Mengecap seteguk nira (3/11)

ilustrasi tempat angker
Ilustrasi tempat angker. - Pixabay

Pagi ini teman-temanku kelihatan sibuk, karena hendak pindah ke basecamp. Jaraknya sangat jauh dari perusahaan.  

Aku juga nimbrung. Ikut merapikan barang-barang. Biar bisa pindah dan tinggal bersama di basecamp.

Namun, dalam hati aku menyimpan ingatan akan perempuan misterius itu. Jadinya fokus terbagi.

Aku merahasiakan perkenalanku dengan Nira. Seolah tak terjadi apa-apa.
 
Ini nonsense. Tak masuk akal. Tapi inilah yang aku alami.

Setiap hari aku menyendiri. Memojok ketika menelpon si Nira.

Setiap kali dia menelepon, aku segera ke semak-semak.

Di sana aku kan bicara sekencang-kencangnya. Selepasnya. Sbab di sini hanya aku dan dia.

Ditemani rumput yang bergoyang, daun yang menari, dan angin yang bertiup manja. Kami bersapa dan bersenda gurau.

Tujuh belas dari teman kerjaku adalah pria sekampung. Dari utara, selatan, dan bagian barat.

Titus adalah saudara, sekaligus teman kerjaku, dari belasan orang ini.

Hari ini mereka pindah basecamp. Aku menetap saja. Enggan meninggalkan camp meski hanya seorang diri.

Di sini terdapat tujuh belas kamar. Disertai ruang tamu yang begitu luas. 

Hari lepas hari, aku bekerja sendiri. Ambil petak sendiri. Ditambah basecamp ini tidak punya lampu. Generator pun tidak. Malamku hanya diterangi pelita.

Menurut kawan-kawan, basecamp ini terkenal angker. Siang dan malam sering didatangi makhluk tak kasat mata. 

Bebunyian tak jelas sumbernya terus terdengar. Sering diganggu.
Oleh karenanya mereka memilih pindah. Tapi, aku.. 

Aku memilih bertahan. Ternyata inilah alasan mereka pindah basecamp.

Aku tak sedikit pun percaya, bahwa di sini ada makhluk halus. Orang-orang tua pernah bilang, darat woleng tana poti woleng pong. Setiap wilayah punya setan. 

Dan setan di alam sini, tentu berbeda dengan setan di kampung halamanku. Mana mungkin mereka menggangguku? 

Setidaknya, inilah alasanku. Lagian, pindah sana-sini akan menguras tenaga dan pikiran. Lelah.

Aku belum pernah melihat makhluk semacam itu. Takut bagiku hanya membuang banyak energi.

Maka dari itu, aku harus menyendiri di basecamp ini. Buang jauh-jauh pikiran yang merasuk otak.

Bisa dibayangkan bagaimana komunikasinya. Apakah harus menguasai bahasa mistis, jampi-jampi?

Satu-satunya teman bicaraku adalah Nira. Ya, Nira yang ada di ujung sana. Di dunia antah-berantah. Di dalam ponsel Nokia.

Suara Nira selalu muncul saat matahari jatuh dan mengintip bayanganku dari celah perbukitan. Hingga Dewi Malam menjemputnya dalam selimut gelap.

Praktis dia menelepon saat-saat seperti itu.

Inilah salah satu alasan mengapa aku berkeyakinan, bahwa aku tidak sendiri.
Saat kerja, mencuci pakaian, dan tidur pun ditemani si dia. 

Ya, dia yang misterius. Dia yang hanya kudengar lengking suara merdunya. Yang membuatku merasa at home di base camp.

Situasi ini kualami selama tiga minggu. Di minggu keempat, Nira meneleponku lagi.

Agaknya ini serius. Dia menanyakan identitasku yang sebenarnya.

"Mas, boleh nggak aku dijadikan sahabat spesialmu?" Katanya pada suatu waktu.

Aku bingung. Tidak tahu apa yang mau dijawab. Tidak mengerti.

"Maksudnya gimana, Nir?"

Mendengar itu, aku mulai percaya diri. Aku memanggilnya seperti layaknya orang pacaran.  

"Ya, spesial itu yang lebih dari teman biasa Mas," katanya.

Aku semakin tak mengerti. Bahkan terasa lucu dan itu mustahil. 

Bagiku, dia menelepon saja sudah lebih dari spesial. Walaupun tidak berhadapan muka, setidaknya jelas dalam setiap tutur katanya. 

"Nir, kamu sudah tahu asalku dan seperti apakah aku?" 

"Itu dia Mas. Aku mau tahu semua tentang kamu." 
"Wissss, ini pasti dalam sekali," jawabku sambil tertawa.

Dia menyambut tawa. Dan kami berpacu tawa.

"Nir, aku berasal dari Flores." 
"Portugal ya Mas?"
"Halah, bukanlah. Itu di bagian timur tenggara Indonesia. Utara Australia," jawabku.

"Berarti kamu orang barat lo Mas?"
"Bukan juga."
"Hahahha..."

"Kamu dari mana Mbak?"
"Aku dari Sulawesi, Mas. Campuran Jawa dan Sulawesi. Aku bekerja di salah satu perusahaan di sini."

Aku ingat sewaktu hari pertama telepon. Dia bilang padaku sebagai mahasiswa jurusan psikologi. Kok hari ini dibilang bekerja di sebuah perusahaan?

Ah, Sudahlah. It is kidding. Just small talk.

"Kamu pasti cantik, ya, Nir?" Kataku menggoda.
"Biasa aja kok, Mas. Sama kayak perempuan pada umumnya."
"Hmmm, apalagi kamu bercampuran tuh."
gadis cantik
Pixabay

Aku tidak bisa bayangkan kecantikan gadis Sulawesi berdarah Jawa. Perpaduan dua keturunan, yang menurutku begitu komplit.

"Tapi kamu tahu karakter orang Flores kan?" Tanyaku.
"Gak, Mas. Seperti apa memangnya?" 

 "Dengar, Nir! Dengar baik-baik, ya! Aku orangnya sangar. Tampang luar seperti penjahat. Kamu tahu itu?"

"Ah, masa? Tidak mungkin Mas." 

"Betul, Nira. Aku jujur. Bahkan aku lebih jahat. Kalau kamu lihat aku, kamu pasti lari."

"Serius? Kenapa merendah seperti itu Mas? Jangan begitu dong!" 

"Wah, serius kok. Jangan tertipu dengan suaraku?"

"Pokoknya aku gak percaya, Mas." 

"Baiklah. Jangan menyesal nanti ya kalo ketemu aku."

"Tapi aku banyak teman orang Flores kok. Mereka baik-baik. Lucu lagi." 

"Okelah Nira. Asal aku sudah bicara jujur. Apa adanya."

"Tapi kamu gak akan memperlakukan aku kasar kan Mas?"

"Pastilah Nira."

Aku tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa aku memang sangar. Jangan sampai perempuan ini tertipu oleh karena suara nyaring dan bergema di telepon. 

Ataukah dia mau mengetes lagi tentangku?

Sudahlah. Itu urusan dia.
Asal aku sudah kasih tahu sejujur-jujurnya. Soal dia percaya atau tidak, itu urusan belakangan.

"Aku gak percaya, Mas. Kamu bukan seperti yang kamu katakan. Aku yakin kamu rendah hati, jujur, setia dan romantis.” 

Jawabannya seketika membuatku meleleh. Seperti lilin yang kupasang di basecamp saat lampu pelita kehabisan minyak.

"Ya, terserah kamu anggap aku seperti apa deh. Lagian tidak ada untungnya buatku. Kita tak mungkin bisa bertemu kok," kataku diplomatis.

"Kamu percaya gak, Mas? Suatu saat kita bisa bertemu?"

Aku terpingkal-pingkal. Perut menahan sakit karena tertawa.

"Hmmm, pokoknya aku gak percaya, Nir." 

"Mas, Aku serius, dan akan segera mungkin ingin bertemu kamu."
"Hah?"

"Iya, karena kamu sangat baik, sopan. Dan lebih lagi, aku terhipnotis oleh keramahanmu.”
"Yaelah ah, biasa saja, Nir."

"Tidak, Mas. Aku sangat bangga bisa berkenalan dengan kamu. Makanya aku mau mencari kamu walaupun itu jauh."

Aku tambah ketawa seperti tidak waras. Tapi bagaimanapun, gadis itu sepertinya sudah jujur. Hanya aku yang tidak yakin.

"Mas, aku serius, lho. Izinkan aku menemui kamu," katanya lagi.
"Jangan, jangan, Nir. Tolong janganlah."

"Memangnya kenapa, Mas? Aku mau ke sana hanya untuk berlibur."
"Ya, tempat liburan kan banyak. Di Bali bisa. Kenapa harus ke tempatku?"

"Dengar kau Nir! Di sini angker. Banyak makhluk halus. Dikelilingi hutan rimba pula," lanjutku.
"Walah, pokoknya aku mau ke sana, Mas."

"Tolonglah Nira. Aku di sini sudah empat tahun lamanya. Jadi, akulah tahu tempat ini, bukan kamu."
"Pokoknya aku mau ke sana, Mas!"

"Jangan Nira. Aku ini penjudi, pemabuk, dan utangku sangat banyak. Bagaimana aku menjamin keselamatanmu."
"Itu kan? Jangan kamu merendah, Mas."

“Aku serius kok. Aku berani bersumpah demi Nira."

Dia menjeda obrolan. Lalu melanjutkan obrolan receh.

"Kamu bilang tinggal di hutan, masa ada jual minuman keras? Kamu bohong, ya?" Katanya meragu.

Begitu mendengar ucapannya aku terharu. Ya Tuhan, orang seperti ini langka.
 
Bisa-bisanya dia meluruskan omonganku. Yang sudah jelas-jelas berbohong agar dia membatalkan niatnya ke Kalimantan, untuk menemuiku.

Aku seperti bermimpi atau mengigau. Ah, tidak mungkin. Ini bukan mimpi. Ini nyata.
 
Ini adalah percakapan lelaki dan perempuan, yang tidak masuk di akal sehat.

Jika aku menceritakan kepada kawan-kawanku, mereka tak akan percaya. Bulsyit. Ya, bulsyit

"Kalo memang Mas sudah punya istri dan anak, coba kenalin sama aku sekarang!" Pintanya.
"Kamu serius, Nir?"

"Iya, kirim ke aku nomor istrimu. Tapi nanti Mas bilang aku siapa ke istri Mas?"
"Nanti aku bilang kamu temanku."

"Apa dia gak cemburu, Mas?"
"Tidaklah. Tak ada kamus cemburu pada orang Flores."

Keberaniannya membuatku merasa bersalah. Bahwa aku berbohong agar dia tidak melakukan hal sebodoh itu.

Sengaja kubilang sudah beristri. Punya anak satu agar dia membatalkan rencana menemuiku.

"Waduh, aku gak punya pulsa. Gimana mau kirim nomor istriku ke kamu, ya, Nir."
"Hmmmmm."

"Iya, sudah lama gak isi pulsa. Counter jauh di kota. Aku di hutan. Walaupun ke kota isi pulsa, aku gak punya uang."
"Ya, sudah. Aku belikan kamu voucher."

"Gak usah repot-repot, Nir." 

Aku tak yakin dia senekad itu. Mustahil itu. Oh, Tuhan. Dia membeliku voucher seratus ribu rupiah.

"Sudah, Mas. Aku kirimkan kode voucher-nya ya."
"Kode apa, Nir? Aku gak ngerti."

Tidak lama kemudian di layar HP-ku muncul SMS. Hanya berupa angka. Lalu kuhapus, karena aku berpikir dia cuma mengerjaiku. 

Orang gila mana yang membeli voucher hanya untuk seseorang yang mengenal via telepon? Bodo amat! 

Beberapa detik kemudian...

"Halo Mas!"
"Iya, halo!"

"Sudah isi pulsanya, ya Mas?"
"Waduh maaf sayang. Terhapus. Bisa gak dikirim lagi?"

Dia pun mengirim ulang. Luar biasa. Pulsa tadi masuk ke HP-ku. Antara terharu dan ragu bercampur jadi satu. 

Di sisi lain, aku merasa malu karena meragukan kejujuran dan keberaniannya. 

Tapi, di sisi lain aku merasa bersalah karena menipunya. Tujuanku hanya satu: mencegahnya bertindak nekad.

Tapi apa daya, tak bisa kuduga dia senekat itu.

Aku berdoa dalam hati. Maafkan aku Tuhan. Tapi aku juga berterima kasih. Bantuan meski kecil tapi sangat berarti bagiku saat ini. 

Tidak pernah orang memberikan bantuan sebesar itu. Jangankan 100, tidak pernah ada orang mengisi pulsa 10 atau pulsa 5.

Aku terbaring di semak-semak. Tak peduli apa ular memagutku atau tidak. 

Tak peduli hujan atau rumput-rumput. Bahkan alang-alang menembus kaos yang kukenakan.

Seperempat jam kemudian aku bangun. Kali ini aku harus menelpon si dia. Ini bukti terima kasihku padanya.

"Nomor yang Anda tuju sedang sibuk!" 

Wah, nomornya sibuk. Dia menelepon siapa ya?

"Mas, aku barusan menelepon kamu. Tapi jawaban operator nomor sibuk!"
"Begitu juga aku, Nira."

"Wah, kompak ya Mas?"
"Pulsanya kebanyakan Nira. Apa gak salah kirim?"

"Emang pulsa berapa Mas?"
"Pulsa 100 Nira."

"Ya, sudah. Kamu kirimkan nomor istrimu biar aku menelpon dia!"
"Aku saja yang menelpon. Kan kamu sudah mengisikan aku pulsa."

Tapi dia tetap ngotot tuk menelpon si Leni, istriku. Bersambung. []

#2024

Posting Komentar untuk "Mengecap seteguk nira (3/11)"