Noken Papua

Noken
Noken adalah tas tradisional orang Papua yang diakui dunia melalui UNESCO pada 4 Desember 2012. - Dokpri

Kemana-mana saya membawa noken. Ke gereja atau jalan-jalan. Saya selalu membawanya. 

Di dalamnya saya isi ponsel, rokok dan korek. Kadang-kadang buku bacaan atau notes dan pulpen. Pokoknya kemana-mana saya membawa noken.

Tentu alasan saya membawa noken adalah keunikannya. Noken terbuat dari kulit kayu pilihan. Dianyam dari tangan-tangan terampil penuh seni mama-mama Papua. 

Selain itu, noken mengingatkan saya pada suka-duka dan nostalgia tak bertepi tentang Tanah Papua.

Yang lebih lagi, noken sudah ditetapkan sebagai warisan dunia tak benda dari Papua oleh UNESCO, 4 Desember 2012.

Dinding laman media sosial atau medsos milik saya, tiap 4 Desember dipenuhi frasa ucapan, ajakan dan imbauan tentang noken.

Ada juga yang mengunggah foto beserta keterangannya. Tentu soal ajakan dan imbauan untuk menghormati dan menjaga noken.

Meski demikian, tak bisa ditampik juga ada yang sekadar "rame-rame" biar terlihat "wah".

Beberapa ucapan itu, di antaranya; “Ini sa pu noken, mana ko punya? I love noken, save mama. Selamat hari noken sedunia.”

Ucapan Selamat Hari Noken merujuk pada tanggal pengakuan, dan penetapan karya kreatif mama-mama Papua ini oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan PBB atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), 4 Desember 2012 di Prancis.

Ketika itu dunia melalui badan ini mencatat noken sebagai warisan budaya takbenda dari Papua. 

Pengakuan tersebut terwujud setelah empat tahun Titus Christ Pekey dari Lembaga Ekologi Papua, berjuang ekstra keras mendaftarkan noken ini.

Perjuangan yang tidak mudah berbuah kepuasan batin dan kebanggaan, serta semangat dan rasa memiliki (sense of belonging).

Bahwasannya karya-karya tangan terampil dan ide-ide cemerlang yang tercipta melalui noken, diakui dunia melalui UNESCO.

Noken adalah tas tradisional orang Papua. Noken juga dimodifikasi menjadi gelang, sepatu noken, dan penutup kepala.

Bahan baku pembuatan noken berasal dari serat kulit kayu atau anggrek hutan. Setelah dikeringkan dan menjadi semacam benang, mama-mama membuat noken dengan berbagai bentuk.

Sebagai semacam tas tradisional, fungsinya bermacam-macam. Sesuai kebutuhan saja. 

Masyarakat adat Papua di tiap wilayah adat juga menggunakannya sesuai kondisi dan filosofi setempat.

Ada yang menggunakannya untuk menyimpan hasil buruan, hasil-hasil kebun, menggendong bayi, dan sirih-pinang.

Saya senang menggunakan noken. Saat ke kampus sewaktu kuliah di Jayapura, Papua, kami biasa menyimpan buku, balpoin, rokok, pinang, ponsel, bahkan laptop di noken. Itu karena noken lebih praktis. Jadi, tas kami adalah noken.

Ketika melakukan kerja jurnalistik, perjalanan keluar rumah, dan momen-momen lainnya noken bahkan menjadi teman perjalanan.

Kawan-kawan saya di luar Papua, kerap meminta oleh-oleh atau cenderamata dari Papua yang khas dan unik. Saya menyarankan noken sebab mudah saya jelaskan. Lebih praktis lagi.

Selain sudah didaftar UNESCO, juga sering dicatat dan masuk Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI).

Bulan Oktober 2013 sebanyak 652 noken dibuat oleh 350 mama Papua berhasil menyabet rekor MURI. Manajer MURI ketika itu menyebutkan, noken memenuhi empat kriteria. Diantaranya, unik, paling atau ter dan langka.

Lalu pada peringatan hari ulang tahun Kemerdekaan RI tahun 2016, noken sepanjang 15 meter dan lebar 10 meter yang dibuat mama-mama di Kampung Homfolo, Distrik Ebungfauw, Kabupaten Jayapura dicatat MURI. Konon noken sebesar itu dibuat selama sebulan.

Dilaporkan tribunnews.com, 13 Juni 2015, pengunjung pameran Papua Week di ASEAN-Japan Center, Tokyo, Jepang tertarik pada noken ini. Mereka bertanya-tanya tentang proses pembuatan dan bahan bakunya.

Tidak mudah memang membawa harta-budaya semacam noken ke meja dunia, dan mengakuinya sebagai warisan dunia. Tentu melalui kajian-kajian, penelitian dan segala tetek-bengeknya yang bersifat ilmiah, rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.

Menyambut Hari Noken, tak hanya sebatas ucapan dan euforia tiap 4 Desember di laman medsos, diskusi, pergelaran atau pameran. Lebih dari itu, ini adalah sebuah ajakan untuk berbuat.

Kita tentu diajak untuk menjaga kelestarian noken dengan aneka macam cara. Misalnya, kitong memakai noken tiap hari. Noken Papua memang beda.

Kitong juga bisa menanam pohon, yang bakal menjadi bahan baku pembuatan noken, dan tentu tidak membongkar hutan. Karena serat pohon pembuatan noken itu ada di hutan Papua.

Pemerintah daerah setempat juga harus peka terhadap hal ini, meski sudah ada aturan untuk memakai noken bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kita juga, terutama perempuan muda Papua, mesti belajar bagaimana menganyam noken. Ilmu atau keterampilan membuat noken juga harus ditransfer kepada anak cucu dan generasi selanjutnya. 

Jika tidak demikian, siapa yang mewariskannya nanti jika kitorang su mati?

Mari, kitorang jaga sama-sama harta pusaka ini. Kalo ko tra pake dan jaga noken, mulailah sekarang. Tidak ada kata terlambat selama kitorang masih bernafas bebas di dunia ini. 

Ko tra kosong kalo ko jaga ko pu nenek moyang pu warisan. []

#2025

Posting Komentar untuk "Noken Papua"