
Performa SMPK St. Stefanus Ketang dalam menyambut imam baru di Lentang, 2 November 2025. - Dokpri.
Tuang kelima dengan keunikannya. Sebenarnya bukan keunikan imam baru, Reverendus Pater Fabianus Nanto, MI, yang mau diulik. Bukan pula keunikan imamatnya. Lalu apa?

Tulisan ini dikumpulkan dari fakta demi fakta yang direfleksi kembali. Sebelum menulis catatan ringan ini, dua pertanyaan menggugah refleksi saya. Apa dan mengapa tulisan ini dibuat?
Barangkali catatan renyah ini hanya “sebagai kenangan akan daku”. Atau sekadar merekam peristiwa menarik untuk ditulis dan dipublikasikan.
Saya menulisnya dengan judul yang tidak biasa. Tentang “yang unik”. Bukan momennya–bukan haru biru situasi penjemputan, upacara adat dan misa syukur.
Mengapa? Semua itu sudah berlalu. Sudah diabadikan dalam lensa kamera ponsel pintar tiap orang dan dipublikasikan lewat media sosialnya.
Saya lalu berpikir begini: minimal kelak tulisan ini sesuai standar jurnalisme. Nilai sebuah berita tergantung kebaruan, kehebohan, keunikan, ketokohan, kedekatan–emosional dan jarak, dan seksualitas.
Saya mengambil satu dari enam nilai itu, unik atau langka.
Artikel sebelumya, tentang imam baru dari Kampung Lentang, ditulis dengan sudut pandang saya. Ditulis dari dalam. Tuang pertama, Pater Iwan, SVD, Tuang Rio, SVD, Tuang Sidus, MI, dan Tuang Jefri atau Save, MI.
Dan kini, saya membutuhkan beberapa hari lamanya, untuk merefleksikan kembali momen haru penjemputan dan misa syukur sang anak yang lahir dari rahim Kampung Lentang itu.
Memang “masing-masing dengan tiap-tiap”. Punya keunikan masing-masing. Dari tuang (pater) pertama hingga kelima.
Persis tuang kelima ini, hemat saya, punya lima keunikan, yang kelak menjadi catatan sejarah.

Prosesi penjemputan imam baru di Lentang, 2 November 2025. - Dokpri
Pertama-tama Pater Fabi tidak langsung dijemput warga menuju Kampung Lentang. Penjemputan dua imam baru dari ordo Kamilian, Pater Fabi dan Pater Marsel dari Pahar, memang di-handle panitia paroki.
Keduanya diarak dari Stasi Lagur menuju aula Thomas Krump di Ketang, Paroki Rejeng-Ketang pada 29 Oktober 2025.
Butuh empat hari lagi untuk menjemput Pater Fabi oleh warga Gendang Lentang. Kelihatannya sunyi tanpa keterlibatan penuh warga Gendang Lentang.
Tapi itu sudah “protokolnya”. Tiap imam baru di-handle paroki meski tidak menutup peran keluarga dan pa'ang ngaung.
Pater Fabi terlebih dahulu mengikuti misa bersama konfraternya, Pater Marsel, di Kampung Pahar, Stasi Gelong, 1 November 2025. Keesokan harinya, Minggu, 2 November 2025, beliau baru dijemput di perempatan Ketang menuju Gendang Lentang.
Sengatan mentari menghantam kepala pada Minggu, siang itu. Semua warga yang berkemeja putih, kain songke dan destar, tetap bersemangat.
Iringan yel-yel dan nyanyian tradisional mengarak beliau pada jarak sekitar sekilo atau dua kilo. Penjemputan didahului ritual tuak curu dan tuak kapu dan penyerahan imam baru dari paroki ke gendang.
Sementara itu, tarian tiba meka (terima tamu) siswa SMPK St. Stefanus Ketang di perempatan Ketang dan tarian SMAK St. Stefanus Ketang di natas Lentang, menambah keriuhan prosesi penjemputan.
Kedua, persiapan panitia hanya sebulan. Bahkan, barangkali dua minggu saja. Ketua panitia, Alfons Jekaut, harus bekerja keras untuk menyukseskan rangkaian kegiatan ini.
Panitia, keluarga dan pa’ang olo ngaung musi Gendang Lentang bergerak–meminjam istilah TNI/Polri, cepat dan terukur. Bikin rencana anggaran, buat proposal untuk donatur, dan lain-lain.
Apalagi, upacara ini berbarengan dengan pembangunan rumah gendang. Dan akhirnya, Puji Tuhan, selesai sudah. Panitia yang dipimpin Pak Alfons, sukses memimpin kegiatan menyambut sang anak bara wua tuka.
Ketiga, beliau ditahbiskan, dijemput, dan misa syukur saat pembangunan rumah gendang Kampung Lentang. Rumah adat ini belum selesai.
Meski demikian, imam baru tetap diterima di rumah gendang—rumah kecil penyimpan benda-benda adat dekat compang, di depan rumah induk yang sedang dibangun itu.
Dia dijemput warga, dan tidak diarahkan ke rumah adat atau mbaru gendang. Melainkan ke rumah kecil ini. Upacara adat—ritual teing hang kolang dan lain-lainnya, digelar di sini.
Rumah kecil itu adalah pengganti rumah gendang. Atau rumah adat sementara.
Gong, gendang, langkar, dan atribut adat kampung Lentang lainnya, di simpan di sini. Rumah ini kecil tapi sebuah simbol. Kecil tapi besar. Less is more.

Biodata imam baru. - Dok. Panitia
Keempat, berilah aku minum. Moto ini mengingatkan saya pada kondisi kampung Lentang yang krisis air. Sebenarnya air melimpah, tapi begitu sudah. Melimpah tapi kurang.
Moto sang imam baru dikutip dari perikop Yoh 4: 7. Dalam refleksinya, Pater Fabi menulis, Tuhan adalah sumber mata air yang hidup, sumber kehidupan rohani yang kekal dan pemuas dahaga bagi jiwa yang haus.
“Meminum Air Hidup juga menuntut saya membangun persekutuan terus-menerus dengan sumber-Nya, yakni Yesus Kristus sendiri. Dialah sumber kekuatan dan benteng pertahanan bagiku dalam tugas penggembalaan. Manakala suatu waktu semangatku mulai goyah, letih dan patah serta beban yang terlampau batas bisaku, aku akan berkata kepada Tuhan, berikan aku minum,” demikian refleksinya pada misa syukur.
Dia bercerita, ketika masih kecil sang nenek (maksudnya kakek) menyuruhnya untuk keluar rumah pada malam hari. Sang nenek memberinya air. Dia kemudian menyuruh cucunya ini untuk meminum air itu agar tidak ada rasa takut.
Tidak ada mantra atau jampi-jampi. Hanya air biasa.
“Dulu saya tidak mengerti kekuatan apa yang ada di balik air itu, juga tidak mengetahui makna dibaliknya. Karena memang nenek tidak menjelaskan maksud dan tujuan dari air itu. Setelah saya merenungkan ternyata Air yang nenek berikan mempunyai daya kekuatannya sendiri. Saya yang meminum air itu merasa terlindungi dan berani untuk melangkah. Selain itu, nenek memberikan airnya berarti nenek menguatkan saya. Pergilah (minumlah air ini) aku menyertaimu.”
Moto “Berilah aku Minum” juga sedianya menjadi saluran berkat bagi sesama di tempat pelayanannya.
Kelima, tiada hujan. Lena ngkewang. Padahal ini memasuki musim penghujan. Tapi panas pica di kepala saat penjemputan sang imam baru.
Begitu pula saat misa. Berbeda dengan penjemputan empat imam baru tahun-tahun sebelumnya. Kali ini tidak.
Memang hujan pica setelah penjemputan, malam itu. Tapi itu saja. Besoknya, saat misa, trada. Bisa jadi kode alam—sesuai moto tadi, bisa jadi tidak. Tapi begitulah yang terjadi.
Terlepas dari semua yang disebutkan di atas tadi, tulisan ini sedianya menjadi pengingat, bahwa Rahmat Tuhan selalu turun atas warga keturunan Empo Ngara Waem Rani di Lentang.
Imam baru dari rahim Gendang Lentang ini, sedianya menjadi penyejuk jiwa yang berkelana dan penyalur berkat bagi sesama. Terutama di tanah misi.
Kita, tentu saja, tak hanya berhenti di momen yang mengharu biru akhir Oktober dan awal November tahun ini. Lebih dari itu, sekiranya doa-doa kita menyertai para imam. Agar mereka tidak “sala lampa ceot wejong”. Bersambung. []
#2025
Timoteus Rosario Marten
Posting Komentar untuk " Tuang kelima dengan keunikannya (1/2)"