Pixabay
Tiap Sabtu anak-anak diizinkan pulang kampung. Terutama bagi mereka yang rumahnya berdekatan dengan sekolah.
Inigos (bukan nama sebenarnya), adalah satu dari anak-anak yang pulang kampung itu. Dia kembali pada Minggu sore.
Bawaannya pun banyak. Mulai dari makanan ringan hingga lauk.
Lombok, latung cero (jagung sangrai) dan koja cero (kacang tanah goreng) adalah bawaannya.
Setiba di asrama, Inigos menyimpan oleh-oleh itu dengan sangat rapi, di dalam peti. Dibungkus dalam kardus dan plastik gantungan.
Tiba-tiba datanglah dua kawannya, Gonzales dan Diabolus. Mereka hendak meminta koja dan latung cero pada Inigos.
Tapi apes. Inigos tak memberikannya.
Dia beralasan banyak. Tak membawa apa-apa. Kalau dibagi, maka stok oleh-olehnya habis seketika.
Maka, tak membagikan kepada kawan-kawan adalah kebijakan ekonomis paling tepat baginya.
Lagian, makanan ala asrama begitu sederhana. Di asrama tak punya cukup gizi, tapi cukup untuk kenyang.
Karena penasaran, Diabolus mencari cara. Jemekos pun merapat.
Dia memperhatikan kawannya yang satu ini. Mereka pun berembuk. Lalu merancang strategi apik.
Inigos tak mengetahui rencana jahat tiga kawannya itu. Ia melenggang kangkung. Malas tahu.
Teng! Lonceng sekolah berbunyi pada Senin pagi. Anak-anak berlarian ke halaman sekolah.
Meski lupa memasukkan baju ke dalam celana atau rok, anak-anak harus mengikuti apel pagi. Jadi, pagi ini mereka harus bergegas ke sekolah.
“Tidak usah ke sekolah, kawan!” ujar Jemekos.
“Baiklah. Kita bagi tugas,” jawab Diabolus.
“Saya eksekutor,” kata Gonzales.
Tibalah saatnya tiga serangkai ini beraksi. Gonzales lihai mencungkil grendel peti. Dia tahu seluk-beluk meninggalkan jejak paku dan parang.
Diabolus hebat mengelabui dalam senyap, sedangkan Jemekos memantau kompleks asrama.
Formasi ketiganya lengkap. Masing-masing punya peran dan keahlian.
Singkat cerita koja dan latung cero berhasil diambil. Raib sekejap. Di peti trada sisa.
Beberapa jam kemudian, Inigos kaget setengah mati. Dia marah besar.
Tapi seluruh penghuni asrama diam seribu bahasa.
Lalu dia mendobrak meja makan. Membanting apa saja di depan mata. Menendang sejumlah peti, tikar, dan sepatu.
Adik-adik kelas ketakutan. Kawan-kawan sekelas malas tahu.
Tapi tiga serangkai ini saling memberi kode. Tanpa ekspresi. Ditahan. Jangan sampai ketahuan.
Beberapa waktu kemudian, selepas doa sore di gereja, mereka berkumpul di halaman asrama. Mereka bermain gitar, bernyanyi, diskusi sharing pengalaman beserta mimpi-mimpinya.
Inilah saatnya Gonzalez, Diabolus, dan Jemekos mengakui perbuatannya. Saat yang sama, Inigos menyadari bahwa dia dikerjai tiga kawannya tadi.
Jahil memang, tapi begitulah adanya. Mereka lantas baku rangkul. Baku olok dan baku maaf.
Inigos kemudian merelakan kehilangan oleh-olehnya itu. Kacang tanah dan jagung boleh habis. Mereka su jadi tai.
Tapi, torehan persaudaraan, kerendahan hati, dan refleksi terjelma di sini. Membekas.
Kisah di atas tiba-tiba muncul begitu saja, ketika saya melintas di depan asrama SMPK St. Stefanus Ketang. Saat itu hendak pergi misa di gereja.
Itu merupakan satu dari bejibun cerita masa silam di asrama ini. Ada banyak, tapi saya hanya menulis kisah itu.
Tentu ceritanya tak persis sama. Hanya diracik sedemikian rupa. Biar enak dan memikat.
Bahwasannya kejadian semacam itu, pernah atau sering dialami anak-anak asrama. Meski dengan versi berbeda, kejahilan tak luput dari mereka. Itulah rupa-rupa kehidupan.
Tinggal di asrama memang punya warna tersendiri. Anak-anak dilatih hidup sederhana, disiplin, rajin, solider, tekun, loyal, dan tabah.
Mereka benar-benar ditempa agar lebih peka pada kehidupan sosial.
Anak-anak yang masih lugu dan manja, kelak segera berubah ketika sudah di asrama.
Atap asrama, aturan, berkomunitas, tempat tidur bertingkat, belajar sore, kerja sore, misa pagi, nonton bareng, dan segalanya, mempersatukan anak-anak dari berbagai latar belakang ekonomi.
Mereka betul-betul dilatih untuk "mati raga" dan bukan mati rasa. Makanannya bukan empat sehat lima sempurna, melainkan empat sehat lima kenyang.
Hal-hal kecil yang luput dari didikan orangtua, boleh jadi ditempa di sana. Anak-anak betul-betul dibina dengan disiplin yang ketat.
Mereka belajar, tidak hanya ilmu pengetahuan, tetapi juga banyak hal.
Saya yakin, orang-orang yang pernah tinggal di asrama sependapat dengan saya. Bahkan lebih dari apa yang saya sebutkan tadi.
Asrama memang salah satu ciri khas didikan pendidikan Katolik di Pulau Flores. Asrama SMP Ketang salah satunya.
Zaman saya, SMP Ketang identik dengan Pater Thomas Krump, SVD. Pun sebaliknya.
Dan pendidikan Katolik adalah pendidikan ala Barat. Kesemua itu berkat jasa misionaris Barat, yang menjejak sejak awal abad ke-20 di Congkasae.
Tak hanya seminari dengan keunikan dan kekhasannya, tetapi juga sekolah-sekolah swasta Katolik lainnya. Memang beda. Di kota maupun desa terpencil.
Biasanya anak-anak asrama punya seorang pembina. Umumnya guru berpengalaman. Atau frater yang menjalani masa tahun orientasi pastoral (TOP), dan suster-suster untuk asrama putri.
Dalam kehidupan berasrama, banyak hal didapat. Kebersamaan, kekompakan, kejujuran, solidaritas dan rasa sosial, serta menjunjung tinggi kedisiplinan.
Itu juga terbentuk dengan sendirinya, seiring pertumbuhan dan kematangan usia remaja.
Maka, tidak mengherankan ikatan batin dan jalinan kekerabatan mengakar kuat di sanubari alumni.
Betapa tidak, semua kegiatan dilakukan bersama-sama. Mulai dari belajar, kerja, doa, hingga pesiar atau jalan-jalan sekadar pacaran. []
#2025
2 komentar untuk "Kisah kecil di asrama itu"