![]() |
Langit berkabut musim dureng. - Dokpri |
"Hujan, kau datang saat hati bertuan
Dan menghabiskan malam dengan angin
Titip saja salamku pada dia, penikmat keheningan
Dari ruang bertepi tempat kami menyepi."
Puisi ini, saya tulis di suatu waktu. Saya tak mengingat persis konteksnya.
Juga tidak berupaya mengingatnya setelah dibaca lagi. Toh, tidak terlalu penting.
Namun demikian, itu adalah perwakilan suasana batin. Lagu jiwa.
Saya kira, apa yang tertulis, adalah metamorfosis dari suara batin. Atau pun realitas di luar diri yang dibawa masuk, direfleksikan, dan diekspresikan.
Saya senang membaca puisi itu tadi. Terutama, karena merupakan salah satu, dari sejumlah coretan, saat dureng seperti sekarang.
Hujan, selain gejala alam, juga menyiratkan banyak makna bagi siapapun.
Suara hujan juga dijadikan pengantar meditasi dan kontemplasi.
Hujan juga bisa membangkitkan memori romantika dan harapan.
Dua sejoli, bisa saja berhujan-hujanan atau basah-basahan, bila dilanda asmara.
Semakin lebat itu hujan, semakin dunia milik berdua. Tak peduli apakah nanti demam atau banjir (bukan air mata).
Hujan juga dapat menjadikan seseorang semakin puitis, bijaksana dan religius.
Dalam hujan ada puisi. Ada juga wejangan dan harapan.
Ada ungkapan: "sedia payung sebelum hujan. Hujan emas di negeri orang hujan batu di negeri sendiri".
Tak sedikit juga orang membenci hujan. Karena bikin banjir, kegelapan, dan longsor, hingga kematian tragis. Bikin trauma.
Saya teringat kisah banjir bandang pada 16 Maret 2019 di Kabupaten Jayapura, Papua. Atau badai siklon tropis seroja pada pekan Paskah, April 2021, di Nusa Tenggara Timur.
Dan masih banyak lagi bencana alam di musim penghujan.
Hujan juga menjadi teman kegalauan. “Hujan deras di luar, tapi hujan banjir di hati.” Hacissss!
Kadang-kadang hujan juga menjadi berkat. Di daerah gersang atau padang tandus, air hujan adalah bala bantuan.
Kala terik membakar kulit di padang nan tandus, di situ rindu memuncak. Rinduku pada rintik-rintiknya.
Bak kuda yang meringkik-ringkik. Mencari mata air.
Bagai rusa merindukan air. Begitu jiwaku merindu kehadiran-Nya. Demikian kata pemazmur.
Kakimu yang berdebu, kasut berdekil, matamu yang kelilipan, hampir pasti membutuhkan hujan walau setitik. Meski "hujan jatuh ke pasir".
Hujan juga menjadi kiasan pada saat-saat tertentu. Hujan air mata, misalnya.
“Hujan air mata dari pelosok negeri. Saat melepas engkau pergi…,” demikian Om Iwan Fals mengenang Bung Hatta.
Hujan bahkan menjadi puisi. Seperti pada pembuka catatan ringan ini.
Bahkan ada novel (2015) –puisi–karya sastrawan Sapardi Djoko Damono dengan judul Hujan Bulan Juni. Sudah difilmkan dan dibintangi Velove Vexia dan Adipati Dolken itu.
Film itu, dengan romantisme dan penantian panjang antara Manado, Solo, dan Jepang. Yang kemudian bertemu dalam waktu.
Bak kidung Raja Salomo: semua indah pada waktunya.
Atau dalam November Rain-nya Guns N’ Roses:
“Karena tak ada yang abadi. Kita berdua tahu hati bisa berubah. Dan sulit menjaga. Lilin tetap menyala. Di musim hujan bulan November yang dingin.”
Masih banyak hal-hal puitis, dan karya sastra, atau tulisan apa saja, yang mungkin terinspirasi dari hujan atau terkait hujan. Celotehan ini, misalnya.
Tentu tak bisa disebutkan satu per satu. Tengok saja etalase toko-toko buku, perpustakaan, dan internet.
Ada juga istilah hujan peluru— diberondong peluru, hujan caci maki, hujan rajaman, hujan abu, hujan batu, atau hujan tinju.
Hujan bisa dibenci, dirindu, dan ditolak karena dianggap sialan. Maka tiap suku bangsa punya semacam keyakinan dan tradisi menolak atau menghentikan hujan.
Misalnya toka dalam tradisi Manggarai. Biasanya menggunakan media rokok.
Semakin mengepul atau semakin asap membumbung ke langit, kemungkinan besar hujan “ketakutan”.
Saya jadi teringat nyanyian sewaktu masih kecil.
“Usang, usang one sua. Rewung, rewung one telu. Par panggang melo renggong meti tacik, kole le hau e usang.”
Terjemahannya:
“Hujan, hujan dua hari lalu. Awan, awan tiga hari lalu. Matahari terbit, air laut jadi mengering maka kembalilah kau ke hulu, hai hujan.”
Tiap insan memaknai hujan secara berbeda-beda. Seturut konteks, budaya, dan sudut pandangnya.
Bahkan menjadi inspirasi.
Ada pelangi
Ada hari esok
Ini senandika
Kepada suara hati, kumau tumpahkan keluh dan kesah
Biarkan jadi kisah malam tak berbintang
Kalaulah boleh, besok kulihat lagi arunika di kaki langitmu
Hingga sandikala yang berseri-seri selepas hujan”
Itulah hujan. Tapi ini musim dureng. Dureng. Ya, dureng.
Sejak awal Januari, Manggarai memasuki musim dureng. Bahkan hingga saya menulis celotehan ini, medio Februari.
Hujan jatuh terus-menerus. Siang–malam. Pagi–sore.
Kadang-kadang disertai badai. Petir. Kilat. Dan akhirnya banjir.
Dureng, adalah musim hujan tanpa henti. Dureng membuat betah di rumah. Wigos melakukan perjalanan.
Tapi, orang-orang tua–para petani, orang-orang desa–saban hari tetap ke kebun.
Meski hujan menikam kepala, mereka setia dan tabah menahan “amarah langit”.
Mereka menerjang dureng. Demi anak-anak dan keluarga. Demi hari ini dan esok. “Demi kau dan si buah hati”.
Saya sudahi saja. Sembari membaca. Merajut kata, meracik rasa, seujud doa; Denting rima puisi dureng.
Sedianya langit berpelangi selepas hujan. Bianglala selepas dureng. Diringi doa yang melagu–dari ruang bertepi tempat kami menyepi. []
#2025
Posting Komentar untuk "Denting rima puisi dureng"