![]() |
Pixabay |
Catatan ini, masih tentang kemarin. Tentang langkah awal dan bagaimana melanjutkannya.
Apakah berhenti atau terus? Jika terus berjalan, bagaimana caranya dan dengan apa mewujudkannya?
Sudah! Hajar saja. Maju terus pantang mundur. Anggap saja seperti “keda puar”. Lau-lau lembi, lau-lau nggeling.
Tentu, oleh karena kesetiaan pada komitmen atau konsistensi tadi, maka tulisan di hari kedua ini, hadir.
Meski memang sedang berdiri di persimpangan. Toh harus berjalan. Menulis terus dan terus menulis untuk kehidupan.
Maka tulisan ini pun, masih tentang mimpi. Mimpi-mimpi yang terus dirajut.
Tadi sebelum memulai catatan ini, saya seharusnya membaca. Buku fiksi atau apapun judulnya. Tentu yang ada di perpustakaan pribadi.
Tujuannya hanya satu. Menggali inspirasi.
Agar tulisan ini bernasi, eh, bernas. Agar tulisan ini bernada, berirama, dan bergigi. Agar tidak kering.
Paling tidak, itu harapannya. Harapan sepanjang napas. Dum spiro, spero.
Karena bagaimana pun, menulis itu, seiring sejalan dengan membaca. Tidak mungkin bisa menulis kalau tidak mau membaca buku. Itu idealnya.
Kembali soal mimpi. Saya jadi teringat sebuah novel. Judulnya Sang Pemimpi (The Dreamer), karya Andrea Hirata.
Saya membelinya belasan tahun lalu di Jakarta. Waktu itu, beli di pasar murah. Biar murah asal ada isi.
Dulu, waktu masih semangat-semangatnya, jika bepergian ke Pulau Jawa, saya harus membeli buku. Selain karena buku di sana murah, juga sekadar oleh-oleh.
Sehingga kalau pulang Papua, minimal buku terselip di ransel, selain laptop dan pakaian ganti.
Meski kadang-kadang juga saya malas membacanya. Saya hanya koleksi.
Ada kepuasan tersendiri untuk melihat buku-buku di rak, walaupun belum ada karya sendiri.
Tapi itu dulu. Kini hanya baca buku yang ada. Buku lawas.
Pada novel tadi, pada mozaik terakhir. Pada Tuhan memeluk mimpi Ikal dan Aray, saya terhenti.
Saya lalu mengisap rokok, dan meneguk kopi. Racikannya pas. Pekatnya bikin melek.
Saya menyeruput. Teringat kisah dua anak Melayu desa terpencil di Pulau Belitong tadi.
Dua anak ini dengan gigih, jungkir balik, bekerja subuh hanya untuk membiayai sekolah. Bekerja untuk sekolah.
Tak peduli ganasnya waktu dan gelombang sosial. Mereka menjadi kuli di pasar ikan, di sebuah pelabuhan.
Kabar baiknya, mereka lulus dengan pujian.
Ketika di Jakarta pun demikian. Mereka bekerja.
Hingga waktu mempertemukan Ikal dan Aray Si Simpay Keramat, ketika mendaftar dan diterima beasiswa pascasarjana di Universite de Paris, Sorbonne, Perancis
Kira-kira demikian sepintas yang saya baca. Saya lalu berhenti lagi. Memberi koma.
Lalu tarik napas. Tarik rokok. Tarik waktu.
Mau melanjutkan tulisan ini pun sambil menyeruput kopi. Kopi, kata, dan refleksi.
Pada akhirnya, memang Tuhan memeluk mimpi-mimpi orang, yang membanting tulang dan salto-salto. Yang gigih dan ulet.
Lalu apakah saya kelak memeluk mimpi-mimpi itu di awal dan ujung senja? Maybe yes or not.
Tapi waktu tak bisa dilawan. Biarkan mengalir seperti air.
Dan saya pun harus mengakhiri diari hari ini.
Pada potongan catatan lama, saya menemukan tulisan ini: “Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo”-- titik air memecahkan batu, bukan dengan kekerasan tapi dengan jatuh berulang-ulang.
Pada angin yang membelai manja, pada senja merah yang muncul dari balik perbukitan dan gunung, tersiar berita duka dari Vatikan.
Linimasa Facebook dan X juga menyiarkan berita serupa. Paus Fransiskus meninggal dunia pada 21 April 2025 di Casa Santa Marta Vatikan. Demikian berita pada linimasa X Vatican News.
Paus Fransiskus meninggal dalam usia 88 tahun (1936--2025). RIP Bapa Suci. Hodie Mihi Cras Tibi.
Dan diari ini pun, dengan sendirinya berakhir dulu. []
#April 2025
Posting Komentar untuk "Persimpangan jalan"