Catatan kecil untuk Pater Sap

pater sap cicm
Pater Saf CICIM. - Foto facebook

Suatu ketika di tahun 2020 atau sekitarnya–saya lupa, saya bertemu dia. Kebetulan cerita-cerita di salah satu rumah, di Kampung Lamba, Desa Ketang, Kecamatan Lelak, Manggarai, Pulau Flores

Kebetulan waktu itu dia libur. Dan kebetulan juga dia bertamu di rumah, yang saya kunjungi itu.


Kami cerita panjang-lebar. Rupanya tak sampai setengah jam. Tapi cukup berkesan untuk sebuah pertemuan “teman lama adik-kakak”.


Penampilannya seperti biasa. Tak berubah sejak SD. Santai tapi asyik. Sederhana tapi elegan. Sopan dan menawan. 


Itulah dia. Lelaki berpostur tegap, yang merendah. Pria berkaca mata dengan rambut ikal. Dan kulit hitam-manis yang religius.


Namanya Fransiskus Xaverius Gambur, 35 tahun. Dipanggil Sap atau Saf.


Setelah pertemuan kala itu, beberapa waktu lalu, kami mendengar kabar, bahwa Sap akan ditahbiskan menjadi imam. 


Tentu terharu. Bahagia. Karena daftar imam, biarawan/ti di paroki kami, Paroki Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga Rejeng-Ketang, akan bertambah. Sekitar 30-an atau lebih.


Sejak beberapa bulan lalu, riuh rendah memenuhi Kampung Lamba dan sekitarnya. Persiapan sana-sini. Jalanan dipasang umbul-umbul, janur, dan baliho. 


Hingga tibalah hari penjemputan dan suasana menjelang misa sulung, serta pertunjukan caci pada 21-23 Agustus 2024.


Kini, anak ketiga dari empat bersaudara itu, pulang kampung dengan status baru. Dia adalah imam baru. Imam dari Kongregasi Hati Suci Santa Perawan Maria atau Congregatio Immaculata Cordis Mariae (CICM). Sehingga namanya menjadi Reverendus Pater Fransiskus Xaverius Gambur, CICM.


Dia akan menjadi imam kedua di Kampung Lamba, setelah RD Yuvens Rugi.


Pertunjukan caci dan tarian tradisional lainnya menyambut dia. Tarian sanda disertai tabuhan gong dan gendang. Atau lagu-lagu tradisional lainnya beserta lagu-lagu gereja. Semuanya membahana di Kampung Lamba. 


Namun, nyanyian dan musik bahagia itu seketika menjadi “kolam air mata”. Ribuan pasang mata sembab.


Tangisan haru dan arak-arakan bahagia, menjadi duka mendalam. Bahkan secara manusia, sulit diterima. 


Nyanyian itu kini menjadi tangisan. Ratapan. Kenangan. Bahkan akan menjadi cerita turun-temurun tentangnya. 


Betapa tidak, setelah misa sulung di Kampung Lamba, 23 Agustus lalu, dia jatuh sakit. Sebulan lebih masih sakit, hingga dirawat di RS Siloam Labuan Bajo. 


Tak ada kabar selama beliau dirawat di sana. Tapi tiba-tiba kabar beredar begitu cepat melalui media sosial pada Kamis siang, 10 Oktober 2024. Bahwa Pater Sap CICM, yang suasana haru atas misa syukurnya belum sirna itu, kini meninggal dunia. Dia meninggal dunia di RS Siloam Labuan Bajo.


Padahal misa perdana baru saja dan haru biru bahagia, masih terasa sejak 23 Agustus 2024. Misa perdana itu seketika menjadi misa terakhir. 


Sungguh, misteri Allah tak terpahami. Maut memang tak mampu dilawan. Kita hanya pasrah pada Penyelenggaraan Yang Ilahi.


Sebenarnya kami ingin mendengar ceritanya lagi. Cerita singkat, atau panjang-lebar. Kisah kasih atau keluh kesah.


Kisah tawa atau sedihnya. Kisah manis atau pahitnya. Tentang tana misi dan masa studi di benua Afrika–tepatnya di Republik Demokratik Kongo. Tentang studi dan kursus bahasa Inggris di Filipina. 


Kami ingin mendengar ceritanya lagi–tentang masa studi sebagai mahasiswa filosofan di Jakarta. Tentang tahun rohani di Makassar, Sulawesi Selatan. Tentang Kisol sebagai seminaris muda. Dan tentang masa kecil di SDK Lamba-Ketang.


Dan barangkali tentang umat yang dia layani di Afrika. Yang menanti kepulangannya dari kampung halaman di Lamba–Kuni Agu Kalo.


Tapi, setelah ditahbiskan, dan misa perdana, dan menjumpai sanak keluarga di kampung halaman, bukan tanah misi yang dia tuju. Malah belok arah.


Dia ke Tanah Air Abadi. Pater Sap kemudian dimakamkan di Lamba.


Pater Sap pergi dengan usia yang begitu muda. Beristirahatlah dalam damai, Ase


Tulisan ini, hanya sebuah catatan kecil, tentang air mata yang tak tertumpahkan. Tentang duka dan doa yang tak sempat terungkap di depan raga yang terbujur kaku. Tentang sebuah kebahagian, yang secepat kilat menjadi duka lara. Tentang sebuah cerita yang nanti terus dikenang warga sekampung, paroki, ordo, dan barangkali umat Katolik sejagat.


Akhirnya, selamat jalan ke Tanah Air Abadi. Perkenankan saya mengutip nukilan, yang saya kutip dari kutipan catatan harian penulis dan aktivis Soe Hok Gie dari Wikipedia:

Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” []


#Gelora malam yang sunyi, 10/10/24

Tulisan ini sebelumnya saya publish di facebook, dengan editan seperlunya

Posting Komentar untuk "Catatan kecil untuk Pater Sap"