Terombang-ambing sampai ke seberang

terombang-ambing di laut lepas
  • Pixabay

Rombongan perahu kawan-kawan tak mampu mengejarku. Ombak yang ganas dan amukan angin selatan membuat mereka memutar kemudi.

Aku terus berteriak minta tolong, tapi mataku tak dapat lagi melihat mereka. Hanya kawanan ikan yang terus mengiringku. 

Ada ikan seukuran biawak, ikan sedang, dan ada juga laksana jari kelingking.

Ikan-ikan ini seolah menyambutku. Mereka berenang riang. Seolah di tengah-tengah mereka saat ini adalah santapan lezat. 

Aku melihat mereka begitu meliuk-liuk. Akrobatik. Ada yang panjangnya dua kali panjang rumah rakitku. Ada yang mulutnya bagai gergaji. Giginya tajam.

Kukenal dari postur dan struktur tubuhnya, hiu rupanya. Dia yang terbesar. 

Bagai raja samudra, ia dikawal ikan-ikan kecil dan sedang. Ada pari, cakalang, dan jenis lainnya. 

Bagaimana kalau mereka memakanku? Apakah Aku selamat? Jika Aku tidak selamat akankah mayatku ditemukan atau malah terapung bersama rakitku?

Kadang-kadang mereka berenang pelan. Sepelan laju rumah rakit yang digoyang gelombang sedang. Sesekali mengamuk kala rakit semakin melaju ganas. 

Entah kemana Aku berlabuh. Pikirku. Sauh yang mesra memeluk pengakit rakit resmi berpisah. 

Tiada pesan. Tiada kompromi. Bahkan saat Aku terlelap oleh karena lelah. Aku kini di sini. Di tengah lautan luas.

Ini bukan gaya hidup. Bukan menghamburkan duit. 

Tapi… Aku mencari hidup dan kehidupan. Nasib membawaku ke sini. 

Di sini tiada pulau terlihat. Tiada daratan. Tiada burung camar dan kawanan burung lainnya. 

Tiada pelangi. Biru langit dan laut telah menyatu. 

Benar-benar aku sendiri di sini. Hanya berteman dengan kompor, lampu, karung beras, korek api, dan kawanan ikan.

Rumah ini tak sampai dua meter panjangnya. Atapnya juga demikian. Aku di dalamnya. 

Aku juga tak tahu ini lautan apa. Tapi pernah kulihat peta sewaktu di sekolah menengah. 

Semakin ke utara tanah airku, semakin terlihat lautan luas. Inilah lautan pasifik. Rumah bagi hiu yang ganas.

Aku harus tetap tenang. Dan tetap tenang menghadap haribaan Sang Khalik. Menunduk khusyuk dalam belaian mesra sang ombak.

Bapa kami yang ada di surga. Dimuliakanlah nama-Mu. Datanglah Kerajaanmu. Jadilah kehendak-Mu.”

Sedang Aku melantun puja-puji, ombak ganas menghantam ragaku. Aku terpelanting memeluk rakit.

Kecemasan terus bertambah. Harapan kian menipis. Entah sampai kapan laut ini memangku dan membawaku pergi jauh.

“Tuhan, jika Aku selamat dari sergapan binatang laut ini, izinkan mayatku menepi di daratan. Biarlah orang tua dan keluargaku mengubur secara layak menurut ritual leluhurku. Amin!”

Seujud doa ini kulantun pelan. Agak membuatku tenang. 

Tapi Aku tetap tidak bergerak. Jika Aku bergerak, maka ikan-ikan itu pasti berpesta pora.

Hari semakin gelap. Angin selatan semakin kencang. Pori-pori tubuhku semakin terbuka. Bulu roma berdiri tegak. 

Aku pun menyalakan api. Membetulkan kompor yang kubawa dari daratan. 

Ini sekadar menyangga angin dengan tubuh kerempeng, agar api mengusir malam dan angin. 

Tubuhku jadi hangat. Bulu roma kembali tidur. Pori-pori juga. 

Sementara ikan terus mengerumuni rumahku. Menyusuri hanyutan bersama cahaya api.

Aku membuka kitab suci. Kubaca penuh penghayatan. 

Saking khusyuknya, Aku tak melihat lagi perikop yang kubaca. Kubaca dan terus membaca. 

Hanya sebagian cerita yang menguatkanku. Petrus diselamatkan saat berlayar di danau Galilea. 

Imannya menyelamatkan dia. Imannya yang teguh bak karang ialah alasanku, untuk tetap tegar di tengah lautan ini meski sendirian. Ya, Petrus, Yesus, dan karang.

Di tengah ombak dan arus pencobaan, Hampir terhilang tujuan arah hidupku. Bagaikan kapal yang slalu diombang-ambingka. Mengharap kasih-Nya seolah-olah tiada mampu.”

Lagu Joy Tobing, yang biasa kami nyanyikan di gereja seusai misa tempo dulu, tiba-tiba kunyayikan lagi. 

Hingga menggema di kaki langit di sudut tatapan. 

Aku ingin menangis. Tapi air mata yang keluar dari sudut mata tak berarti bagi lautan biru. 

Lalu Aku menggenggam rosario yang saban hari kukalungkan. 

Aku berdoa lagi. Ujudnya cuma satu. Mayatku terapung dan menepi hingga papa, mama, dan keluarga merapat.

“Namaku Rapensos R. Ates,” katanya irit.

Aku tak menemui manusia ini sebelumnya di sudut dunia. Di bawah kolong langit ku berdiri menatap matahari.

“Ah, kamu ini,” katanya meracau tatkala disambangi komplotan manusia.

“Kau orang sebangsaku rupanya, Om,” kataku menoleh padanya.

“Sedang apa, Om?”

Aku bagai sedang bermonolog. Dia memasang badan. Menghadap ke depan. Utara lautan.

Ia lantas membetulkan kertas-kertas yang ditiup angin. Tetap tak menoleh. 

Upayaku tiada berbuah. Aku tetap Aku dan rumah lautku, dia dengan egonya. 

Aku lantas terjaga. 

Ternyata matahari sudah muncul dari balik lautan. Mengintip keberadaanku di pelukan rakit. 

Aku bermimpi rupanya. Rapensos hanya bayangan semu. Bunga tidur lelap. 

Aku mengira itu bala bantuan. Kakiku melengkung keluar. Kena air. 

Ikan-ikan kecil yang menggigit jemari kaki membuatku terbangun. Ditambah teriknya matahari pagi.

Rumah bambu beratap rumbia ini tetap setia membawaku hingga yang entah.

Aku terus bertolak lebih dalam. Ke arah utara lautan. Mengikuti arus, gelombang dan puritan. Terombang-ambing. 

Mengikuti arus adalah salah satu cara bertahan di tengah lautan.

Matahari mulai naik. Tak kulihat bayanganku. Sengatan mentari tiada ampun. 

Pembungkus tulang lepuh. Perutku mulai berbunyi. Cacing-cacing berteriak gila. Berlomba-lomba dengan badai.

Lalu Aku mengambil beras dan jagung yang kusimpan di karung. Memasak.

Kuambil kail untuk memancing ikan-ikan. Tanpa pancingan pun ikan-ikan merapatkan kepalanya. 

Lidahnya menjulur. Mengap-mengap memagut rakit. 

Tinggal kucelup saja kedua tanganku. Namun Aku tak mau mati cepat. Sebab kawanan hiu juga ada dalam rombongan ikan. 

Aku tak mau gegabah. Ini bukan kisah dongeng. Ini adalah nyata. 

Srapp!! 

Seekor hiu melompat ke arahku. Meleset.

“Tolong!! Tolong!!”

Aku berteriak sekuat tenaga. Terpelanting ke moncong rakit.

Jatuh memang pengalaman menyedihkan. Lebih menyakitkan ketika tiada bala bantuan. 

Mencoba bangkit lagi, dan pasrah pada Penyelenggaraan Ilahi adalah tumpuan terakhir.

Siapa yang mendengar teriakanku? Teriakan hanya model lain dari ajakan pada kawanan ikan buas. 

Beruntung, siang ini Aku tak tenggelam. Masih ada sisa hidup untuk bertahan. 

Aku bangkit lagi. Menonton tarian ikan-ikan. Mengumpulkan tenaga tersisa. 

Ikan-ikan kecil melompat santai. Pas di belanga, yang airnya mendidih sedari tadi.

Puji Tuhan! Siang ini Aku bisa makan. 

Tapi kelezatan ikan rebus seolah tak terasa lagi. Lidahku mati rasa. Pikiranku cuma daratan. 

Sedang rakit terus bergoyang. Malenggang patah-patah. Kalau dia patah, akankah ragaku patah?

Waktu terus berjalan. Rakitku terus digoyang badai. Inilah hari ketujuh. 

Setelah hari ketujuh penciptaan selesai. Allah beristirahat sebab semuanya sudah selesai. 

Sekiranya ini nyata dalam adaku, maka hari ketujuh adalah daratan. Bahagianya Aku.

Srapp!!! 

Tiba-tiba hiu-hiu makin menengadah ke arahku. Tatapannya tajam. Menganga bagai buaya kelaparan. 

Sementara Aku tetap menatap langit. Tetap tenang. Kalau-kalau suara halilintar berwujud malaikat penyelamat. Ternyata tidak sama sekali.

Jika Aku bergerak, berarti Aku dianggap melawan si raja samudra. Maka pilihannya adalah tak bergeming. 

Hiu pun makin buas. Maka pilihannya adalah tenang. 

Setelah dialihkan tatapannya, Aku mengecek karung-karung ransum. Ternyata semuanya sudah habis.

“Tamatlah riwayatku. Tenggelamkan saja Aku! Biar jadi santapan para hiu,” gumamku.

“Jangan! Jangan! Samudra masih luas!!”

O Tuhan. Dari mana suara itu bergema? Halilintarkah? Sangkakala kah? Genderang perang?

Suara tak bertuan itu bercampur dengan badai. Aku mencarinya hingga lubang telinga disambut hantaman ombak. 

Tiba-tiba kapal bunker melintas di sisi kiri. Seribu mil jaraknya. Aku mengangkat teropong. Memberi tanda. 

Tapi kapal itu berlalu bersama angin. Ah, tidak baik Aku sendirian di tengah lautan. Keluarkan Aku ke daratan!!!

Di sini kesabaranku benar-benar diuji. Sembilan tahun lalu, Aku dibawa badai. Entah terdampar di pulau apa. 

Kawan-kawanku menemukanku dan membawa daku pergi. 

Sebulan kemudian Aku diseret arus, lantaran jangkar membentur karang. Lagi-lagi selamat.

Andaikan kisah itu terjadi lagi. Atau radar menangkapku, tim penyelamat pasti menyusul dengan perahu karetnya. 

Lalu mereka membawaku pergi, pulang ke daratan melintasi samudera bersama derai-derai rindu. 

Tapi…

Aku hanyalah selumbar di pelupuk mata. Hanya sehelai rambut di padang sabana. Setetes air mata di tengah samudra. Sebutir pasir di bibir lautan. 

Aku bak plankton bagi hewan air. Atau setitik noktah di antara ribuan bintang. 

Radar tak menjangkau adaku. Lensa teropong terbentur percikan ombak. 

Aku hanyalah manusia nista di alam fana. Yang mengarungi lautan bersama harapan. 

Bersama senyum yang menyembul, kutengok seisi rakit. Dari atap sampai alasnya. Dari moncong sampai ekor. Yang terlihat hanyalah ketiadaan.

“Aku haus!” 

Teringat Sang Guru sesaat menjelang berpisah dengan dunia.

Itu kan Dia. Aku bukan Dia. Aku adalah Aku. Bisakah Aku mendapat setetes embun?

Aku merendam bajuku di lautan. Mengisap asinnya. Sekiranya menambah sedetik denyut nadi. 

Tenagaku pun pulih meski tak mampu mengangkat kayu pancingan. 

Sedang rakit terus terhanyut. Jantung masih berdetak. Nadi masih berdenyut. 

Rambutku makin rimbun. Daratan belum kugapai. Tapi langit masih biru.

Aku melambaikan tangan. Berteriak bersama air yang beriak. 

Di sudut pandangan, sebuah kapal seukuran gereja katedral mulai tampak. Berpadu cantik dengan ornamen-ornamen. 

Benderanya laksana danau Kelimutu: merah, putih dan biru. Ditambah dua bintang. Berkibar gagah dibelai angin di puncak nan megah.

Help!! Help!!

Lalu Aku mendekat ke frekuensi kapal. Berteriak lebih kencang sembari melambaikan tangan.

There is man! Accident.”

Itu saja kata yang kudengar. Selebihnya entah. Rupanya mereka tak sebahasa denganku.

Captain, help!!”

Mereka mendekat. Aku merapat. 

Di atas sana orang lalu-lalang. Beberapa tampak lari kiri-kanan mencari tali. Aku meraih tali kapal. 

Derasnya gelombang membuatku terhempas hingga nyaris terlepas. 

Sementara di atas sana mereka terus berteriak. Entahlah artinya apa dalam bahasa Indonesia. 

Tapi dari gestur tubuhnya, itu adalah perintah agar Aku bergerak cepat. 

O Tuhan, talinya putus. Aku tenggelam…

Dengan cekatan dua pemuda menerjun bebas dari kapal. Kira-kira dari jarak setinggi tiang bendera. 

Mereka menangkapku meski berjibaku bersama arus yang deras. Kami pun menaiki kapal dengan memanjat tali yang baru.

Aku tiba-tiba pingsan. Seusai siuman seorang dari mereka memberi segelas air dan sepiring nasi, bersama dua ekor ikan. 

Kumakan dengan lahapnya hingga aku terlelap lega. 

Matahari menyapaku ketika rombongan Konsulat Jenderal Negara Seberang, berencana memulangkan aku. Kembali ke pangkuan maha ibu. []

#2025

Posting Komentar untuk "Terombang-ambing sampai ke seberang"