Elegi data pala

puisi elegi
Ilustrasi. - Dokpri

Atapala menata jejak dari kampung
Pagi-pagi sekali susuri kali dan ngarai
Barisan bukit landai jadi pagar betis berganti-ganti
Pundak memikul bekal se-roto 
Hendak menerjang badai di bawah matahari

Kalau kelak jadi cerita
Biarkan sebar jadi berita

Dia menyusuri jalan sarat tikung menuju tanah lapang
Kaki berdaki dicabik duri tiada henti
Melangkah terus meski usia terus tergerus

Berani mati menerjang rintangan
Yang melintang garang sepanjang padang

Sebait doa dilafal seumpama petapa
Ujaran Tuhanku mengulum getar terdengar

Bejibun doa menggantung di jakun
Tuhanku, sertai hamba saat pergi jauh
Tuntun tubuh rapuh kala menemu jemu dan keluh
Agar jalan terus, menapak terus!
Meski suka menggores duka

Pejalan kaki itu melangkah lagi di tiap pagi
Berhenti sedetik sekadar meng-idik 
Mengucap metafora leluhur yang unik nan luhur
Tuk lalui rimba nestapa tanpa putus asa

Dikira langkah terjeda saat malam menjemput senja
Kala daun-daun rimbun ditetes embun
Nyatanya sebuah perhentian tawarkan godaan padang gurun

Perantau berlari lagi hendak menggapai sudut benua
Dari balik kalbu gema suara Tuhanku mengalun pelan
Menyasar raga yang lalai lantunkan mazmur saban pagi
Tuhanku, jalan panjang masih terbentang!

Langkah terus tertata apik
Bergema irama dari kota ke kota
Meronta-ronta riang gembira nyanyian gita terindah
S'bab napas menghirup aroma surga 
Namun dia lelah menemu bedebah

Langkah teriring kabut menyahut sangat
Sambangi pelangi selepas rintik pergi
Atapala menengok roto petuah dan doa
Menahan sahutan di tepi jalan
Bergumam pelan bagai tarian rerumputan
Lalu menyahut lagi dan berjalan lagi
Hendak sampai bila matahari memeluk malam lagi
Agar dunia dikenang kelak tanpa henti

Mimpi di seberang menghantam bedebah penghalang jalan
Suara gusar menyasar garang
Terkenang lagi mimpi yang dititip pada buah hati suatu pagi

Bila rindu dikenang biarkan kenangan tak lekas usang
Jika nostalgia padat cerita
Biar dia berkisah tentang dunia kita

Siang dan malam silih berganti
Riang dan gumam berganti-ganti
Jedanya menoleh pada tanah berbukit duri
Tampak seikat senyuman merona di ujung bibir kaku sang musafir

Pada petuah leluhur yang terpahat di loh sanubari dia mendesah sudah:
"Neka asi one bea neka do'ong one golo
Lako lage golo kut molor mose ho'o
Neka daku ngong data neka data ngong daku
Lalong bakok du lakom lalong rombeng du kolem

Di tanah orang dia mengasah parang
Membasmi rumput liar dan duri kaki kaku
Mengusir malas yang terus bersarang
Menajamkan asa merangkai kreativitas
Biar kelak cetak generasi berkelas

Atapala menepi lagi
Bergidik ketika mengulik setumpuk fakta pelik
Tentang jiwa-jiwa yang menguar semangat berkobar-kobar
Lalu diumbar jadi barbar

Kikuk kaku melihat anak manusia yang meringkuk
Yang meratap tatap nyawa patriot tangguh yang luruh
Yang disekar selaksa kamboja anak-anak harapan

Lalu siang jadi malam yang menggantung kabut
Musafir menjeda lagi
Menatap kemuning padang abadi
Membasmi gulma yang melekat erat

Tapi nahas dinyata di bola mata:
Kawanan serigala berlari kencang
Mengejar kijang di padang datar
Kerbau liar menuju kubangan
Menjemput mangsa tanpa ampunan
Padang savana tampak kekuningan
Alang-alang bagai lembayung menari gusar
Kawanan rusa berarak-arak menikung musang

Di sini jadi arena tanding aneka makhluk sarat hasrat
Tepat namanya hukum rimba yang berupa
Siapa berani menanti mati
Tiap kawanan merangsek nasib kawanan kawan!

Mentari pagi dipeluk malam
Dunia kelam terpahat dalam-dalam
Tak ubahnya neraka yang nyata
Dia teringat adagium pendahulu:
"Kalau berjalan memelihara kaki"

Pada suatu sore, senja merah merekah
Memercik harapan nenek moyang:
"Porong uwa haéng wulang, langkas haéng ntala
Kimpur neho kiwung cama kiwung lopo,
cimang neho rimang cama rimang rana
Mésé békék langkas nawa!"

Bila tiba saat terjeda dan menepi
Senja yang luruh dijemput malam
Fajar pagi menyembul di bawah horizon terjauh
Kan ditata ulang rusuk yang terserak
Dalam serpihan bayang-bayang
Tuk keabadian cinta katanya

Teringat lagi tuturan sang ayah:
"Porong ras baling racap res baling lele
Tai cala wai borek cala bocel

Musafir menghela napas
Merenung, tercenung, tepekur:
"Tuhanku, kalaulah boleh nyatakan cintamu!
Tapi bukan kehendakku melainkan kehendakMu

Dia menitip cinta pada se-lingko jagung 
Membiarkan bersemai dalam bumi yang sunyi
Bertumbuh tunas bernas seirama napas
Di ladang berbatu dan lagi duri

Penjelajah bangkit lagi di tanah nagi
Melihat raga sang papa dan mama dalam sketsa
Tulang pipi jadi licin digilas air mata dari sudut mata
Mengenang sosok pencipta, pencinta
Yang digores keriput bagai seni tubuh

Ibunda menyalakan suluh di gubuk
Saban subuh dan petang
Menanti ananda pulang membawa senang
Ke pangkuan hangat dalam balutan tak terlekang

Lalu sang bunda menyapa angin malam dalam diam
Berkitar pada pijaran lampu yang bersinar
Sekiranya buah rahim yang dirindu
Datang membawa sejumput dian harapan!

S’bab ananda pergi sampai jauh tak terengkuh
Kala benih jagung belum be-rembu
Saat bulir padi tiada menguning
Sewaktu kopi belum memerah

Kini tulang punggung terpanggang matahari
Sia-sia pergi sampai jauh mengayuh sauh kalau tak berlabuh

Namun saatnya belum tiba melawat kerabat dan darah senadi

Matahari belum kembali ke peraduan
Jalan terus pagi hingga pagi

Perlahan penjelajah itu mengumpulkan kehidupan
Menata compang komitmen di sanubari
Memantapkan kota di jiwa yang merdeka
Hingga suara kokak berkali-kali
Isyaratkan pulang usai petang

Tentang komitmen dia membatin:
"Porong neka behas neho kena, neka koas neho kota

Karena jalan berliku menganga di depan mata bak ngarai di barisan Ranaka 

Kepada tanah air musafir bertutur gesar:
"Nucalale,.biarkan dadap dan lale bersemai
Tumbuh dalam tubuh seluruh
Merimbun di mata air kehidupan
Biarkan air mengalir sampai jauh
Hingga disambut lautan kehidupan
Tuk membagi berkat hingga pelosok nusa
Di seberang pulau dan selat"

Tanah air ditengok sejenak
Menemu onggokan daging dan material
Menumpuk rapuh bagai jarahan
Sedangkan ini bukan korban bakaran

Desau dedaunan di desa
Desau tak biasa jadi risau
Cerita April mengawal kemarau
Silikon tak dinyana, tanpa kompromi
Semalaman sepekan nusa mencekam
Pekan paskah berubah jadi resah
Desau daun-daun menjelma sesal
Gubuk-gubuk melesak cekat
Napas anak nusa berdesah

Hati hancur menyerpih
Jiwa sepi menyepi sendiri
Meratap kerabat sedarah ditinggal pergi
Nyanyian ratapan jadi doa
Meratap seribu nyawa korban amukan seroja

Ingin dihalau angin selatan
Sekadar menebar tongkat seperti Musa tatkala eksodus 
Apa daya tak kuasa melangkahi Tuhan
Hanya meracau dan risau
Agar angin dan air mata langit berlalu sudah

Meski seroja mengamuk sepekan
Menghantam apa saja di depan mata
Membenam beban di pundak anak negeri
Jiwa anak rantau segarang karang
Harum cita-cintanya semerbak bak cendana
Raga kekarnya sekeras Nampar Nos 
Mimpi besarnya sesumbar sesubur vulkanik cincin api Nusa Bunga 

Pada musim kelang suatu petang
Perantau melawat semua yang dikandung ibu
Di desa teduh beratap langit biru
Pada kampung di lodok unik di lingko kehidupan
Air matanya berlinang, girang!

Saat senja menyandar manja di bukit leluhur
Penjelajah pulang ke kandang
Menitip gabah, rumput dan kingres 
Menitip pada kawanan kuda di bukit berumput hijau
Mengikat seakar wiko dan jengok 
Tuk disemai di kaki bukit bila penghujan menderai pada Januari

Senin pagi enam belas Mei dua ribu dua satu
Dua bebek bercium buas kala diderai gerimis
Menyerpih beling di aspal panas
Atapala terjerembab, gelap!
Dua sekarat selamat, satu tak bernapas
Lakalantas jadi nahas
Dara ta'a tumpah meleleh di jalan yang basah

Tiga hari sebelumnya Sang Kristus naik ke Surga
Dari antara kami juga menyusul pergi 
Dia pulang dalam senyap 
Diseret arus samudera ke dasar yang gelap

Muka yang ditinggal pergi jadi sembab
Lagi-lagi dara ta’a dipeluk tepian samudra 
Ditabur butir-butir pasir tepian Base-G yang bergelora

Tiada terduga kami berduka
Langit berkabut kami berkabung
Sambung-menyambung dari Seroja sampai Jayapura

Embun pagi dan air mata mengalir deras
Menyatu dalam lamentasi di sini
Port Numbay jadi saksi lirih bagi yang pergi

Bukit-bukit hijau dan kopi kini
Bermadah lirih menyambut buah rahim terkasih
Gubuk tua tegak berdiri disemuti darah sendiri
Disertai sembahyang pagi dan petang
Buah cinta datang bersarang
Meski raga rapuh terbujur kaku di kotak cokelat

Songke dan kapan menadah ratapan
Nyanyian lamentasi mengiringnya pergi ke tanah abadi
Dia pulang dengan menitip elegi data pala
Dalam balutan songke ntala

Saudara sedarah terisak ramai
Menyambut ananda yang kaku tak bersahut
Retang bambas nuk wua tuka
Ba tobon kole golo
Ba matan kole tana
Dari seberang negeri di bawah matahari
Di atas bongkahan harapan fajar pagi

Jayapura, 19 Mei 2021

Posting Komentar untuk "Elegi data pala"