kuliah, buruh bangunan, dan memberi les privat bahasa Inggris–dari rumah ke rumah. Serta tukang jaga warnet.
Selain itu, aku gemar menulis artikel dan cerpen, untuk dikirim ke media lokal.
Honornya tak seberapa. Tapi cukup untuk biaya kuliah, beli buku, uang makan, bayar kos, fotokopi, dan lain-lain.
Tapi hari ini aku benar-benar sial. How pity of me. Uangnya habis.
Enam bulan terakhir aku mengerjakan skripsi yang rumit, bolak-balik ke tempat penelitian, membeli kertas, tinta dan keperluan skripsi lainnya.
Uang pun melayang. Terbang bersama impian.
“Gawat! Aku tak akan mengikuti wisuda. Semoga ada yang bisa membantu,” pikirku.
Aku terus menjerit. Suara kesedihan dan kegirangan, optimisme dan pesimisme, seolah sedang berkelahi.
Tolong aku, Bunda! Tolong, Tuhan! Aku butuh empat puluh ribu rupiah saja untuk ongkos taksi!
Tapi aku cari dimana? Pinjam kepada siapa?
Lama aku berkutat dengan rasa dan kondisi yang bergejolak. Antara wisuda dan uang taksi.
Hampir semalaman aku menghadapi kondisi batin seperti ini. Terus bergejolak gara-gara uang.
Tapi, Sabtu pagi ini begitu cerah. Dua sembilan Maret dua ribu dua belas. Panitia wisuda rela menunggu kedatanganku, yang hampir satu jam belum muncul.
Alleluya, Inang Kristina akhirnya memutuskan untuk menyewa taksi ke kampus. Dia juga mendampingiku sebagai pengganti orang tua.
Sedangkan teman-teman kerjaku–kuli bangunan, menyusul beberapa jam kemudian.
Kami berfoto ria. Lalu aku bergegas memesan taksi.
Inang Kristina tak membuang waktu selepas seremoni pemutaran topi. Dia mendahului aku ke rumah. Rupanya akan mengikuti arisan ibu-ibu.
“Adik, ini ada sedikit rezeki untuk ongkos taksi,” kata Kak Rafit dengan senyum simpul.
Aku membukanya. Astaga, seratus ribu rupiah jumlahnya.
Uang sejumlah ini begitu besar. Kak Rafit seakan merasakan kepedihan hatiku.
Dulu pria blacksweet ini membiayai kuliahnya dengan bekerja sebagai tukang sapu jalanan kota. Aku pun terinspirasi dari dia.
Hatiku masih hampa. Euforia sesaat di aula tadi tak berbekas.
Hanya rasa hambar bercampur ragu. Tentang sebuah perjalanan yang masih panjang dan berliku-liku.
Kontras dengan bait-bait mars tadi di aula kampus.
“Singkirkan segala rintangan, tempuh era pembangunan, berjuang di bawah kibaran bendera negara Pancasila.”
Wisuda adalah titik keringat darah terdidih dalam hidupku. Tapi itulah hidup. Hidupilah itu–irama, syair dan balada.
Bekerja dan kuliah adalah pekerjaan yang susah. Jika aku membebankan orang tua, maka aku sangat egois. Sebab adik-adikku harus menjadi korban.
Maka aku memutuskan untuk mandiri. Seturut pesan mama empat tahun lalu: berdoalah dan bekerjalah.
Kini aku menuai semua itu. Aku boleh memakai toga.
Namun perjalanan masih panjang. Beban hidup masih banyak. Hari ini adalah akhir dan awal.
“Anak, biarlah tetap di kota. Di sini semua ijazah dan kompetensi tak dibutuhkan. Kau cuma butuh uang banyak dan lewat pintu belakang. Setelah itu bisa bekerja.”
Aku tak mengerti mengapa mama mengirim pesan singkat seperti itu. Di satu sisi, dia menyuruhku untuk segera pulang, agar dapat mengikuti upacara caca selek.
Tapi di sisi lain, dia bersikeras melarang aku pulang, dan harus bekerja di kota
Sebenarnya mama tak perlu khawatir. Sebab kini aku menjadi programmer, konsultan digital dan copywriter.
Pekerjaan ini baru ditawari seminggu lalu. Tapi baru mulai bekerja pada perusahaan IT berbasis di Kanada itu, seusai wisuda.
Ah, mama. Jangan khawatir! Dimana pun aku tinggal nanti, asal ada akses internet, aku bisa hidup kok.
“Proficiat, kawan!!!” Teriak Aurelius dari pojok aula.
“Selamat datang di dunia kerja, wan!” sambung Gloria.
“Selamat datang pengangguran berintelek,” cela Regina.
“Asyik!! Let's party!!” ajak Marcel dengan lidah kebarat-baratan.
Semua ucapan salam dari kawan-kawanku menjadi motivasi untuk melangkah lebih jauh. Biar berjalan lebih cepat dan tegar. Dan bertahan dalam aneka cobaan. Atau melawan kenyataan maha pedih.
Momen wisuda menjadi saat, dimana, idiom ”kita belajar untuk hidup” semakin dekat. Bukan sekadar gelar, prestise dan prestasi.
“Maka setelah kuliah, kita mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat dan memajukan pembangunan di segala bidang,” kata Aurelius bijak.
Aku lalu membatin. Inilah toga untukmu, mama-papa. []
#Abepura, 2014
Cerita ini hanya fiktif
Posting Komentar untuk "Pesan singkat dari mama"