Mengecap seteguk nira (2/11)

mengecap seteguk nira
Pixabay

Dua hari dia tidak menelepon. Aku juga tidak mau meneleponnya. Bagiku, dia adalah orang asing. Seharusnya dia yang menelpon bila membutuhkanku.

Namun, selama dua hari aku lupa akan utangku. Energiku terkuras padanya. Seperti tidak ada beban sama sekali.

Sesuai janjinya dia baru memberi tahu namanya pada hari ketiga.

"Halo, Mas! Apa kabar, baik-baik kan?"
"Alhamdulillah aku baik-baik, Mbak. Di situ kabarnya gimana?"
"Seperti yang Mas dengar suaraku saat ini."

"Oh, syukurlah, Mba! Ini kan hari ketiga, boleh dong aku tahu namamu."
"Iya Mas. Aku tidak ingkar janji kok! Tapi, apakah Mas percaya jika aku kasih tahu nama lewat telpon?"
"Terserahlah..."

"Kan lewat telepon. Bisa saja aku berbohong."
"Kok gitu, ya?"
"Aku serius, Mas!"
"Yah, bagiku yang penting kamu punya nama. Entah nama asli atau palsu. Biar kita baku sapa.”

"Kalau begitu, terserah Mas aja deh…"
"Wah, dari suaranya kayaknya kamu cantik ya. Kupanggil Nira saja deh."
"Gak apa-apa deh!"

Mulai hari ini aku memanggilnya Nira.

"Eits, nama kamu siapa, Mas?" 
"Panggil saja Van."
"Hahaha, itu nama asli apa palsu?" 
"Terus siapa dong kalau gak percaya?"
"Hmmm, sepertinya nama kamu diawali M dan diakhiri S."

Busyet!! Kok dia tahu namaku? Astaga ada yang tidak beres rupanya.

Sekonyong-konyong Aku mematikan telepon seluler.

Apakah aku memberi tahu namaku kemarin ya? Mudah-mudahan aku belum amnesia.

Seingatku, aku belum memberi tahu nama kepada gadis misterius ini.

Tidak! Tidak mungkin. Mustahil dia mengingat namaku.

Aku terus bertanya. Meragukan keberadaan gadis ini. Jangan-jangan dia mengenalku tapi pura-pura tidak tahu. 

Ataukah dia mengetes kejujuranku?
Awas saja. Aku akan memaki-maki dia jika mengerjaiku. Aku seperti tidak waras. Maki sana-sini.

"Kenapa teleponnya langsung diputuskan, Mas?"
"Oh, maaf Nira! Tadi kepencet."
"Oya?"
"Hei, Nira yang serius dong. Kamu siapa sebenarnya? Jangan bercanda dong!"

"Lha, kenapa, Mas? Tidak percaya sama aku, ya?"
"Bukan begitu sih. Tapi kok kamu tahu namaku. Padahal aku belum kasih tahu," jawabku.

"Mas, aku kuliah di Universitas Andalan Jurusan Psikologi. Jadi, aku bisa menebak namamu dari suara."
"Wah, kamu hebat dong!"
"Ya, itu juga belum pasti sih. Aku cuma menebak-nebak."

"Tapi tebakanmu tepat sekali, Mbak. Namaku memang bukan Hans, tapi Modes!”

Aku mulai percaya diri. Memujinya lalu mengumbar gombal receh.

"Nira, boleh ya aku tanya kamu?"
"Tanya apa, Mas?"
"Tidak! Tidak! Tidak jadi, Nira. Aku cuma mengetes kamu.”
"Gak apa-apa, Mas. Tanya saja!"

Padahal aku mau tanya, apakah dia sudah punya pacar atau suami.

Tapi aku masih malu-malu. Jangan-jangan…

"Mas? Boleh tanya sesuatu gak?"
"Boleh!! Tanya apa, Nira?"
"Ah, nanti Mas gak mau gimana?"
"Tanya aja, Nira! Lagian kita tidak saling kenal!! Hanya dalam HP kok. Kenapa takut?"

Lama sekali dia mengelak. Berbelit-belit. Seolah tidak mau kalau nanti pertanyaannya tidak dijawab.

Aku juga ingin sekali mendengar pertanyaan perempuan misterius itu. Aku berharap agar dia belum punya pacar.

"Nira mau tanya apa sih? Kok kayak ada yang disembunyikan deh...Tanya saja gak apa-apa kok. Aku pasti menjawab, apa pun pertanyaannya kalau aku bisa jawab."

"Apa kamu sudah punya pacar, Mas?"
"Apa, apa? Apa tadi Nira? Kurang jelas kedengarannya. Coba diulang?"
"Ulang apa, Mas? Kata apa sih, Mas? Aku tidak mengatakan apa-apa kok. Masnya aja yang salah dengar.”

"Ah,, kamu curang, Nira. Masa kamu mengelak sih?"
"Mas sudah punya pacar atau belum?"

Aku terbahak-bahak mendengarnya. Dalam hati aku merasa senang jika digombali duluan. Melompat-lompat.

Ingin kukatakan yes, yes. Tapi aku tidak berani mengucapkannya. Kalau-kalau dia tidak tahu bahwa aku sangat gembira.

 "Huhhhh!! Kendati aku berkata jujur, kamu tak bakal percaya."
"Tapi...," lanjutnya.
"Kamu tak kan percaya meskipun aku memberi tahumu. Ya, kan?"

Biasanya banyak pria atau perempuan berkeluarga mengaku bujang. Bahkan punya cucu sekalipun.

Apalagi berkenalan melalui HP. Orang susah berkata jujur. Nyaman dalam ketidakjujuran. Dari kenyamanan itulah lahir perselingkuhan tipis-tipis.

"Tapi terserah kamu deh, Nira! Aku sudah punya istri lho, anak satu. Mereka tinggal di kampung."
"Ah, Mas pasti bercanda deh. Kalo dari suaranya, Mas pasti belum kawin ni, apalagi pacar," katanya menggoda.

"Hahah, berarti kamu itu sudah terhipnotis oleh suaraku. Aku sudah punya istri kok."
"O ya," jawabnya dengan nada kecewa.

Aku menangkap suara kekecewaan dari balik telepon. Antara percaya dan tidak.

Aku tak percaya dia seberani itu menggodaku, yang sudah jelas-jelas sudah jujur.

"Pasti istri kamu bahagia, ya, Mas. Bisa mendapatkan kamu.l," katanya.

Sebenarnya aku juga berbohong. Hanya mau mengetes kejujurannya. Apakah betul mahasiswa psikologi seperti ceritanya di awal perkenalan.

"Ya, tidak selamanya benar kan? Namanya juga manusia biasa. Jadi, aku harus belajar lagi," jawabnya berkilah.

Mulai saat ini dia rajin meneleponku. Tapi tidak pernah memberi tahu asalnya. Ataupun nama aslinya.

Meskipun demikian, Nira cepat akrab dan nyambung. 

Aku bahkan berkesan semakin dewasa, setelah mengenalnya dalam waktu sesingkat ini via ponsel. Bersambung. []

#2024

Posting Komentar untuk "Mengecap seteguk nira (2/11)"