Ba nera

diari timo lilin
Unsplash

Kalau tidak bisa menjadi jalan raya, biarlah menjadi jalan kecil untuk orang-orang di sekitar. Kalau tidak bisa menjadi matahari untuk menerangi bumi, biarlah menjadi pelita kecil, kalau tidak bisa menjadi bulan purnama, biarlah menjadi bintang kecil.”

Saya masih ingat kutipan ini. Melekat kuat. 

Dari omong panjang-lebar, cuma itu yang saya ingat. Kotbah malam Paskah. Romo pastor paroki membawakannya di stasi kami. 

Dengan suara yang bergema, saya langsung terbangun. Nggikar memang.

Karena itu tadi. Harus menjadi cahaya atau terang. Seperti kata Yesus dulu. Hendaknya kamu menjadi garam dan terang dunia.

Perihal terang, memang harus terang terus. Seperti slogan sebuah merek balon lampu: “Terus terang, phil*** terang terus.”

Terang dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan. Terang membuat semuanya tersingkap.

Dalam bahasa Manggarai gerak, dila, kete, nera. Ba nera neteng bendar. Nera eta awang. Nera tedeng len.

Ba nera. Ba artinya membawa atau membawakan cahaya.

Ba juga dipakai dalam percakapan. Dalam akhiran “ba”. Ini menandakan jenis kelamin lawan bicara. Mengandaikan bahwa lawan bicara berjenis kelamin tertentu.

Jika berjenis kelamin perempuan, maka dipakailah akhiran “ba”, sedangkan “be” untuk laki-laki. 

Misalnya, ngo nia hau ba? (Kau kemana--untuk perempuan). Ngo nia hau be? (Kau kemana--untuk laki-laki).

Soal nera, atau gerak, kete atau dila (menyala), saya jadi teringat sebuah band. Namanya Nera. Ada nama musisi dan seniman neo tradisi Ivan Nestorman di dalamnya.

Saya punya koleksi lagu-lagu beliau. Dari Youtube. Di antaranya, Mata Leso Ge, Mose Renceng Cama dan Mori Sambe.

Penggalan lirik Mori Sambe saya hafal mati. Dan ini yang mau saya tulis.

Ini lagu semacam sedang berdoa atau memohon. Paling tidak, tampak dari diksinya.

Tea koe salang lako
One nendep salang
Ai one lime mo Mori
Pu’un sangged gerak
Cau koe limeg ta, Mori
Du tuke kebe
Sembeng koe lako wa’ig ta 
du lupi ngampang
Par agu kolep leso one limed Morin…

Langit pagi ini sejuk. Saya melihat cakrawala. Berkas-berkas fajar bermekaran. 

Lalu ganti jadi pagi. Hingga sore beranjak. Dan saya pun menulis. Merefleksikan perjalanan hari ini.

Lahirlah tulisan sederhana ini. Dalam terang cahaya listrik. Dari dalam hening dan dengung tonus kecil. Ditemani Mori Sambe tadi. 

Sebenarnya saya mau menyanyi sekeras musik pesta. Namun, saya tahan saja. Jangan-jangan si jagoan terjaga.

Makanya saya berdengung saja. Keluarkan tonus kecil.

Sembari mengingat cinta Tuhan sepanjang hari ini. Sejak fajar, hingga angin membelai sepi. 

Sedianya kata-kata yang tersaji ini menjadi ba nera. Sebab, saya yakin, banyak cara menjadi ba nera.

Perihal menjadi terang, ba nera, memang mudah dilaksanakan. Saya menulisnya bak jalan tol.

Tapi soal bagaimana mewujudkannya, itu lain perkara. Berat memang.

Barangkali, refleksi kecil ini, adalah sebuah tanda koma–dari aneka kata dan tanda baca. Kalaupun tidak, biarlah menjadi semacam “doa malam”.

Di bawah terang Paskah, ada harapan. Ada energi baru–ba nera tedeng, ba gerak, menjadi dian harapan, dalam bacaan. 

Cau koe limeg ta, Mori. Du tuke kebe”. 

Saya membatin lagi. Menyatu dengan angin yang menusuk hingga sumsum tulang. Yang menggelitik dedaunan.

Lalu menarik napas dalam-dalam. Merebah. Kalau-kalau langsung nyenyak. Menyatu dengan sang dewi malam. 

Tapi itu nonsense. Karena, bersama angin malam dan riak-riak air di sungai belakang rumah, sayup suara si jagoan terbangun. 

Dan saya memang harus benar-benar mengakhiri tulisan ini. Memeluk si buah hati. Membisik pada telinganya. “Nak, tidurlah, hari esok milikmu. Enaimo, kelak ba nera neteng bendar.” []

#April 2025

2 komentar untuk "Ba nera"

Ilan 23 April 2025 pukul 23.15 Hapus Komentar
Pribahasa dengan penjelasan yang mudah dimengerti membantu saya memahami isi dari cerita.
Timoteus Rosario Marten 24 April 2025 pukul 08.09 Hapus Komentar
terima kasih kaka. smoga bermanfaat 🙏🙏🙏