Ponselku jatuh. Casing-nya terpelanting. Sedangkan mentari tersenyum ramah dari balik pohon-pohon.
Jangan-jangan HP ini sudah rusak. Tapi…
Dia bergetar lagi. Nada dering lagu reggae membuat rambut berdiri seketika. Kaki bergerak-gerak.
Siapa sangka, Nira menelpon.
Selama ini tak pernah sekalipun aku menghubunginya lebih dulu. Malah sebaliknya. Dia yang proaktif menelepon.
Sepanjang mengenal Nira, aku lupa menelpon keluarga di kampung halaman.
"Halo sayang!"
"Halo juga sayang!"
"Wah, PD-nya aku ini. Kamu itu suami orang,” ujarnya menggoda.
"Mas, bolehkah aku memanggil kamu Embot, seperti yang Leni panggil?" katanya lagi.
“Tidak masalah. Santai.”
Aku menuju basecamp untuk melepas lelah, mengumpulkan tenaga yang terbuang menjadi buruh sawit.
Pagi ini semangatku menyala. Nira adalah sebab-musababnya.
“Bolehkah, aku jadi pendamping hidupmu, Embot?"
Kata ini membuatku tak melihat kerikil, hingga aku terantuk batu.
Aku kira dia bercanda. Atau jangan-jangan mau mengetesku lagi. Sejauh mana aku memiliki konsistensi pada jawaban “ya” atau “tidak”.
“Kenapa diam, Embot?”
Dia terus penasaran. Bagaimana mungkin aku segera menjawab “ya” sementara ada Leni dan buah hati di kalbu ini?
Aku diam melulu. Diam bukan berarti pasrah. Aku hanya memikirkan jawaban alternatif. Jangan sampai aku salah bicara, dan omonganku bisa jadi bumerang.
"Embot! Embot!"
Dia terus memanggilku. Tapi mulutku seolah dibius oleh pertanyaan-pertanyaan tak terduga ini.
“Jawab dong, Embot!”
“Aku jawab apa tadi ya?”
"Aku mau dengar jawabanmu, Embot. Tolong dong!"
Aku bisa membaca nada pertanyaannya. Dia terisak-isak.
Kali ini dia ingin mendengar jawaban pasti dari seorang Modes yang kini dipanggilnya Embot.
"Kamu menangis, ya, sayang?"
Aku pura-pura bertanya. Sedianya dia tak melanjutkan pertanyaan tak terduga lagi.
"Gak! Gak! Aku tidak menangis kok," jawabnya berkilah.
"Entah kamu pakai ilmu apa sehingga aku begitu sayang sama kamu. Sampai-sampai aku lupa siapa diriku," jawabnya lagi.
"Ah, siapa yang pakai ilmu? Kamunya yang merasa ke-PD-an," jawabku.
"Embot, tolong lepaskan aku dari jerat cintamu. Terus terang Embot, begitu banyak lelaki yang menyukai aku," jawabnya.
"Lalu masalahnya apa?"
"Aku hanya menginginkan kamu, Embot! Aku menolak mereka mentah-mentah," jawabnya.
"Ahhhh, kamu memang tipe pemilih."
"Betul Embot. Mereka ganteng, kaya raya dan mapan. Tapi aku menolaknya."
"Terus kenapa dong?"
"Aku cuma ingin kamu. Embot! Embot!" Dia berteriak sejadi-jadinya.
"Jangan berlebihan dong."
"Embot, mau nggak kamu jadi pendampingku?"
Aku semakin bingung. Habis kata-kataku kalau sekadar menjawab pertanyaan murah dan tidak masuk akal.
"Gak apa-apa aku jadi yang kedua. Leni tetap yang pertama," pintanya.
Aku tetap diam tapi dia terus bertanya.
"Aku sayang kok sama Leni dan anak kamu. Aku anggap anakmu anakku juga, bisa kan Embot?" Pintanya lagi.
Ini tidak beres. Tentu saja ini jerat. Sebuah jebakan menguji kesetiaan dan kesabaran.
Kini aku butuh ketenangan. Bukan dia. Aku butuh uang bukan rasa sesaat. Aku butuh jalan, bukan jurang. Aku butuh seteguk nira, bukan Nira.
Mustahil aku memberi harapan. Jangan menghambur madu. Terlalu berat bagiku menjawab pertanyaannya.
“Bagiku, via telepon saja sudah cukup,” jawabku sekadar menenangkan dia.
“Embot!”
“Ya, aku serius.”
“Embot, tolonglah! Lepaskan aku dari sihir," jawabnya sambil menangis.
Lalu telepon terputus. Persetan dengan dia. Mulai saat ini aku tidak boleh menerima telepon darinya. Cukup sudah.
Paling tidak, dia terlalu baik untukku. Dia terlalu perhatian, sampai-sampai mengejarku meski via ponsel saja.
Di sisi lain, aku benar-benar dicoba. Imanku di jalan bercabang. Kesetiaanku benar-benar diuji.
Ini tidak masuk akal tapi aku mengalaminya. Niralah yang membuatnya tidak masuk akal.
Aku jelas-jelas berdosa, karena memberi dia peluang untuk berharap.
Air mataku meleleh. Sudut mata terus mengalirkan rasa iba di pipi.
Laki-laki tangguh yang mengarungi lautan, dan melintasi ribuan pulau sepertiku, akhirnya membiarkan air mata meleleh.
Maafkan aku, Tuhan. Maafkan aku Leni. Maafkan aku, nak. Maafkan aku, Nir.
Kata maafku ini membuat aku tertidur. Aku tertidur tanpa makan semalaman. Ah, ini gila.
"Aku rindu kau, Embot. Aku ingin menemuimu.”
Katanya pagi ini membuat mata terbelalak. Dengan segera aku membasuh muka dan tahi mata. Memang semalam aku tertidur setelah “berbicara” kepada Tuhan dan mereka.
“Jangan berlebihanlah…,” jawabku sekadar menghibur.
“Embot, aku tersiksa. Aku disiksa rindu. Rindu pada sosokmu yang rendah hati.”
“Hah?”
“Embot, tiap hari aku memikirkanmu. Aku penasaran. Sampai-sampai aku salah menyebut namamu. Aku harus jujur. Aku tidak mau berbohong. Lima bulan kita sudah berkenalan. Selama itu aku memantapkan pilihanku padamu."
Aku seperti mendengar pledoi di ruang pengadilan. Seperti juga sedang mendengarkan pengakuan jujur di ruang pengakuan.
Maaf beribu maaf, Nir. Selama ini aku membohongi diriku, dan membiarkan kamu berharap. Aku tidak mau kamu tergila-gila pada ketidakmungkinan.
Aku tidak mau kamu salah memilih. Aku tidak mau kamu terus mengejar angin.
Saat memberi nomor Leni padamu, aku berharap agar Leni berkata jujur. Aku berharap Leni adalah alasan tak melanjutkan perkenalan kita meski via ponsel.
Aku di sini makan seadanya. Aku hanya makan umbut dan sesekali memancing selepas kerja.
Bahkan bernapas saja susah. Aku tak mau kau menambah beban penderitaanku.
Aku di sini sendirian. Teman-temanku sudah pindah sejak tiga bulan lalu. Cuma aku saja yang bertahan.
Aku tidak takut sendirian di sini. Aku beralasan bahwa ada kamu yang menemani, meski sebatas jaringan telkomsel.
Dia terharu mendengar penjelasanku yang panjang lebar. Dia menangis sejadi-jadinya.
"Kenapa kamu menangis Nira?" "Embot, penjelasanmu itulah yang membuat aku menyukaimu."
“Biasa saja ya, Nir.”
“Tidak! Kamu begitu polos Embot. Aku tersihir oleh keluguanmu.”
Obrolan empat jam lamanya tidak terasa. Apalagi diselingi canda tawa dan saling menjelekkan.
“Kamu pakai HP kamera ya, Embot?" Tanya Nira.
Pexels
Ini pertanyaan lucu karena aku menggunakan Nokia Senter. Aku yakin dia bertanya seperti itu, agar dapat mengirim fotoku. Begitu pula dia, sehingga kami bisa bertukar wajah melalui pesan multimedia.
"Ini HP kuning, Nira. Game ular!"
Dia terbahak-bahak. Menurut dia jawabanku super polos. Kalau tidak mau disebut merendah.
"Kasihan deh kamu, ya, Embot."
"Iya. Ini hari terakhir kita telpon-telponan, ya."
"Hah? Kenapa Embot?"
"Sebentar lagi tuan kios menyita HP-ku karena utang belum lunas."
"Kenapa baru kasih tahu sekarang, Embot?"
"Untuk apa kasih tahu? Toh itu tidak mengurangi utangku."
"Emang kamu punya utang berapa sih, sampai HP disita?"
"Sangat banyak."
"Berapa sih, ratusan juta? Miliaran? Aku sanggup membayarnya."
Aku terjatuh tiba-tiba. Badanku penuh lumpur. Aku tak menyangka dia berbicara seberani itu. It is innocence.
Mana mungkin dia membayar utang sebanyak itu? Bisa saja dia membayar, tapi apa dia senekat itu? Bisa saja dia membayar tapi melalui doa.
Huh dia pasti berbohong. Sorry ya, aku masih waras. Aku tidak mau tertipu.
Namun, dia terus memberondongku dengan pertanyaan.
“Berapa utangmu Embot? Siapa tahu aku bisa membayarnya?”
“Empat juta rupiah.”
“Emang utang apa itu?”
“Banyak, Nir. Utang makan, minum, rokok, dan lain-lain. Gajiku hanya cukup membeli rokok. Selebihnya tentu tak bisa melunasi utang.”
“Jangan bicara seperti itu, Embot! Kamu hebat. Kamu jujur dan aku suka itu," jawabnya.
Dia terus memujiku tapi aku diam saja. Perasaanku campur-aduk. Antara bahagia, terharu, malu, terpukul, dan banyak sekali.
"Embot kamu punya nomor rekening?"
Pertanyaan ini membuat aku memutuskan percakapan. Bersambung. []
#2024
Posting Komentar untuk "Di persimpangan jalan (5/11) "