Bank sini dan bank sana

antre
Pixabay

Suatu sore yang panas di awal Juli 2017, Yaklep menuju ke sebuah bank bernama Bank Ini—sebuah bank yang biasa disebut Bank Raih Impian, yang terletak di sebuah kawasan pinggiran Kota Tua.

“Mau apa?” tanya seorang petugas keamanan yang menjaga di depan pintu, sebelum pemuda ini memasuki kantor bank.

“Mau print rekening honor, bisakah?”

“Oh, tidak bisa. Pagi sebelum jam 8 boleh,” jawabnya.

“Baik. Terima kasih,” jawabnya sembari mengatur langkah pulang.

O iya, Yaklep si pemuda paruh baya ini meminta cetakan honorarium kerjanya pada sebuah perusahaan swasta, untuk kepentingan Kredit Pelunasan Raja atau KPR—tidak ada alasan lain, sebab itu salah satu dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhinya.

Itu adalah program “gubuk layak” oleh Menteri Gubuk Negara dengan target ribuan gubuk hibah, untuk warga berpenghasilan rendah di seluruh negeri. Yaklep dan belasan temannya termasuk beruntung mendapat kesempatan dan bagian itu.

Keesokan harinya, pada sebuah pagi yang berawan tipis nan cerah, pemuda Mata Menyala itu mencoba lagi ke bank yang sama di kantor cabang Tepi Jalan. Namanya Bank Ini cabang KTJ.

“Mau apa?” petugas pintu dan keamanan bertanya.

“Mau minta cetakan honor, Om,” jawab Yaklep datar.

“Baik, langsung saja ke teller,” jawab si petugas pintu sambil memberikan nomor antrean.

Tertulis nomor 8 pada kertas putih seukuran dus kotak korek api. Yaklep mendekat ke antrean. Ia duduk di depan teller, disambut senyum ramah dari balik wajah rupawan teller manis berkostum cerah.

“Mau apa?” Teller bertanya.

“Mau cetak rekening honor, Bu!”

“Jaringan bermasalah. Coba ke Kantor Cabang Abang (KCA) di Tetepunya,” ujar sang teller bermata sebesar bola biliar dengan maksud menyarankan.

Yaklep balik kanan setelah beberapa detik mendengar penjelasannya, ihwal jaringan yang lemot (katanya). Lalu ia segera ke kantor cabang Bank Ini KCP Tetepunya, yang bersebelahan dengan sebuah pusat perbelanjaan.

Seperti biasanya dalam etika berkomunikasi, Yaklep mengawali percakapan dengan menyapa petugas pintu. Mereka bertegur-sapa. Lalu disusul penjelasan maksud dan tujuan kedatangannya.

Yaklep mengantre dan nasabah lainnya juga bersantai menanti “panggilan”. 

Si Mata Menyala ini mendapat nomor antrean 12 pada bagian duduk sisi kanan. Sedangkan beberapa pelanggan lainnya di sisi kiri.

Lantas? Lagi, jaringan bermasalah! 

Mata Menyala tak berontak. Ia diam sejenak. Sesekali mencuri pandangan ke arah si teller.

Pada emblem yang ditempel di saku sang teller bertuliskan “Pengabdi”. Itu dia namanya, Pengabdi.

Setelah bercakap-cakap, keduanya terlibat percakapan ringan, tapi agak serius. Pertemuan ini diawali tegur sapa dan tanya jawab. 

Yaklep lalu menyodorkan buku tabungan atas permintaan Pengabdi.

“Berarti dari bulan Mei sampai Juni?”

“Iya, benar.”

Sontak si teller menatap layar komputer. Rupanya dia sangat berhati-hati melihat monitor PC-nya.

“Jaringan error. Loading lambat,” katanya, sambil menyarankan ke kantor cabang terdekat—praktisnya di sekitar sebuah kali bernama Kali Harapan.

Yaklep pun pamit pulang dan memikul impinan yang tersendat. Sebatang rokok dinyalakan bersama mentari yang memanggang kulit.

Dari rautnya, ia khawatir dan getir. Seakan-akan asap yang membumbung ke langit Tetepunya bisa mengusir getir.

Hari ketiga, ia mencoba ke kantor cabang lain, sekitar pemukiman padat yang bertetangga dengan sebuah sekolah swasta. Kali ini tanpa nomor antrean. 

Sepertinya petugas di sini bertugas sehari sebelumnya, pada cabang sebelah.

“Nomor antrean mana?” Tanyanya ramah.

“Petugas pintu langsung mengarahkan saya ke sini,” jawab Yaklep.

Hal-ihwalnya sama. Meminta cetakan bukti pembayaran honorarium per triwulan terakhir.

Pengabdi pun melihat-lihat buku catatan tabungan. Ia membolak-baliknya. Sesekali dengan kerutan dahi. Sedang Mata Menyala duduk dan diam saja.

“O, dari Mei sampai Juli,” jawabnya sambil melihat buku rekening yang kemarin dilihatnya.

“Iya,” jawab Yaklep.

Beberapa waktu kemudian, terdengar penjelasan yang sama; masalah jaringan lagi. 

Menurut dia, jaringan lambat. Atau barangkali diperlambat.

Namun, ia punya saran. Menurutnya buku tabungan bisa dititip dan diambil dalam waktu yang tak tentu, jika mau menge-print rekening honorariumnya.

“Batas berapa hari kalau dititip?” tanya Yaklep.

“Tergantung jaringan,” jawabnya sambil memperlihatkan layar komputer yang sedang loading.

“Kalau begitu tidak usah,” jawab Yaklep sambil menelan ludah marah.

“Sepertinya beberapa hari terakhir jaringan bermasalah, ya?” tanya Yaklep lagi.

“Begitulah,” jawabnya.

“Apakah saldo pada rekening berpengaruh pada jaringan?” Yaklep mencoba bertanya.

“Itu tidak masalah,” katanya.

Dia pun menyarankan untuk ke unit terdekat. Saran seperti ini dilontarkan sehari sebelumnya, sewaktu di kantor cabang Tetepunya dan Tepi Jalan.

Yaklep pulang dengan menggendong mimpi yang digantung setinggi-tingginya di ruang kepala. Ia juga didera pertanyaan tanpa jawaban.

Bank Ini adalah bank terbesar milik negara. Namun, tak mampu menaklukkan jaringan yang sering “nakal”. 

Jika di ibu kota wilayah masih seperti ini, bagaimana daerah seberang nun jauh di pelosok negeri?

Hari berganti hari, terang berganti gelap dan kopi berganti ampas, tibalah pekan kedua di awal hari yang ceria. Yaklep bergegas ke Bank Ini. 

Ia optimistis akan kembali membawa impian. Namun, fakta berkata lain. Bukan impian yang dibawa, melainkan jaringan yang nakal. Jawaban yang sama diterimanya.

Yaklep tak punya otoritas untuk memerotes. Ia cuma membatin. Menyimpan impian dalam-dalam.

“Sekiranya saya tidak meminta cetakan honorarium, tetapi mau menyimpan uang berjuta-juta, apakah jaringan bermasalah?” ia membatin.

“Lalu, mengapa justru bank milik Yang Berkuasa bermasalah dengan jaringan? Bukankah yang berkuasa punya wewenang untuk ‘blokir-memblokir’ dan membangun infrastruktur?” lagi ia membatin.

Setelah berjibaku dengan untaian pertanyaan, Yaklep mendapat kabar beberapa waktu kemudian dari Bank Sana dan mitranya. 

Mitra Bank Sana memberikan daftar seluruh kawan, yang membeli gubuk “murah” melalui Kredit Pelunasan Raja Bank Sana.

Akan tetapi, dari daftar peserta, mitra Bank Sana membubuhkan tanda khusus– berdasarkan panjang-pendeknya rambut, geografis, dan arah mata angin—utara, selatan, timur, dan barat.

Yaklep tak setuju. Ia ingin protes tapi kepada siapa? Toh ia tak punya kuasa dan mitra. 

Namun, ia mencoba mengecek pada seorang kawan di Bank Sana. Jawabannya, mitra Bang Sana memang membubuhkan sebuah tanda seperti itu.

Hal seperti itu adalah satu dari banyak persoalan yang dihadapi Si Mata Menyala ini. 

Di negeri Yaklep, pemisahan geografi, panjang-pendek rambut dan arah mata angin sudah lumrah. Kaum ini seakan dipisahkan sejak dalam kandungan dan pikiran.

Maka dari itu, tidak usah menggelengkan kepala jika Yaklep bertutur menyampaikan keluh kesahnya. Mereka adalah kaum jelata yang dianggap kelas tambahan, karena dominasi "kelas berpunya dan beruang".

Ada semacam pembedaan antara “kaum sana dan kaum sini”. Kaum sini dianggap tak pernah ada karena dominasi “kaum sana” atau mereka yang berpunya dan berkuasa di negeri–yang konon katanya punya lima prinsip atau falsafah negara ini. 

Mau sampai kapan? Sejak saat itu, Yaklep tak berminat, bahkan tak mau bermimpi untuk mengangsur gubuk layak Kredit Pelunasan Raja. Dia menduga terjadi konspirasi para suanggi. Aiii mama e. []

#Agustus 2017

Posting Komentar untuk "Bank sini dan bank sana"