![]() |
Sunrise di atas bentangan awan di Papua. Difoto dari jendela pesawat pada 28 Maret 2014. - Dokpri |
Kupang mendengungkan rasa. Rasa rindu tuk berpulang pada kenangan.
Ya, Kupang di sini dan kupang di sana—dua tempat dalam dua wilayah administrasi berbeda.
Dalam kehidupan sehari-hari kitorang berbeda. Tapi dalam perbedaan kitorang harus mencari persamaan. Cita-cita misalnya. Atau arah matahari. Dan kedamaian, barangkali.
Bukan barang-barang kali. Seperti mop dari Kaka Yauw Wally, suatu sore.
Sa mengubahnya ke versi saya. Tentu tak mengubah substansi.
"Obeth, ko bikin kalimat dengan barangkali dolo," kata Bu Guru.
"Kaka Timo menulis tentang kupang. Barangkali de rindu kampung ka."
"Mantap!!" Teriak kawan-kawannya.
"Ko sudah Yaklep, bikin kalimat dengan barangkali," kata Bu Guru lagi.
"Batu, pasir, udang dan ikan adalah barang-barang kali." Satu kelas ketawa pica.
Itulah mati ketawa ala Republik Mop.
Mop adalah pariwara. Juga kelakar. Melucu. Menertawakan kenyataan, yang kadang lucu.
Kadang realitas yang tra bisa disingkap, hanya bermetamorfosis jadi kupu-kupu nan lucu. Upssss!
Ai mama e, su nyaris melebar ini cari angin a.k.a catatan ringan angin-anginan. Tentang kupang.
Mulai dari sekilas kupang yang membekas, hingga Kupang di Timor.
Kupang kerap disebut Kota Karang. Mama kota dari Nusa Tuak dan Nusa Tenun.
Ia, mama dari 1.192 pulau—yang sekira 760 pulau belum ada nama.
Kota ini berada di Teluk Kupang, barat daya Pulau Timor. Bagian timur pulau cendana ini adalah Distrik Lospalos, Timor Leste.
Kupang berasal dari nama raja La Koepan, tiga ribuan tahun sebelum Portugis datang.
Belanda datang setelah usir Portugis. Mereka merebut cendana yang semerbak harumnya hingga Benua Biru. Dorang usir Portugis hingga kuasai The Sunset-nya Timor, dan Portugis di Sunrise.
Belanda dorang sebut ini kota jadi Koepan. Hingga disebut Koepang dan kini jadi Kupang.
![]() |
View sunset di Pantai Lasiana, Kupang, NTT. - RRI.co.id/Dok: Febriana Arum |
Kira-kira begitu sepintas terlintas di memori kepala, tentang Kupang. Yang ada Pante Oesapa, Tablolong, dan Pante Lasiananya. Juga tempat mandi-mandi di Gua Kristal.
Kalo lu son percaya, dan masih penasaran, "pi tanya Marten dan Ursula sana," kata Abdur Arsyad, Runner Up SUCI 4 Kompas TV.
Ursula pasti su potong poni. Lagian, di tana aer beta su ini musim bapesta, bagoyang dan badansa.
Trus kupang yang ini? Dia akronim dari kursi panjang. Atau bangku panjang.
Disebut bangku panjang, karena di sini terdapat tembok yang dibangun memanjang. Sepanjang garis pantai, sepanjang jalan kenangan, selaksa kisah kasih.
Di sini ada tangga-tangga rumah tangga. Eh, maksudnya tangga untuk duduk bersama-sama, sambil bercengkrama dengan lautan, pasir cokelat, dan kopi yang diseduh penjaja jalanan.
Kupang merupakan tempat bagi masyarakat Kota Jayapura, Papua, menikmati akhir pekan. Termasuk sa yang lagi tulis catatan ringan ini.
Sa menulis catatan ini, sembari bersiul. Bernyanyi-ria. Sepanjang jalan kenangan seperti lagu lawas.
Kupang ada di Jalan Soa-Siu. Di Pantai Dok 2; tepat di depan kantor gubernur Papua.
Berada di jantung Kota Jayapura, membuat kupang sangat strategis.
Diakses sekira satu jam saja dari Distrik Abepura. Atau dua jam dari Bandara Sentani.
Maka, pantas kawasan kupang ini ramai saban pekan. Malah jadi tempat wisata di tengah kota.
Ingat: kupang, kursi panjang atau bangku panjang. Bukan kupangku, atau sa pangku ko nona. Ato de yang pangku-pangku ko, lalu ko maen petak umpet.
Duduk berlama-lama di kupang, sambil makan pinang, jagung rebus, kacang tanah, dan minum kopi sembari menatap kampung Kayu Pulo, Enggros-Tobati dan negara Papua Nugini di depan sana, merupakan ketenangan tersendiri di akhir pekan. Tenang dan hening meski kendaraan lalu-lalang di tepi lautan. Toh dua pelukan melekat jadi satu kata titik-titik.
![]() |
Jayapura di waktu malam. - Facebook/Engel Wally |
Sedangkan Kampung Enggros, Tobati, Kayu Pulau, berdiri teduh di tengah lautan. Menadah derasnya arus perkembangan zaman dan badai global, Samudera Pasifik.
Pada zaman dahulu Dok 2 dan Holandia umumnya, adalah pelabuhan sentral di kawasan Pasifik. Jadi pangkalan sekutu di bawah pimpinan Jenderal MacArthur dari Amerika, saat Perang Pasifik atau Perang Dunia II tahun 1942 sampai 1945.
Ada deretan nama Dok 2, Dok 5, Dok 8 dan Dok 9 di Kota Holandia Jayapura, sedangkan dok-dok lainnya di Papua Nugini.
Jauh sebelum pasukan sekutu datang, dan memukul mundur tentara Jepang, Spanyol dan Belanda sudah menjejakkan sauhnya di tanah ini. Kira-kira awal abad ke-16.
Portugis melanjutkan pelayaran usai singgah dari Tidore, menuju Amerika Selatan, Amerika Latin—tanah harapan milik sejumlah bintang lapangan hijau di layar kaca.
Belanda lantas menjejakkan kaki dan menanamkan peradaban, hingga misi Kekristenan di sini.
Lantas menjadikan negara Papua–yang direbut Soekarno melalui Operasi Trikora, hingga Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Ya, itulah sekilas tentang kupang tadi. Di sini kupang di sana Kupang, di tengah-tengahnya ade nona.
Di sini Paparan Sahul di sana Paparan Sunda, di tengah-tengahnya Garis Wallace—Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku.
Menjejakkan kaki di kupang, berakhir pekan di kupang, adalah pengobat rasa: rindu berpulang. Pulang pada relung jiwa. Pulang pada kedamaian. Pulang pada beriman—bersih, indah dan nyaman. Pulang pada refleksi, kontemplasi, relaksasi—usai sepekan didera penat, lantaran dikejar tenggat waktu.
Di sini: di kupang—tatapan saya membentur deburan ombak, hingga temaram berpijar di Bukit Jayapura City. Memandang sejauh ke utara samudra kehidupan.
Ade nona bilang:
"Hatiku damai. Jiwaku tentram di sampingmu. Hatiku damai. Jiwaku tentram. Bersamamu."
Bah, itu lagu Kemesraan to Kaka Timo? Lagunya Om Frangky Sahilatua yang dinyanyikan Om Iwan Fals. Oh, sip yaaa.
Di sini, kano, kole-kole, dan biduk bertolak lebih jauh: menjala kehidupan. Dan Kupang tetap sepanjang jalan kenangan, di Hongkong Waktu Malam. []
#Timoteus Rosario Marten
Posting Komentar untuk "Kupang sepanjang jalan kenangan"