Hentakan kaki penari di jalan mendaki (2/6)

imam baru pater rio svd
Pengalungan imam baru di pintu masuk Kampung Lentang. - Dokpri

Sejak beberapa jam yang lalu, matahari terus memanggang kulit. Daun-daun, perlahan layu. Mereka menari lemah tapi tak goyah. Goyang ke kiri dan ke kanan. 

Musababnya adalah si raja siang. Yang terus memanggang kulit. Yang bersinar tepat menikam ubun-ubun. 

Kami tak bisa melihat bayangan sendiri. Tak juga rasa lelah. 

Sedangkan rombongan terus bernyanyi. Menari. Bearak-arak nan rapi. Bertepuk tangan.

Tak terlihat seperti dedaunan yang layu tadi. Atau yang kering dan beterbangan. 

Debu-debu dan dedaunan kering tak tampak terbang.

Seakan mereka sudah kompak. Bahwa jalanan ini terkhusus untuk umat Lentang. 

Bahwa umat keturunan Empo Ngara Waem Rani ini, sedang bergirang. 

Mereka riang gembira. Sembari menari dan bernyanyi. Diiringi tabuhan gong dan gendang. 

Hentakan kaki yang rapi, di jalanan mendaki, adalah isyarat, bahwa ada rasa syukur. Ada rasa terima kasih, pada Sang Sabda yang telah menjadi daging.

Mereka riang gembira, mengarak anak bara wua tuka. Membawa anak pastor ke natas labar. Menggendong sang gembala ke rumah gendang. 

Mereka mengantar imam baru ke lutur. Mengantar Tuang Rio ke kilo. Ke rumah adat. 

Rumah gendang (rumah adat) atau Gendang (golo), adalah tempat semua menanti pulang. Pulang pada pangkuan dan dekapan hangat “pa’ang olo ngaung musi”. 

Dan memang sang imam baru harus pulang pada natas bate labar. Pada uma bate duat. Pada mbaru bate kaeng. Keor kelo we’e kete. Pada beo bate elor. Dari sana kelak dia diutus. 

Dan kami menyerahkan dia kepada Sang Sabda, untuk berkarya di ladang anggur-Nya.

Waktu terus berjalan. Terik matahari terus menampar wajah dan kepala. Tapi semangat terus melaju. 

Meski keringat mengalir sampai jauh, rombongan terus berirama. Irama tari ronda dan tabuhan gendang terus membahana.

Di sisi kiri dan kanan jalan, anak-anak dan mama-mama seperti pagar betis. Bayangkan, seperti Yesus memasuki Yerusalem, dua ribuan tahun lalu.

Mata mereka tertuju dan fokus. Tertuju pada arak-arakan ronda. Pada iring-iringan umat–pria dan wanita berseragam. 

Mereka menatap pada imam baru. Yang tak pelit senyuman itu. Yang tangannya ringan melempar lambaian. Yang tak lupa membuang sapa. Dan yang humoris itu.

Dari dalam lensa kamera, saya tak menangkap sedetik pun momen, bahwa mereka layu. 

Malah sebaliknya. Semangat terus dipompa. Nada suara begitu tertib.
Tak peduli jalanan turunan. Bahkan mendaki. 

Semakin mendaki, semakin berpacu. Semakin mendekati kampung, semakin bergema.

Hingga mata saya pun berair. Saya tak tahu, apakah itu alamiah. Atau memang karena radiasi kamera. 

Namun, ada satu yang pasti. Bahwa mata yang berair ini, berbarengan dengan tangkapan layar iringan imam baru, siang yang terik ini, 6 Oktober 2024.

Berbeda dengan siang tadi, pada perjalanan Lagur–Ketang, di jalan trans Flores. Saya bermotor. 

Iring-iringannya panjang. Motor dan mobil. Sekira satu atau bahkan dua kilo jaraknya. Dibarengi musik dari mobil khusus. Dikawal mobil polisi.


Karena bermotor, saya bisa menepi. Meminggirkan motor di lokasi yang bagus. Semata tuk memotret. Angle bird misalnya. 


Namun, kali ini, sejauh kira-kira satu kilo, naik-turun kampung. Dari perempatan Ketang ke Golo Lentang.


Saya mengekor mobil pembawa musik. Volume ukur kuat. 


Kepala dan kaki ikut bergerak. Oleng ke kiri dan kanan. Sembari menyangga kamera ponsel pintar dengan hati-hati.


Di belakang mobil ini, di depan saya, saya menekur. Rombongan penari dan pengarak imam baru, terus menghentakkan kaki. Ronda


Mereka tak habis tenaga, tidak terengah-engah. Tapi lagu terus bergema. Disertai hentakan kaki. Juga pukulan gendang dan dong. 


Mai taung tite go, o ae ea o mai taung, mai cumang anak tuang.”


Demikian sepotong lirik yang saya tangkap di telinga dan memori kamera. 


Semakin berpacu mendekati kampung. Hingga tibalah di natas Lentang. 


Ternyata sedari tadi warga tumpah ruah. Di sini. Di natas ini.


Ada yang berjalan ke sana kemari. Mempersiapkan sesuatu rupanya. 


Di tepi kiri kanan jalan, di depan rumah, ada yang menonton rombongan. Disertai lambaian tangan dan lemparan senyuman.


Ada juga yang mengambil ponsel pintar dari kantong. Membidik momen unik. Siang hingga sore ini.


Pijaran blitz kamera seperti berlomba dengan suara rana. Apalagi hentakan kaki, irama nyanyian, dan gong-gendang. 


Di bawah pohon dadap yang tertimbun atap terop, di depan compang atau mezbah, di natas labar ini, lenggak-lenggok para penari mencairkan suasana. 


Pria dan wanita muda dari SMAK St. Stefanus Ketang, menampilkan tarian tiba meka. Terima tamu dalam bahasa Indonesia.


Lenggak lenggok gerakan tubuh mereka, gemulai nan lincah, lentur terukur, menambah riuh menyusul tepukan tangan. Sesekali, dua kali, terdengar pekikan: 

“Hidup Kampung Lentang!! Hidup imam baru!!”

tarian tiba meka
Tarian tiba meka dari SMAK St. Stefanus Ketang. - Dokpri
Imam baru dan rombongan pun melangkah ke rumah gendang.

Di sini tak ada pengalungan. Tak ada pemberian topi anyaman atau selendang songke.


Kesemua itu tadi cuma di perempatan Ketang. Di sini, di rumah ini, imam baru melalui ritual tuak kapu. Kapu agu naka anak bara wua tuka. 


Ritual tuak kapu, diawali pa’u wae lu’u mata do oleh imam baru. Dan ayam putih, lalong bakok, sebagai media untuk kapu agu naka


Selesailah sudah scene kedua ini. Di kampung halaman ini.

Lalu saya menutup kamera. Menuju meja makan. Karena cacing mulai berdemo.

Tapi ingatan saya masih terpatri. Teringat pada "teriakan" ayam jantan putih tadi.

Seolah pertanda, inilah lalong tana. Ayam jantan dari timur. Bersambung. []

#2024

Posting Komentar untuk "Hentakan kaki penari di jalan mendaki (2/6)"