Tuang datang, usang menghilang (2/4)

tiga imam baru
Tiga imam baru dari Paroki Rejeng-Ketang, Reverendus Pater Saverinus Semaung, MI (kiri), Reverendus Pater Plasidus Sufansi, MI (tengah) dan Reverendus Pater Fabianus Son, MI (kanan) dikawal rombongan THS/THM saat penjemputan. - Dokpri/An Sehadun

Benediktus Patut tak mau sia-siakan waktu yang tersisa sebulan ke depan. Karenanya dia pun pontang-panting. 

Raut wajahnya masih tergores lelah. Sebab baru saja mengkoordinir panitia dan warga kampung dalam sebuah hajatan besar. Syukuran imam baru. 

Namun, hajatan itu sudah usai. Oktober tahun kemarin

Hajatan besar itu, telah dihelat dengan aneka cerita. Intinya warga kampung tersenyum lebar.

Meski terlihat guratan yang lelah, Benediktus tak mau agar hajatan kali ini gagal. Harus sukses seperti tahun-tahun kemarin. 

Paling tidak, itu harapannya. Karena Gendang Lentang menaruh harapan pada pundak dan kaki panitia yang dipimpin Benediktus.

Benediktus adalah pensiunan guru dan kepala sekolah. Dia sudah mengajar dan mengepalai beberapa sekolah menengah pertama, di Kecamatan Lelak, Kabupaten Manggarai. 

Namun, di tengah kesibukannya, pa’ang ngaung (warga kampung) mempercayakan bapak lima anak ini, untuk menakhodai panitia pesta syukuran imam baru. 

Terhitung sejak syukuran Pater Iwan, SVD, tahun 2020, Pater Rio, SVD, tahun 2024, dan kali ini dua imam baru–Pater Sidus, MI, dan Pater Save, MI

Maka ia tak mau sia-siakan kepercayaan dan waktu yang mepet ini. Kepercayaan memang mahal dan langka. 

Dan karena itu, tamatan pendidikan teologi Sekolah Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) St. Paulus Ruteng ini, mulai bergerak seperti pelor. 

Namun, tetap tepat sasaran. Yakni mengegolkan syukuran dua imam baru. 

Dikumpulkannya beberapa tokoh dan anak muda. Dari perwakilan tiap ame/panga/uku. Atau semacam klan atau kereth.

Ditambah personel beberapa seksi dari Paroki Rejeng. Seperti liturgi, paduan suara dari SMAN Lelak dan dekorasi.

Mereka akan gabung jurus menjadi panitia besar. Panitia syukuran dua imam baru pada Jumat, 31 Januari 2025.

Tiap seksi pun mulai bekerja sesuai tugas dan tanggung jawabnya. Mulai dari seksi liturgi, seksi dana, kemah, konsumsi hingga seksi acara, dekorasi, adat, penjemputan, dan seksi-seksi lainnya. 

Mereka, bersama pa’ang ngaung, berjibaku bersama hujan dan badai, akhir 2024 dan awal 2025.

Hujan jatuh tanpa ampun di awal Januari 2025. Pria humoris itu tak mau kalau panitia dan gendang terlelap dalam kedinginan. 

Cuaca memang tak bersahabat, tapi panitia mengejar deadline.

Hujan yang terus mengguyur Bumi Congkasae, bukanlah alasan bagi panitia dan pa’ang ngaung, untuk bekerja cepat, tepat, dan terstruktur.

"Acara dite ho’o tergantung uang,” katanya di hadapan anggota panitia di sekretariat panitia Natas Lentang, Minggu, 5 Januari 2025.

Dia hendak memastikan bahwa kesuksesan acara ini tergantung anggaran. Artinya, panitia harus jungkir balik. Kaki di kepala, kepala di kaki. Berakrobat.

Tiap kepala keluarga (KK) didatangi. Sekitar 250-an KK banyaknya. 

Ratusan KK ini diwajibkan untuk memberi sumbangan. Dana dan beras.

SEBUAH suara menggema dari balik pengeras suara di rumah gendang Lentang. Sedangkan hujan menampar tiap seng rumah. 

Pa’ang ngaung duduk melingkari lutur atau pendopo rumah gendang.

Sambil menikmati kopi dan rokok, warga yang “padir wai rentu sai” memusatkan perhatian pada sang ketua panitia.

“Jumlah kepala keluarga kita ini ada yang kurang dan ada yang bertambah tiap ame,” kata Benediktus.

Kemudian dia merinci jumlah kepala keluarga tiap ame dari keturunan Lentang, yang diwajibkan menyokong sumbangan. Ditambah pa’ang ngaung.

Wae Ngaso lau (keturunan Ema Lawang) sebanyak 51 KK, Wae Ngaso le sebanyak 33 KK, Wae Cucu le sejumlah 53 KK, Wae Cucu lau 31 KK, Wae One Reha 23 KK, Lela 15 KK dan Ara 20 KK. 

Sedangkan pa’ang ngaung 26 KK dan ase/kae Lamba 6 KK. 

Pa’ang ngaung merujuk pada warga dari gendang atau daerah lain, yang tinggal di tanah Gendang Lentang–dari Ka (Ketang), Golo Nderu, Golo Lando, Wae Gulang dan Wae Roku, hingga Rombang dan Watu Weri. 

Sedangkan ase/kae Lamba merujuk pada keturunan Empo Teka Wewam Toal, yang tinggal di Gendang Lentang. 

“Jadi, total KK ada 253,” kata Benediktus di depan sidang gendang.

Kecuali itu, panitia juga mengetuk pintu hati para donatur. Baik warga Gendang Lentang di perantauan, maupun tokoh-tokoh penting di kursi legislatif, eksekutif, dan swasta. 

Para donatur itu, tentu memiliki ikatan darah dan emosional dengan Lentang.

“Semua merapat ke natas Lentang. Wajib berpakaian putih, kain songke dan sapu (ikat kepala),” kata Benediktus, Kamis pagi, 30 Januari 2025.

penjemputan imam baru
Rombongan penjemputan imam baru. - Dokpri/An Sehadun

Sekonyong-konyong natas Lentang dipenuhi manusia berpakaian putih, songke dan sapu. Grup penari atau ronda dan warga lainnya.

Suara motor dan mobil meraung-raung, usai mendengar pengumuman melalui pengeras suara. Tak peduli rintik hujan yang terus berderai.

Iring-iringan motor dan mobil, sekira sekilo panjangnya. Disertai lagu-lagu tradisional dari grup danding dan lagu pop.

Iringan mobil dan motor tak terasa tiba di Wae Mese. Seperti biasa, jemputan imam baru dilakukan di sini. 

Jembatan Wae Mese merupakan wilayah perbatasan, Paroki Rejeng dengan Paroki Cancar. 

Di jembatan, tempat kita duduk. Jemputan perdana denganmu, anak Pater!”.

Ritual tuak curu pun dimulai. Tuak curu atau ritual penyambutan secara adat, dilakukan oleh Paroki. 

Meski keluarga dari tiga iman baru–Ruang dan Lentang, hadir, ritual tuak curu dilakukan oleh Paroki. 

Awan pekat menebal di angkasa. Membentang bagai permadani di langit Manggarai. Sesekali diselingi deraian gerimis.

Ada yang was-was. Jangan sampai hujan jatuh tanpa kompromi. 

Namun, ada yang berceletuk, “Empo Benggar sudah ‘menahan’ hujan.

Empo Benggar atau Empo Nggolong adalah leluhur orang Lentang dan Lamba. 

Menurut cerita tutur orang Lentang, Empo Benggar jatuh di jurang bernama Tengku Cireng. 

Banyak versi soal penyebab jatuhnya Empo Nggolong di jurang Tengku Cireng. Ada yang bilang didorong setan (jing). 

Namun, ada yang pasti bahwa dia jatuh di sini. Mayatnya tak ditemukan. 

Dia jatuh ketika istrinya sedang hamil.

Istrinya ini lantas hidup seorang diri, saat hamil, di kampung yang dikelilingi hutan lebat.

Sang mama kemudian melahirkan dan hidup bersama anaknya. 

Kelak anaknya ini dijadikan suami. Tapi didahului ritual adat. Dia mempersembahkan seekor babi kepada Jari Dedek.

Bahwa mulai saat ini, dia bukan lagi anak, melainkan suami. Karena itu dinamai Tuke.

Alasannya sederhana. Lengge manusia. Karena pada saat itu, di Lelak, mereka cuma hidup berdua. 

Mau meneruskan keturunan, tapi hanya ada dua manusia--ibu dan anak laki-lakinya itu. 

Agar keturunannya berkembang biak. Maka sang ibu mempersuami anak semata wayangnya. Anak ini kemudian dinamainya “Tuke”. 

Secara harfiah tuke artinya memanjat. Rona laing anak, wina laing ende

Sejak saat itu, Tuke menjadikan sang mama sebagai istri.

Dari Empo Tuke inilah lahir tiga anak, yang kemudian melahirkan keturunan orang Lamba di Desa Ketang dan Lentang di Desa Lentang. Namanya Ratus Makur, Teka Wewam Toal, dan Ngara Waem Rani.

Dua kakak-beradik melahirkan keturunan Kampung Lamba. Sedangkan si bungsu, Ngara Waem Rani, melahirkan keturunan Kampung Lentang.

Menurut tradisi lisan orang-orang tua, diceritakan dari masa ke masa, pada masa lalu Kerajaan Todo hendak menginvasi wilayah Lelak di bagian selatan.

Tapi, Empo Ngara Waem Rani berhasil mengusir pasukan raja, melalui perang tanding (rampas). 

Akhirnya, dibuat perbatasan dua wilayah. Gendang Lentang (Lelak) sampai di Wae Gulang–jalan trans-Flores Ruteng-Labuan Bajo, dengan wilayah Satar Mese di sebelahnya.

Bukit Golo Nosot pun dibelah dua. Satar Mese di selatan dan Lelak di utara, hingga Wae Gulang.

imam baru ketang
Imam baru bersama rombongan foto bersama Pastor Paroki Rejeng dan Dewan Paroki Rejeng di Aula Thomas Krump, SVD, Kamis (30/1/2025). - Dokpri/An Sehadun

Dua hari sebelum penjemputan, Selasa, 28 Januari 2025, perwakilan keturunan Wae Ngaso di Kampung Lentang, pergi ke jurang Tengku Cireng. 

Tujuannya untuk memberitahu kepada Empo Benggar atau Empo Nggolong. Bahwa keturunannya akan mengadakan hajatan besar. 

Mereka kemudian membersihkan kuburan Empo Benggar dan memberikan “tuak” kepadanya.

Benar saja sejak saat itu, hujan enggan membasahi tanah ini. Bahkan sejak Kamis pagi hingga sore.

Meski cuaca tak bisa diprediksi, kecuali BMKG, ada anggapan dan keyakinan, bahwa “leluhur orang Lentang (Empo Benggar) menghentikan hujan”.

Lebih dari itu, sebagai umat beriman, tentu tak bisa ditampik bahwa kita yakin ada campur tangan Tuhan di dalamnya. 

Hujan memang enggan berhenti Kamis pagi hingga sore. Begitu rombongan imam baru dan grup penjemputan tiba di rumah gendang dan kemah, hujan deras jatuh tanpa ampun semalaman. Bahkan hingga Jumat pagi, 31 Januari 2025.

Dua tuang dari rahim Gendang Lentang tiba, usang (hujan) pun enggan turun. Tuang datang, usang menghilang. Bersambung. [] 

#2025

Posting Komentar untuk "Tuang datang, usang menghilang (2/4)"