Uang kaget (6/11)

uang pixabay
Pixabay
Aku kira Nira meledekku. Mana mungkin buruh sawit sepertiku punya banyak tabungan, ATM, dan rekening bank?

“Jangan bercanda seperti itu dong.”
“Ya, sudah. Kalau kamu gak punya, minta rekening temanmu saja.”
,Aku meragukan ucapannya. Tapi sontak dilema. Antara ragu dan yakin berduel.
“Terima kasih, ya.”
“Jangan berterima kasih dulu! Yang pertama kau ucapkan adalah berbicara dengan Tuhanmu.”

Lalu dia memutuskan telepon. Aku tidak habis pikir. Bagaimana mungkin dia yang misterius seberani itu? Aku ini siapa? Dia itu siapa? Bagaimana mungkin ucapannya konsisten, tak mau mengingkari janji? Apakah ini tulus atau terselip motif tersembunyi?

Aku terus didera pertanyaan. Campur-aduk. Aku mencoba membayangkan seperti apakah sosok ini?

“Embot, aku tidak mau menelpon kamu sebelum mengirim nomor rekeningnya.”

Tiba-tiba suaranya memecahkan malam dan menghalau udara yang menusuk tulang. 

Suara ini membuat aku terlelap. Lalu melahirkan rindu-rindu yang tertampung dan menyatu dalam mimpi. Aku tak hiraukan nyamuk yang mengisap darahku semalaman.

Hari berganti hari…

Satu minggu lamanya dia tidak menelepon. Inilah mengapa aku diliputi rasa penasaran. Disiksa ingatan akan fase-fase percakapan. Dijejali ingatan akan pertemuan tak terduga lewat telepon seluler.

Itu bagai potongan-potongan bata, yang harus aku tata menjadi rumah cerita. Andai kelak misterinya terpecahkan, aku tak tahu.

Aku dirundung sepi. Ingin menelponnya lagi, tapi masih ragu. Apakah ini sandiwara? Yang pasti semua kata terlontar begitu saja dari mulutnya tanpa kutanya.

Sudahlah. Aku mau ke rumah kawan-kawanku. Ke rumah saudara-saudara sekampung.

"Oleh......, ho'o keta perna mai ce'en Kraen e," kata kawan-kawanku saat menyambutku.

"Oeh Nana, nuk keta ite lami e," sambung teman lainnya.

Satu per satu mereka mengeluarkan jurus bualan. Sesekali minum tuak atau kopi.

"Emat dami poli rowa ite ge," lanjut kawan lainnya bercanda.

Base camp jadi riuh. Kami bertukar sapa, bertukar kata, bertukar pikiran, bertukar pengalaman.

Cerita dan tawa membuat aku tidak pulang malam ini. Aku bersama mereka seperti berada di kampung halaman.

Oleh, diong ata manga rekening ta?” Tanyaku sepagi ini.
"Te co'on e?" Tanya kawan-kawan serempak.
"Toe ta, ata rei bon daku," jawabku.
"Bo dami toe manga e, rei Pak Martin," kata salah satu kawan menyarankan.
"Eng ooo, hemong laku ge. Kali manga one aku rekening di Pak Martin," jawabku.

Pak Martin adalah pengawas kami. Dia orang Toraja. Orangnya dikenal sangat baik. Punya selera humor juga. Wajar saja karyawan betah saat bercerita dengannya.

Tanpa berlama-lama aku menelepon Pak Martin. Dengan segera dia mengirimkan rekeningnya.

“Mau diapakan nomor rekeningnya, Modes?” Tanya Pak Martin disertai tertawa.
"Orangtuaku mau kirimkan aku uang, Pak. Mau melunasi utang-utangku," jawabku.

Suara tawa Pak Martin membahana. Tentu saja ini mustahil. Orang tua mana yang mengirim uang kepada anaknya yang merantau? Bukankah aku merantau untuk mencari uang, untuk menghidupi keluarga dan masa depanku? Pantaslah Pak Martin meragukan aku.

“Betul, Pak Martin. Bapak kan tahu utangku menumpuk," jawabku.
"Ya sudah, terserah kamulah. Itu nomor rekeningnya sudah aku kirim," katanya.

Aku pun berpamitan dan bergegas kembali ke base camp

"De di'a ge!" Kata kawan-kawan.
"Ta, com kaeng camad kat e," lanjut kawan lainnya.
"Toe ta teman. Kolek aku ge," jawabku.
"Eng dapas ge sen, di'a-di'a kali ga. Mai kin lejong ce'e ye? Neka temo keta awo hitu," kata kawan-kawanku.
"Eng ge teman," jawabku.

Sepanjang perjalanan pulang, kepalaku dipenuhi pertanyaan. Sebentar-sebentar berbicara seperti sedang monolog. Ini gila, kawan!

Tak pake lama, aku mengirimkan nomor rekening kepada Nira melalui pesan pendek. 

“Des, apa kamu mentransfer uang ke rekeningku?" Tiba-tiba Pak Martin menelepon.
"Apa uangnya sudah masuk, Pak?" Jawabku senang.
"Iya, kamu tunggu ya. Aku ke sana bawa uangmu."
"Kalau boleh tahu, berapa jumlahnya, Pak?"
"Lima juta rupiah.”

Astaga, ini gila. Pak Martin pasti bercanda. Dia mengetes aku yang sedang berbunga-bunga. Dia mencanda kepadaku yang selama ini serba sekarat.

Aku terkaget-kaget ketika melihat sosok Pak Martin tiba di depan camp.

"Des, kamu dimana? Aku mencarimu sedari tadi!!" Teriak Pak Martin.

Kami pun sepakat untuk bertemu di warung. Jaraknya tak jauh dari basecamp. Sekadar mengopi atau apalah. 

Dari kejauhan, Pak Martin melihatku dengan mata sebelah. Pandangannya membuat aku agak down. Jangan-jangan Pak Martin mengerjaiku.

"Des, kenapa kamu jauh-jauh merantau kalau akhirnya orang tuamu yang mengirimkan kamu uang?" Kata Pak Martin sambil menepuk-menepuk pundakku begitu aku menghampirinya.

"Kamu traktir aku, ya! Kamu sekarang bosku," katanya lagi diiringi tawa.
“Bapak pesan menu apa?”

Pak Martin lantas mengeluarkan uang dari tasnya. Uangnya sangat banyak. Tanganku gemetar memegang uang sebanyak itu darinya.

Kami pun memesan dua gelas kopi hitam dan kentang goreng.

"Coba hitung ulang," kata Pak Martin.

Tidak! Ini mimpi. Ini mimpi siang bolong. Ini uang nyasar. Tanpa sadar aku menangis sejadi-jadinya.

“Kenapa kamu menangis, dek? Kamu gak kasihan ya sama orangtua kamu yang mengirimkan uang sebanyak itu?”

Aku tak hiraukan Pak Martin. Aku terus menangis. Sampai-sampai pengunjung warung lainnya tertawa geli melihat aku yang tua bangka ini bertingkah seperti anak-anak.

“Orangtuamu masih hidup kah? Mereka sangat kaya ya? Lalu kenapa kamu mau merantau?”

Pertanyaan Pak Martin bertubi-tubi. Seakan dia yakin betul bahwa uang sebanyak lima juta rupiah itu merupakan kiriman orang tuaku. 

Tapi aku tak hiraukan omongannya. Seolah-olah Pak Martin berbicara pada lantai, dinding, dan gelas atau seisi warung ini.

Kudekati tuan warung. Kubayar pesanan tadi. Dia pun mengizinkan kami untuk bon. Makan dan minum boleh tiap hari, tapi nanti dilunasi ketika gajian.

Kami di perantauan ini ada tujuh belas orang. Semuanya buruh sawit. Bagi kami tuan warung berbudi baik dan pengertian ini adalah orangtua dan keluarga. Dia pengertian. Kami pun mencintainya.

Warungnya menjadi rumah kedua bagi kami. Tiap malam kami nongkrong di sini sepulang kerja. Kami juga sering menumpang charge HP di sini.

“Bu, coba cek kasbon! Berapa jumlahnya?” Kataku.
“Kamu sudah punya uang?” Jawabnya.
“Iya, bu. Modes sudah jadi orang kaya,” timpal Pak Martin.

Kami pun tertawa. Seisi warung riuh. Ibu ini mengambil buku daftar bon dan menyodorkan kepadaku.

“Semuanya berjumlah empat juta delapan ratus tujuh puluh sembilan ribu rupiah,” katanya.

Aku kaget setengah mati. Dia memperhatikan ekspresiku dengan hati-hati. 

“Kalau kamu punya uang, kamu bayar dua juta saja ya. Aku coret yang lainnya sehingga jadi lunas,” katanya.
“Kamu beruntung sekali, dek,” kata Pak Martin sambil melemparkan senyuman.

Kini utangku lunas. Aku memeluk ibu pemilik warung. Dia bagai jelmaan ibu yang jauh di seberang lautan.

“Modes, lain kali kamu nyicil saja bayarnya, ya! Tempo hari aku memberhentikan kasbon hanya mengetes sejauh mana kejujuranmu,” katanya.

“Terima kasih, Bu. Ibu sudah mempercayai kami,” kataku sambil mengusap air mata di pipi.
“Des, terus terang, kalian anak-anak Flores yang tinggal di sini sangat baik. Aku anggap kalian adalah anak-anakku,” jawabnya.
“Itu. Ada utangnya Si Kiki,” katanya lagi, sambil memperlihatkan daftar utang saudaraku Titus sebanyak satu juta delapan ratus ribu rupiah.

Ibu ini punya anak satu. Namanya Aldo. Maka kami memanggil dia Mama Aldo.

Aku dan Pak Martin pun pamit pulang. Pak Martin kembali ke kantornya usai mengantar aku ke camp.

Ternyata Pak Martin cuma bercanda saat di warung. Dialah yang tadi membayar pesanan kopi dan makanan ringan. Ditambah rokok sebungkus. Total tagihannya seratus dua puluh empat ribu rupiah.

Aku melompat-lompat seperti anak rusa setiba di camp. Pokoknya kegirangan tingkat tinggi. Dengan apa kubalas semua kebaikan yang aku terima? 
Oh Tuhan, matamu sungguh besar untuk melihat perbuatan amal manusia. Engkau melihat kami meski kami bersembunyi dari sayap-sayap kuasa-Mu. Kuselipkan nama Nira di doa spontan.
 
Aku mencoba menelpon dia beberapa kali. Tapi nomornya tidak bisa dihubungi. Bersambung. []

#2024

Posting Komentar untuk "Uang kaget (6/11) "